Monday, December 31, 2007

Transisi ke Sistem Distrik


Mantapkan Dulu Sistem Kepartaian

Jakarta, Kompas - Sistem pemilihan umum semestinya dirancang untuk mengurangi korupsi politik. Pilihan sistem yang tepat sekaligus bisa menciptakan penyederhanaan partai politik untuk mendukung sistem pemerintahan presidensial yang lebih kokoh.

Bagi fungsionaris Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Yasonna M Laoly, Sabtu (29/12) siang, semakin kecil daerah pemilihan, derajat keterwakilan lebih baik. Konstituen juga lebih mudah dijangkau dan ongkos politik bisa lebih murah.

Semakin besar daerah pemilihan, semakin besar pula biaya "pengamanan" politiknya.

Namun, menurut Laoly, masih dibutuhkan waktu untuk sampai pada pilihan sistem pemilu distrik atau mayoritas untuk meningkatkan derajat keterwakilan. Setidaknya dibutuhkan dua kali pemilu lagi.

Laoly, yang juga Ketua Panitia Kerja RUU Pemilu, menunjukkan hasil penelitian di 44 negara pada tahun 2006 menggambarkan sistem pemilu dengan daftar terbuka dengan besaran daerah pemilihan yang besar berkorelasi kuat dengan korupsi politik.

Ketika ongkos politik yang dikeluarkan besar, para anggota legislatif pun menjadikan biaya yang telah dikeluarkannya itu sebagai variabel yang memengaruhinya dalam negosiasi politik. "Di negara kita, caleg yang harus menyumbang kepada konstituen," ujar Laoly.

Fungsionaris Partai Golkar, yang juga Ketua Panitia Khusus RUU Pemilu, Ferry Mursyidan Baldan, juga berpandangan bahwa sistem distrik masih butuh 3-4 pemilu lagi sebelum bisa diterapkan di Indonesia.

Yang mesti dilakukan adalah menyempurnakan pelaksanaan pemilu berikut daerah pemilihan. Memang idealnya, daerah pemilihan tidak diubah dalam jangka waktu tertentu, tetapi juga mesti dipikirkan kebutuhan menyeimbangkan kadar keterwakilan, memperbaiki kedekatan pemilih dengan wakilnya.

Ide perubahan daerah pemilihan dengan memperkecil cakupan wilayah sebuah daerah pemilihan sekaligus bisa menjadi jalan perubahan yang tidak terlalu drastis untuk sampai ke sistem distrik.

Jangka waktu 3-4 pemilu sekaligus memberikan kesempatan yang cukup untuk konsolidasi sistem kepartaian. "Sehingga kita tidak mendengar lagi adanya partai ’baru-lama’ atau ’besar-kecil’," sebut Ferry.

Ketua Partai Demokrat Anas Urbaningrum menyebutkan, sistem distrik akan realistis untuk diadopsi ketika sistem kepartaian kita sudah makin mantap dan sederhana, yakni pada saat parpol makin mampu menjalankan fungsi-fungsinya, manajemen internal rapi dan solid, kepercayaan rakyat memadai, serta kader berkualitas cukup.

Menurut Anas, jika semua proses perbaikan sistem kepartaian, sistem pemilu, berjalan baik, waktu yang layak untuk mengadopsi sistem distrik adalah saat Pemilu 2019.

Sistem pemilu proporsional, lanjut dia, tetap dipertahankan dulu karena masih memadainya tingkat keterwakilan politik Indonesia yang majemuk. (DIK)

2008, Berdiri di Atas Karpet Kasus Lama


SULTANI

Di tengah sejumlah optimisme terhadap kehidupan pribadi yang diyakini makin baik pada tahun 2008, kehidupan bernegara dirasakan sebaliknya. Kemampuan penyelenggara negara menangani masalah-masalah bangsa dirasakan tak meyakinkan, terlebih dalam menuntaskan sejumlah kasus besar yang mengganjal.

