Saturday, December 29, 2007

Kepala Negara


Jakob Sumardjo


Dalam wawancara dengan Oriana Fallaci tahun 1972, Henry Kissinger mengatakan bahwa untuk menjadi kepala negara tidak perlu keintelektualan, tetapi kekuatan, keberanian, dan kecerdikan.

Manusia-manusia intelektual yang hidup dari perenungan dan pemikiran tentang hakikat segala sesuatu tidak cocok untuk menjadi kepala negara. Manusia semacam itu lebih berguna jika menulis buku, bukan untuk diberi jabatan pemerintahan.

Bayangkan jika orang seperti Goenawan Mohamad dipilih menjadi Presiden Republik Indonesia karena kecerdasannya yang istimewa. Atau dulu pernah orang mencalonkan almarhum Nurcholish Madjid sebagai calon presiden. Banyak orang mengingatkan agar orang-orang cendekia seperti itu menjadi "bapak bangsa" daripada menjadi kepala negara. Perbedaannya terletak pada kategori politik untuk kepala negara dan kategori moral untuk bapak bangsa.

Bapak moral bangsa itu urusannya kejujuran, kebenaran, dan kebebasan. Bapak negara itu urusannya kekuatan massa, kecerdikan, dan keterikatan ideologi. Menjadi bapak bangsa milik semua ideologi. Menjadi kepala negara harus masuk salah satu kebenaran ideologis. Kalau tidak demikian, tidak dipilih sebagai pemimpin politik. Kalau tidak demikian, dia tidak akan memiliki massa dan dengan demikian, tidak memiliki kekuatan nyata.

Kekuatan moral tidak berambisi untuk menyusun kekuatan, apalagi memenangkan kekuatan dengan kecerdikan. Cerdik membutuhkan kecerdasan pragmatik bukan paradigmatik. Kecerdasan pragmatik tidak perlu kejujuran karena tujuan utamanya menggalang kekuatan.

Orang yang jujur pada dirinya tidak memikirkan kepentingan diri, kecuali kebenaran diri. Dan kebenaran diri juga kebenaran bagi orang-orang lain. Karena itu, seorang bapak bangsa tidak terikat masa kekuasaan. Orang semacam itu tetap "berkuasa" meski sudah meninggal. Bapak bangsa tidak mengenal masa jabatan.

Kepala negara dan selebriti

Seorang kepala negara itu seperti selebriti, populer dan berkarisma selama berkuasa, untuk dilupakan dan ditinggalkan bagai ban tua setelah masa populernya habis. Seorang kepala negara berkarisma karena kekuasaannya dan kekuatannya, seperti selebriti berkarisma karena kecantikannya, suaranya, goyang pinggulnya, bahkan kenekatannya.

Semua itu ada batas waktunya. Wajah kian menua, goyang pinggul semakin encok, dan kenekatannya membosankan. Dalam hal kekuasaan dan kekuatan, seorang kepala negara akan digusur oleh mereka yang lebih kuat.

Bahwa keintelektualan itu tidak diperlukan dalam jabatan kepala negara dapat dibuktikan oleh sejarah Indonesia sendiri. Para pemimpin kita yang lebih memilih hidup intelektual daripada hidup dalam kecerdikan, seperti Bung Hatta, Bung Syahrir, dan Tan Malaka, tak pernah populer di mata rakyat. Kaum intelektual itu minoritas. Kaum cerdik-pandai itu lebih populis. Semua itu disapu bersih oleh Bung Karno yang lebih cerdik dan selebriti.

Banyak yang mengingatkan bahwa Abdurrahman Wahid mirip Nurcholish Madjid, lebih berperan sebagai bapak bangsa daripada diberi kekuasaan sebagai kepala negara. Ketika MPR kepepet memilihnya sebagai presiden, usianya tak lebih dari satu tahun. MPR menjilat ludahnya sendiri. Abdurrahman Wahid tetap Gus Dur, tetap ceplas-ceplos jujur mengikuti nuraninya, tak peduli urusan pragmatik. Artinya, tetap intelektual, akrab dengan siapa saja, perenung, dan pemikir yang sulit diikuti oleh mereka yang malas berpikir.

Pemikir dan penguasa

Di banyak negara maju, pemisahan antara pemikir dan penguasa politik disadari rakyat yang rata-rata berpendidikan menengah. Jika Sartre hidup di Indonesia tahun 1950- an, ia tentu akan dijadikan kepala negara Indonesia karena kepopuleran gagasan filosofisnya. Namun, rakyat Perancis tidak bodoh. Mereka mencari kepala negara yang bukan pemikir, tetapi yang kuat, berani, dan punya ideologi yang harus dimenangkannya. Kalau Sartre dipilih menjadi kepala negara, tentu eksistensialisme akan dikubur seperti komunisme.

Dalam beberapa hal, Kissinger mungkin benar. Hal itu didasarkan pengalaman hidupnya sebagai tokoh yang selalu dekat dengan beberapa Presiden Amerika. Soeharto lebih cocok menjadi kepala negara daripada Henry Kissinger. Soeharto lebih kuat, lebih berani, dan lebih cerdik. Semua itu didukung kekuatan, meski bukan massa tetapi bersenjata.

Karena kuat, ia telah mengantongi kekuasaan. Karena kuat, ia lebih berani dan tegas. Untuk mempertahankan itu semua ia perlu kecerdikan. Jika Soeharto tidak cerdas dan cerdik, tentu tidak akan menguasai Indonesia selama 32 tahun. Menyadari kekurangintelektualannya, Soeharto mengangkat kaum intelektual sebagai pembantu-pembantunya.

Cacat intelektual yang utama adalah tidak mau cerdik. Politiknya mungkin cerdik, tetapi kebijakan pembangunannya terlalu cerdas sehingga pemikiran harus mengalah pada kecerdikan.

Seorang intelektual yang menjadi kepala negara lama-lama bisa mengidap penyakit tidak waras, akibat konflik batin terus-menerus antara watak kekuasaan dan watak pemikiran.

Menjadi kepala negara di Indonesia itu harus berani tidak waras. Tidak waras dari segi intelektual dan tidak waras dari segi kekuatan. Marilah kita mencari orang tidak waras itu.

Jakob Sumardjo Esais

No comments:

A r s i p