Saturday, December 22, 2007

Kenapa Jadi Pola?


Pola, pattern, ialah suatu peristiwa yang berulang karena terjadi terus-menerus sehingga bisa pula berkembang sebagai suatu kebiasaan.

Kejadian apa yang kita maksudkan kali ini? Konflik urusan penertiban tempat tinggal atau tempat usaha. Penggusuran yang menyertainya. Unjuk rasa yang kemudian menghadapkan pengunjuk rasa dengan petugas ketertiban, polisi, atau satuan polisi pamong praja. Bentrokan dan kekerasan yang menyusul. Dan laporan di media massa.

Sebagai orang media kita pun bertanya diri secara kritis, seberapa jauh pemberitaan ikut merupakan faktor bagi terjadinya protes dan bentrokan sebagai pola. Namun toh yang lebih dulu terjadi, mengapa hampir senantiasa demikian dan berulang kejadiannya: persoalan tempat tinggal atau tempat usaha, berkembang sebagai sengketa terbuka, disertai konflik dan kekerasan. Pola semacam itu sebaiknya kita pandang sebagai kewajaran dalam proses demokrasi atau toh perlu juga kita tanggapi dengan gugatan, pertanyaan, dan kritik diri?

Kita cenderung mengikutinya dengan sikap pertanyaan dan penggugatan diri. Bukan terjadinya aksi protes dan unjuk rasa itu, tetapi mengapa begitu sering sehingga hampir-hampir sudah berkembang sebagai pola dan mengapa pula berakhir dengan bentrokan antara sesama massa dan antara massa dan petugas ketertiban?

Apakah jawaban dan penjelasannya, itulah kebebasan demokrasi merupakan penjelasan yang memadai? Belum! Sebab demokrasi kecuali menjamin kebebasan termasuk kebebasan protes dan unjuk rasa, sekaligus juga mengandaikan justru karena ada kebebasan, kekerasan tidak diperlukan dan karena itu dijauhkan.

Hampir kita mau bilang, barangkali di sini kita perlukan apa yang dikenal sebagai "kebajikan lokal", meskipun pandangan semacam itu bisa dicap konservatif atau "akal-akalan".

Sebaliknya, membiarkan konflik, unjuk rasa dan bentrokan serta kekerasan sebagai pola seperti menggejala dewasa ini, kita sangsikan sebagai sikap yang memadai. Yang namanya kekerasan, apalagi kekerasan yang berkembang sebagai pola, bukan saja tidak sehat, tetapi juga berlawanan dengan asas dan budaya demokrasi itu.

Keprihatinan dan gugatan diri ini dipicu oleh semakin seringnya terjadi bentrokan disertai jatuhnya korban. Korban pada pihak warga, korban juga pada pihak penertib termasuk polisi. Kita pun cemas, kejadian yang disertai bentrokan dan kekerasan itu kita anggap sebagai hal yang biasa bahkan kita hadapi dengan sikap, hal-hal itu wajar dalam demokrasi.

Dalam kenyataannya, bisa muncul akibat lain, yakni mudahnya berkembang kecenderungan ekses. Jika kejadian dan insiden yang disertai konflik dan kekerasan dibiarkan berkembang sebagai pola, gangguan atau pengaruhnya yang negatif bisa berkembang ke mana-mana. Paling tidak, kita bertanya diri dan bersikap kritis pula terhadap gejala semacam itu.

No comments:

A r s i p