Ekonomi adalah hal utama yang menunjang kehidupan rakyat. Jadi, ekonomilah yang harus diprioritaskan untuk diperbaiki. Kalau ekonomi sudah bagus, masalah lain pasti bisa diatasi,” ungkap Yuli (35), karyawan swasta dari Surabaya yang menjadi responden jajak pendapat Litbang Kompas.

Boleh jadi, ungkapan Yuli itu merefleksikan harapan sebagian besar masyarakat Indonesia terhadap kebijakan pemerintah tahun 2008. Harapan itu pula yang terungkap dalam jajak pendapat kali ini yang secara khusus menyoroti harapan publik terhadap pemerintah pada 2008.

Masyarakat berharap tahun depan pemerintah lebih memfokuskan pekerjaan kepada perbaikan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan sosial.

Dari 827 responden yang terjaring, 33,8 persen menempatkan masalah ekonomi dan kesejahteraan masyarakat sebagai program terpenting yang harus segera ditingkatkan pada tahun depan. Pasalnya, sejak berkuasa, publik masih merasakan adanya kemandekan program pemerintah dalam bidang ekonomi.

Sejalan dengan pembenahan ekonomi, pemerintah juga diingatkan untuk mengurangi angka kemiskinan dan membuka lapangan kerja baru. Kedua persoalan itu adalah soal klasik yang selalu dikeluhkan masyarakat dari tahun ke tahun.

Sebanyak 8,8 persen responden menyatakan agar pemerintah tidak sekadar berwacana soal pemberantasan kemiskinan. Begitu juga dengan pengurangan angka pengangguran, 8,6 persen responden mengharapkan agar tahun 2008 pemerintah bisa segera menciptakan lapangan kerja baru untuk menampung jumlah angkatan kerja yang kian bertambah.

Di luar persoalan sehari-hari, publik juga menganggap penting program penanganan bencana alam dan pembenahan infrastruktur. Hingga saat ini pemerintah belum memiliki strategi atau program nyata untuk menangani korban bencana alam. Padahal, bencana alam, seperti tsunami, gempa bumi, tanah longsor, dan banjir, sudah menjadi ”ritual” yang saban tahun mampir di negeri ini.

Karena itu, wajar saja kalau 11 persen responden mengharapkan agar tahun 2008 pemerintah lebih serius memikirkan program yang terkait dengan penanganan bencana alam.

Masalah lain yang juga dianggap penting oleh responden adalah penanganan korupsi dan penegakan hukum. Penanganan kasus-kasus KKN, seperti dana BLBI dan aliran dana BI ke DPR yang belum selesai, menjadi pekerjaan rumah pemerintah pada tahun 2008. Separuh bagian responden masih menyangsikan keseriusan pemerintah untuk menangani perkara-perkara korupsi tersebut pada 2008.

Begitu juga perkara pembunuhan Munir yang pengusutannya sudah berjalan tiga tahun. Kendati proses hukumnya sedang berjalan, tampaknya perkara ini tidak akan tuntas dalam waktu dekat. Karena itu, 67,2 persen responden tidak begitu yakin perkara pembunuhan Munir bisa diselesaikan pada 2008.

Perkara lain yang diperkirakan akan masih mengambang hingga lewat tahun 2008 adalah penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM, seperti Tragedi Trisakti, Semanggi, dan Kerusuhan Mei. Setidaknya, 57,8 persen responden mengungkapkan pesimisme mereka.

Kehidupan pribadi membaik

Secara umum, responden menilai kondisi kehidupan mereka akan lebih baik pada tahun 2008. Dalam hal ekonomi keluarga, 45,2 persen responden optimistis pendapatan mereka bisa lebih baik pada 2008. Sebaliknya, hanya 13,1 persen responden yang mengaku pendapatan mereka akan semakin buruk pada tahun depan.

