Monday, December 10, 2007

Deklarasi HAM


Dua Wajah Hak Asasi Manusia


Budiman Tanuredjo


Memasuki hotel-hotel mewah, pusat perbelanjaan di Jakarta, kantor pemerintahan, orang harus melalui serangkaian pemeriksaan. Bagasi mobil dibuka, tas jinjing diharuskan melalui alat pemindai. Di kompleks-kompleks perumahan, portal dibangun dengan alasan keamanan.

Potret kehidupan seperti itu menunjukkan bahwa hak atas rasa aman, yang merupakan kebebasan dasar manusia, masih menjadi masalah di ibu kota negara dan mungkin juga tempat lain. Teroris maupun kelompok lain masih mengusik rasa aman di berbagai tempat. "Memang masih ada masalah mengenai rasa aman," ujar anggota Komisi III DPR Benny K Harman (Fraksi Partai Demokrat, Nusa Tenggara Timur II) menanggapi situasi hak asasi manusia di Indonesia.

Hak atas rasa aman adalah salah satu bagian dari Pernyataan Semesta Hak Asasi Manusia (HAM) yang dideklarasikan oleh Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 10 Desember 1948, 59 tahun lalu. Deklarasi itu disetujui Sidang Umum PBB—tanpa ada suara yang menolak—pada malam 10 Desember 1948.

Pernyataan semesta hak asasi manusia yang merupakan wujud komitmen global agar pemerintah menghormati, melindungi, memajukan, dan memenuhi hak asasi manusia. Pemerintah memang menjadi aktor dominan dalam konteks tersebut. Meski demikian, perjuangan untuk menegakkan hak asasi manusia, di seluruh muka bumi, adalah sebuah perjuangan yang panjang, termasuk juga di Indonesia.

Di Indonesia, setelah berakhirnya kekuasaan Orde Baru, hak-hak politik individu menemukan tempatnya. Rakyat bebas berpendapat dan berekspresi. Organisasi massa dan partai politik—sebagai wujud kebebasan berorganisasi—tumbuh menjamur. Pers pun menikmati masa-masa kebebasannya.

Namun, justru seiring dengan melemahnya negara, kebebasan sipil, khususnya soal kebebasan beragama, menghadapi ancaman. "Itu ditandai dengan munculnya peraturan-peraturan daerah yang anti-HAM," ujar Rafendi Djamin, Koordinator Human Right Working Group. Pelanggaran terhadap kebebasan beragama justru dilakukan oleh sesama kelompok masyarakat yang "direstui" negara.

Dua wajah

Wajah HAM Indonesia bisa dilihat dari dua wajah yang kontradiktif. Indonesia menampakkan wajahnya yang indah dengan terus diproduknya sejumlah undang-undang untuk melindungi HAM, meratifikasi Kovenan Internasional dan diadopsi dalam sistem hukum nasional.

Baik anggota Komisi III DPR Benny K Harman, Ketua Badan Pengurus Setara Institut Hendardi, maupun Koordinator Human Right Working Group Rafendi Djamin menilai, kondisi HAM di Indonesia membaik, tetapi tidak cukup signifikan. Rafendi sendiri memuji langkah pemerintah mengizinkan tiga pelapor khusus PBB datang ke Indonesia.

Pada tahun 2007, Indonesia mengizinkan tiga pelapor khusus PBB untuk datang ke Indonesia. Diplomat Indonesia juga dipercaya duduk sebagai Ketua Dewan HAM PBB di Geneva, Swiss. "Datangnya tiga pelapor khusus PBB itu saja sudah luar biasa," kata Rafendi.

Pejabat PBB yang datang ke Indonesia adalah Manfred Nowak yang juga Direktur Institut Ludwig Boltzmann untuk HAM. Pejabat lainnya adalah Utusan Khusus Sekjen PBB untuk Pembela HAM Hina Jilani yang datang Juni lalu, dan Ketua Komisi Tinggi HAM PBB Louise Arbour yang berkunjung bulan Juli lalu.

Rafendi mengakui, kebijakan pemerintah, dalam hal ini Departemen Luar Negeri, untuk berkooperasi dengan dunia internasional merupakan langkah yang patut dipuji dan ikut membantu citra Indonesia di mata internasional.

Meski demikian, kebijakan diplomasi yang agresif itu tidak cukup ditunjang dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu. "Tak ada satu pun kasus masa lalu yang diselesaikan sejak jatuhnya Presiden Soeharto," kata Hendardi.