Menurut pengamat ekonomi Faisal Basri, secara umum kondisi ekonomi Indonesia tahun ini memang bagus, bahkan lebih bagus dari tahun lalu. Pertumbuhan ekonomi tahun depan pun diperkirakan membaik.

”Masalahnya, pola pertumbuhannya hanya dinikmati kalangan menengah ke atas. Indikatornya, pendapatan buruh tani, buruh bangunan, pekerja salon, dan pekerja sektor informal lainnya jeblok,” kata Faisal ketika dihubungi lewat telepon.

Karena itu, wajar kalau hampir separuh bagian responden jajak pendapat ini merasa yakin bahwa pada tahun 2008 tidak saja pendapatan mereka membaik, tetapi juga daya beli mereka.

Hampir separuh bagian (44 persen) responden yakin daya beli mereka akan tetap baik pada 2008, bahkan sepertiga bagian (30,4 persen) responden optimistis akan lebih baik dari 2007.

Dengan pendapatan yang diperkirakan lebih baik, mereka percaya kebutuhan-kebutuhan lain, seperti perawatan kesehatan, rekreasi, dan meningkatkan pendidikan mereka, akan meningkat di tahun mendatang.

Kinerja lembaga stagnan

Hasil jajak pendapat ini juga mengungkapkan pesimisme responden terhadap kinerja beberapa lembaga negara pada tahun depan.

Dewan Perwakilan Rakyat dan kabinet pemerintahan merupakan dua institusi yang penilaian ”semakin buruk”-nya paling tinggi dibandingkan dengan lembaga lain.

Mereka yang menilai kinerja kabinet akan semakin buruk berjumlah 18,4 persen dan menilai DPR akan kian terpuruk 21,4 persen. Dibandingkan dengan penilaian terhadap TNI yang rapor ”semakin buruk”-nya hanya dilontarkan oleh 6,4 persen responden, kerisauan terhadap kedua lembaga tersebut memang terasa jauh lebih tinggi.

TNI memang menjadi lembaga yang dinilai akan terus membaik tahun depan. Penilaian akan ”semakin baik” disampaikan oleh 41,5 persen responden, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan penilaian terhadap DPR, Kejaksaan Agung, ataupun Mahkamah Agung.

Adapun penilaian terhadap komisi-komisi yang baru menjalani pemilihan anggota baru dan membentuk kepengurusan pada tahun ini, yaitu Komnas HAM, KPU, dan KPK, hanya sepertiga bagian responden yang menaruh kepercayaan bahwa lembaga tersebut bisa melakukan tugas mereka dengan baik pada tahun depan.

Jika kinerja mereka tidak bisa lebih baik dari sebelumnya, kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga tersebut sulit terdongkrak. Bisa-bisa, kita melewati tahun depannya lagi dengan tetap berdiri di atas karpet kasus lama. (LITBANG KOMPAS)

Metode Jajak Pendapat

Pengumpulan pendapat melalui telepon ini diselenggarakan Litbang Kompas 27-28 Desember 2007. Sebanyak 827 responden berusia minimal 17 tahun dipilih secara acak menggunakan metode pencuplikan sistematis dari buku telepon terbaru. Responden berdomisili di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Padang, Pontianak, Banjarmasin, Makassar, Manado, dan Jayapura. Jumlah responden di setiap kota ditentukan secara proporsional. Menggunakan metode ini, pada tingkat kepercayaan 95 persen, nirpencuplikan penelitian ± 3,4 persen. Meskipun demikian, kesalahan di luar pencuplikan dimungkinkan terjadi. Hasil jajak pendapat ini tidak dimaksudkan untuk mewakili pendapat seluruh masyarakat di negeri ini.

Gus Dur: Orientasi Tidak Jelas


Soetrisno Bachir: Tak Punya Visi

Jakarta, Kompas - Pemerintah dinilai tidak memiliki orientasi dan arah pembangunan yang jelas. Akibatnya, angka pengangguran meninggi, kemiskinan merajalela, utang negara semakin bertambah, dan diperparah pula dengan maraknya tindak kekerasan.

Pernyataan itu disampaikan mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saat berbicara dalam ceramah catatan akhir tahunnya, yang diadakan Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (DPP PKB) di Hotel Santika, Jakarta, Minggu (30/12).

Hadir Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar beserta jajarannya, Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Soetrisno Bachir, Agum Gumelar, rohaniwan Franz Magnis Suseno, Pendeta Nathan Setiabudi, Ketua Komisi Yudisial M Busyro Muqoddas, anggota Partnership for Government Reform in Indonesia HS Dillon, Wimar Witoelar, dan Mohamad Sobary yang memandu acara.

Kekerasan itu, kata Gus Dur, terutama yang mengatasnamakan agama, oleh sebagian kelompok tertentu, sementara pemerintah tidak menunjukkan ketegasannya untuk mencegahnya.

Menurut Gus Dur, pembangunan ekonomi yang menekankan pada aspek pertumbuhan, tanpa mempertimbangkan aspek pemerataan, terbukti hanya memakmurkan segelintir orang. "Pembangunan Indonesia hanya ditujukan bagi golongan elite saja, akhirnya yang kaya makin kaya sedangkan yang melarat makin tertinggal," katanya.

Dillon menyatakan pembangunan di Indonesia sama dengan proses pemiskinan rakyat. Ia mencontohkan, tahun 2005 Bank Rakyat Indonesia berhasil menyedot dana Rp 26 triliun dari rakyat, tetapi hanya sekitar Rp 9 triliun yang dikembalikan kepada masyarakat, itu pun bukan kepada sebagian besar rakyat Indonesia yang berprofesi sebagai petani, melainkan kepada pengusaha mampu.

Soetrisno Bachir menyatakan pemerintahan sekarang tidak punya visi bersama dalam membangun bangsa. "Presiden dan Wakil Presiden visinya beda. Presiden bicara A, besok Wapres bicaranya B," katanya.

Meski begitu, ia menyatakan tidak perlu sekarang menyalahkan pemerintah. "Nanti kita lihat saja dalam Pemilu 2009."

Agum Gumelar berpendapat yang dibutuhkan sekarang adalah pemimpin yang punya kemampuan memimpin, tidak ambivalen, berani tidak populer, tegas sesuai koridor hukum, dan kepemimpinan yang tidak menoleransi kesalahan yang terjadi di masyarakat.

"Sekarang kita lihat saja apakah semua itu ada di kedua (pemimpin) sekarang? Kalau belum ada, ya kita cari lagi. Saya sepakat dengan Gus Dur kalau arah atau orientasi pembangunan sekarang ini harus diperbaiki," kata Agum. (DWA/A09/MAM)

PILPRES 2009


Abdurrahman Wahid Siap Calonkan Diri


Jakarta, Kompas - Ketua Umum Dewan Syura Partai Kebangkitan Bangsa KH Aburrahman Wahid atau Gus Dur menyatakan siap mencalonkan diri dalam Pemilihan Presiden 2009.

Kesiapannya untuk maju itu ia sampaikan di hadapan sejumlah wartawan seusai acara Orasi Catatan Akhir Tahun Gus Dur, Minggu (30/12) di Jakarta.

"Sejumlah tokoh yang usianya di atas 80 tahun meminta supaya saya menjadi calon presiden," ujar Gus Dur yang diikuti tepuk tangan para pendukungnya.

Pencalonan kembali Gus Dur dalam Pilpres 2009 itu dibenarkan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar. Menurut dia, dari suara yang berkembang dalam partai, Gus Dur memang masih diinginkan.

"Dalam rapat di tingkat DPP, kami sudah memutuskan mencalonkan Gus Dur. Pencalonannya secara nasional akan diadakan dalam rapat kerja nasional akhir Januari," ujarnya.