Peristiwa Tanjung Priok 1984 memang dicoba diselesaikan, tetapi faktanya, secara legal tak ada yang bertanggung jawab atas kasus itu. Semua terdakwa yang diajukan ke pengadilan mendapatkan kebebasan. Begitu juga dengan kasus penyerbuan Kantor DPP PDI 27 Juli 1996 yang mengakibatkan kerusuhan di sebagian wilayah Jakarta, tak ada juga yang bertanggung jawab.

Tak jauh berbeda dengan kasus penculikan aktivis, peristiwa Mei 1998, tragedi Semanggi I dan Tragedi Semanggi II. Semua kasus yang meluluhlantakkan Jakarta tak ada satu pun orang yang bertanggung jawab. Sementara korban dan keluarga korban tetaplah dalam kesunyian dan kesendirian dalam penderitaan.

Bagi Wahyu Susilo, adik Widji Thukul, aktivis yang hilang, isu HAM telah banyak dilupakan orang. "Ketika saya berbicara soal kakak saya, orang bertanya: Anda ini ngomong apa. Masyarakat memang telah lupa karena memang ada keinginan untuk melupakan berbagai pelanggaran HAM masa lalu," katanya. Widji adalah salah satu korban penculikan di era Orde Baru yang tak diketahui nasibnya.

Upaya keluarga korban pelanggaran HAM melakukan aksi Kamisan yang lebih dari 50 kali dilakukan gagal menarik perhatian publik. "Masyarakat kita memang pelupa atau telah berhasil dilupakan," katanya.

Adalah sebuah fakta bahwa era reformasi telah mengantarkan sejumlah orang menikmati madu kekuasaan. Sejumlah aktivis yang dulu korban kini telah ikut mereguk kursi kekuasaan, entah menjadi komisaris atau jabatan lainnya. Namun, ada pula yang nasibnya terlunta-lunta. Kekuasaan sipil, termasuk juga keluarga korban, terpecah-pecah.

Sejak Widji Thukul hilang, menurut Wahyu, tak ada satu pun pejabat pemerintah yang menaruh perhatian. Padahal, uluran pemerintah diperlukan untuk memperjelas status sipil Sipon (istri Widji). Karena ketidakjelasan status sipil Sipon—apakah berstatus janda atau masih bersuami—ia kesulitan untuk memperoleh kredit dari bank dan mengurus sertifikat tanah.

"Status sipil itu selalu ditanyakan. Tapi tak pernah jelas. Mengapa, misalnya, pemerintah tak menerbitkan sertifikat yang menyatakan Widji hilang atau bagaimana," katanya.

Terpinggirkan

Di Indonesia, isu HAM memang telah terpinggirkan. Diskursus soal HAM di media massa pun tampak cenderung menurun. Lupanya masyarakat adalah kesuksesan dari aktor-aktor yang ingin melupakan masalah HAM masa lalu.

Apa yang dialami Sipon dan korban pelanggaran HAM lainnya sejalan dengan apa yang ditulis Haryatmoko dalam buku Etika Politik dan Kekuasaan (2003). Ia menulis, tak pernah terungkap siapa pelaku-pelaku yang bertanggung jawab. Korban pun sulit mendapatkan pengakuan sebagai korban, bahkan mengalami viktimisasi kedua. Orang dihambat untuk mengetahui dan mengingat apa yang sebenarnya terjadi. Semua dikaburkan, supaya orang lupa. Ingatan sosial dipaksa menelan kebohongan.

Selanjutnya, Haryatmoko menulis, "Bangsa yang tanpa ingatan sosial adalah bangsa tanpa masa depan".

Benarkah?

Mungkin sejarahlah yang akan menentukan.

Ritual atau proses peringatan Pernyataan Semesta Hak Asasi Manusia 10 Desember 2007 ini haruslah dijadikan momentum untuk memusatkan kembali perhatian publik atas isu hak asasi manusia, termasuk hak atas rasa aman, hak untuk hidup, atau hak untuk mendapatkan keadilan. Energi untuk berseminar, berunjuk rasa, harus ditransformasi menjadi energi untuk melawan lupa.

Humanisme harus dikembalikan pada tempatnya yang sah sebagai suatu pusat perhatian budaya dan peradaban. Menarik apa yang ditulis Pangeran Sadruddin Aga Khan, yang pernah menjadi Ketua The Independent Commission on International Humanitarian Issues. Ia menulis, humanisme adalah orientasi dasar ke arah kepentingan dan kesejahteraan seluruh bangsa manusia. Ia menuntut bahwa apa saja yang menyimpang dari kesejahteraan manusia harus dipertanyakan, terlepas dari pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi, kekuasaan politik, atau kestabilan suatu tatanan.

No comments:

A r s i p