Menurut Muhaimin, Gus Dur dicalonkan kembali karena dalam proses konsolidasi demokrasi yang belum selesai, Indonesia membutuhkan figur kuat.

Agar proses pencalonan Gus Dur mulus, kata Muhaimin, PKB telah menyiapkan tim pendampingan undang-undang yang dipimpin Mahfud MD dalam pembahasan RUU tentang Pemilu Presiden/Wakil Presiden di DPR.

Menanggapi beberapa hasil survei calon presiden yang menempatkan Gus Dur di luar posisi tiga besar, Muhaimin mengatakan, setiap survei punya metode tersendiri. Karena itu, ia tidak terlalu khawatir terhadap hasil survei yang ada.

Muhaimin juga menyebut, hingga saat ini rencana koalisi dengan partai lain dalam pencalonan Gus Dur masih dijajaki. Namun, jika nanti ada koalisi, ia menyebut kesamaan visi sebagai faktor yang paling penting. Adapun pendamping Gus Dur dalam pilpres masih belum dibahas.

Sekretaris Jenderal DPP PKB Yenny Wahid mengatakan, pencalonan Gus Dur tidak terlepas dari suara di bawah yang masih menginginkannya kembali menjadi presiden. "Dari safari Gus Dur ke sejumlah daerah di Jawa Timur beberapa waktu lalu, para kiai masih menginginkan Gus Dur," ujar Yenny yang baru pulang dari Kudus, Jawa Tengah, menemui para korban banjir di Kudus. (A09)

Refleksi Akhir Tahun


Republik Alpa

Karlina Supelli

Apakah yang kita rayakan kala tahun kalender berganti? Tak seorang pun bisa melepas masa silam. Bahkan saat Paus Gregorius XIII mengubah perhitungan kalender hingga dalam semalam orang melesat dari tanggal 4 ke 15 Oktober 1582, tak sepotong waktu pun tercuri.

Di tengah kegaduhan menyiapkan pesta, mungkin kita juga minta peramal membaca tanda- tanda peristiwa yang akan datang. Apakah tanda itu berisi harapan atau kematian, tidak lagi relevan. Yang utama ialah mengulang ritual gaduh akhir tahun. Mungkin inilah cara kita melupakan barisan kelalaian yang berlarian meninggalkan korban berceceran di seluruh negeri. Indonesia ialah sebuah kisah tentang alpa.

Lalai dan abai

Dalam pekan terakhir 2007 peta Indonesia sesak oleh tanda merah bencana, menyambung lebih dari 200-an bencana besar-kecil sepanjang tahun. Sebagian besar dipicu oleh peristiwa alam. Ratusan orang tewas dan puluhan ribu menjadi pengungsi. Namun, mengatakan bahwa Indonesia kerap ditimpa bencana karena terletak di jalur rawan gempa, sama dengan mengulang pelajaran IPA kelas empat SD.

Menuduh alam adalah cara murah menyembunyikan kelalaian serta kelambanan mengatasi dampak bencana. Itu juga siasat melarikan diri dari tanggung jawab atas kesembronoan. Jika perlu jalan pendek untuk berkelit, sebutlah semua itu takdir alias musibah yang menyergap dari langit.

Permukaan Bumi seperti kulit telur rebus setengah matang yang retak-retak. Bedanya, pusat Bumi terus bergejolak sehingga potongan-potongan di atasnya saling dorong, saling tindih, dan saling tekuk. Hanya oleh pilihan manusia—atau sebaliknya, keterpaksaan—peristiwa-peristiwa alam beralih menjadi bencana.

Berhadapan dengan sesama dan alam, manusia gampang cedera. Kerentanan adalah kondisi manusia. Hanya saja, ringkasan semacam ini mengubur terlalu banyak detail. Tidak semua dimensi kerentanan manusia bersifat kodrati. Kerentanan juga perkara hubungan antara cuaca kultural kita dan brutalitas pertarungan materi yang menandai sejarah dewasa kini. Dalam pertarungan itu kerentanan merupakan potret buram tata sosial, ekonomi, dan politik, yang cirinya adalah kesenjangan akses.

Alam tidak mengenal ras, usia, agama, jender, dan kelas. Namun, ketika terjadi kekeringan, hanya kaum papa yang mati kelaparan. Kala gempa, anak- anak dan perempuan yang merupakan korban terbanyak. Kerentanan bukan hanya perkara ketiadaan daya ketika malapetaka menimpa. Kerentanan terutama berisi ketiadaan kebebasan ke berbagai sumber daya yang menyangga seseorang agar berkemampuan sebagai manusia.

Andai petani gurem di lereng-lereng curam punya agunan yang bisa ia tukar menjadi modal, andai ia punya cukup uang dan kemudahan mendapatkan informasi, ia tentu menyewa lahan yang tidak rawan longsor untuk bercocok tanam. Rumahnya tidak roboh menimpa anak-anak karena ia punya pilihan untuk membangun rumah tahan gempa. Tetapi pengandaian itu hanya ada dalam cita-cita.

Bagi kaum papa yang tertimpa malapetaka, cita-cita adalah kemewahan yang di ujung hari terasa menyiksa. Litani ini kedengaran biasa-biasa saja kecuali dengan mata tajam kita menyimak putusan-putusan pengadilan. Meminjam ungkapan tokoh desa yang enggan disebut namanya, kita hidup di bawah sistem hukum yang mirip sarang laba-laba. "Ia menjerat serangga tetapi porak poranda oleh terpaan burung".

Kendati mengakibatkan kehidupan puluhan ribu keluarga porak poranda, pesawat tergelincir atau hilang, pengungsi silih ganti, hutan gundul atau terbakar, kita bebal dalam kesembronoan. Dalam kebebalan itu terlibat nasib begitu banyak orang yang tidak akan pernah berubah kendati pemerintah dan bahkan generasi berganti.

Berurusan dengan perilaku abai, lalai dan sembrono dalam skala seluas negara tampaknya memojokkan kita lagi ke pertanyaan tentang kemungkinan hidup bersama. Padahal, kata bersama licin bagi tafsiran. Penggusuran paksa warga miskin dilakukan dengan alasan mulia kepentingan bersama. Kisah di lapangan menunjuk ke fakta bahwa itu berarti pembangunan sentra bisnis dan permukiman mewah.

Apakah kita perlu belajar lagi dari sejarah lahirnya demokrasi modern? Bukankah dari barisan omongan akhir-akhir ini tampaknya kita masih mendambakan demokrasi sebagai prinsip penataan hidup bersama? Demokrasi modern bertumpu di atas pengalaman mereka yang paling tertindas oleh watak otoriter kekuasaan. Dan mereka tentu bukan pemilik uang maupun pemangku kekuasaan yang jumlahnya segelintir, melainkan rakyat kebanyakan.

Dari situ turun pengandaian yang masuk akal. Benih demokrasi tumbuh dalam prinsip bahwa keputusan yang menyangkut jatuh bangun pemenuhan kebutuhan pokok yang menyangga kehidupan bersama, hanya sahih jika bertumpu di atas kondisi hidup-mati rakyat biasa yang paling rentan terhadap dampak keputusan itu.

Semua dinding adalah pintu

Pokok di atas membuat kita sesak. Kita sadar bahwa bencana tidak berkurang kendati pun kita punya ilmu dan teknologi untuk mendeteksi peristiwa-peristiwa alam. Paling-paling kita mengurangi dampaknya, kecuali kita juga rela menata ulang konsesi lahan, hutan, sumber air, perbaikan pendidikan dan upaya kesehatan, distribusi informasi dan lain-lain. Tepat di sinilah kita terbentur tembok kepentingan ekonomi-politik. Di balik tembok itu berlindung para pebisnis dengan pundi-pundi yang bisa membayar transaksi apa saja, termasuk nyawa manusia asalkan ada janji laba.

Kita boleh gusar karena tidak menemukan jalan keluar. Bagi warga miskin, jalan keluar artinya bagaimana bertahan hidup dalam manuver penyangkalan dan pengabaian. Bagi mereka situasi darurat bukan pengecualian, bukan situasi khusus akibat peristiwa luar biasa, melainkan suasana hidup sehari-hari. Bagi ibu hamil, contohnya. Melahirkan adalah proses alami, tetapi adalah bencana jika setiap jam dua ibu mati dalam proses itu. Kita alpa menandainya sebagai bencana karena kematian dalam brutalitas hidup sehari-hari dianggap perkara "biasa".

Apa yang mencengangkan adalah potret faktual bahwa yang rentan dan terabaikan ternyata yang paling mengerti bahwa jalan keluar tidak perlu dicari ke sana dan kemari. Pintu ada di setiap tembok yang menghadang mereka ke hampir semua akses untuk bisa hidup secara manusiawi. "Semua dinding adalah pintu" (RW Emerson, 1803-1882).

Istri nelayan menyiasati situasi darurat sehari-hari dengan menjadi penjual bakulan hasil tangkapan nelayan. Ketika dengan cara itu pendapatan keluarga meningkat, istri-istri nelayan Desa Moro, Kabupaten Demak, mendirikan Puspita Bahari. Cita-cita mereka sederhana: membebaskan diri dari jerat lintah darat yang selama ini mengangkangi akses ekonomi suami-suami mereka.

Sekelompok ibu miskin di kaki bukit Ungaran menghidupkan lagi ritual benih mulai dari menyisihkan biji terpilih, menangkar, mengolah tanah, menyemai, sampai menuai panen yang sekaligus menghasilkan benih baru untuk musim tanam berikut. Inilah perlawanan diam-diam bagi kebebasan pangan yang terampas setelah tiga sumber keramat petani—benih, air, dan lahan—dimangsa perusahaan-perusahaan besar.

Di beberapa desa di Aceh yang hancur akibat tsunami 2004, ibu-ibu punya cara lain menyiasati ekonomi keluarga yang belum juga pulih. Serupa dengan ibu-ibu di kawasan kumuh Jakarta dan Malang, Jawa Timur, mereka mengembangkan usaha sederhana. Karena tak punya benda berharga, agunan mereka adalah kepercayaan yang dijamin kelompok. Bagi mereka, transaksi ekonomi sekaligus merupakan cara mengembalikan sosialitas yang remuk ditelan sistem perekonomian modern.

Bahwa kemudian mereka punya akses ke politik—ikut mengambil keputusan di desa entah waktu banjir atau pemilu—dan posisinya secara kultural naik karena menafkahi keluarga jika bukan malah menjadi kepala keluarga, adalah konsekuensi logis dari keberhasilan menyiasati cara pandang yang selama ini memaksa mereka menerima keniscayaan kerentanan.

Kita punya dua pilihan mengurangi bencana. Tetap berharap dengan gagap akan ada perubahan radikal dalam cara merawat hidup bersama, yang hampir-hampir mustahil dalam mesin ekonomi-politik yang dijalankan dengan kebebalan. Atau, percaya bahwa kelompok paling rentan pun mampu menghidupkan kembali gugus penyangga hidup bersama mereka. Kendalanya? Lagi-lagi sifat alpa para pengelola negeri yang tidak peduli dengan dinamika riil warga biasa, tetapi sibuk melayani kepentingan korporasi. Gerakan akar rumput dipandang sebagai sekadar upaya menyulam bolong-bolong yang ditinggalkan ekonomi-politik dominan dewasa ini. Sesungguhnya, mereka mewahyukan solusi bagi Republik yang sedang dibenamkan oleh pendekatan yang sarat kealpaan. Sebuah pendekatan yang menyeret negeri ini tenggelam dalam genangan malapetaka.

Selamat Tahun Baru 2008.

Karlina Supelli Dosen pada Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta

Saturday, December 29, 2007

Parpol Memeras Negara


Porsi APBN bagi Rakyat Berkurang


Jakarta, Kompas - Permintaan kenaikan dana negara untuk partai politik berdasarkan perolehan suara merupakan pemerasan legal terhadap negara dan secara tidak langsung merupakan pemerasan terhadap rakyat.

Pengajar politik pada Universitas Indonesia (UI), Andrinof A Chaniago, mengemukakan hal itu, Kamis (29/11), menanggapi kesepakatan Rapat Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Partai Politik.

Seperti diberitakan, Panja RUU Partai Politik menyepakati bantuan dari APBN diberikan setiap tahun dan dihitung berdasarkan perolehan suara seperti 1999, bukan berdasarkan perolehan kursi seperti 2004.

Untuk Pemilu 2009, bantuan tidak diberikan ke semua partai yang memperoleh suara, tetapi hanya yang memperoleh kursi.

Dengan dana Rp 21 juta per kursi DPR, total dana yang disediakan untuk partai politik peraih kursi DPR mencapai Rp 11,5 miliar. Partai Golkar sudah mendapatkan dana sekitar Rp 2,68 miliar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Rp 2,23 miliar per tahun. Beban negara akan semakin besar jika bantuan negara berdasarkan perolehan kursi DPRD provinsi dan kabupaten/kota juga diperhitungkan.

Dana tersebut semestinya memadai untuk menjalankan kegiatan sekretariat. "Tidak etis jika untuk munas, muswil, atau musda juga mengambil uang rakyat. Karena, partai itu milik anggota dan elite-elitenya untuk berkompetisi politik," kata Andrinof.

Menurut dia, usul tersebut jelas merupakan upaya pemerasan parpol terhadap negara. Kelemahan perundang-undangan memungkinkan hal itu dianggap legal sekalipun sebenarnya tidak etis. Demi akuntabilitas, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mestinya menyampaikan hasil audit dana parpol setiap tahun kepada masyarakat. Selain itu, dasar hukum alokasi dana parpol itu harus masuk dalam undang-undang, bukan sekadar peraturan pemerintah seperti saat ini.

Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan Moh Romahurmuziy sebelumnya menyebutkan, dana dari negara itu lebih baik ketimbang dibukanya kesempatan badan usaha milik parpol (BUMP) yang malahan memicu persekongkolan tender proyek pemerintah.

Curangi rakyat

Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Arbi Sanit, menilai rencana itu sama dengan mencurangi rakyat. Selain akan menguras APBN, usulan itu juga akan semakin memperkecil porsi rakyat menikmati uang negara.

"Usulan itu curang, tidak adil. Masak partai yang sudah dibantu dengan honor besar untuk anggota DPR-nya, sudah mendapat sumbangan dari masyarakat masih ingin memperbesar dana subsidi dari negara," katanya.

Arbi yakin usulan itu pun akan menambah ketidakpuasan rakyat karena masyarakat semakin sedikit bisa menikmati uang negara. "APBN itu, kan, 70 persennya untuk aparatur. Sekarang akan diambil lagi oleh partai. Berarti, parpol mengambil porsi masyarakat," katanya.

Menurut Arbi, seharusnya, sistem penghitungan subsidi tetap mempertahankan sistem 2004, yaitu dihitung per kursi Rp 21 juta. Untuk memenuhi kebutuhan anggaran yang besar, partai harus bekerja lebih keras menghimpun sumbangan dari masyarakat. "Dengan begitu, partai juga terdorong untuk lebih memperjuangkan aspirasi masyarakat. Sekarang ini partai tidak peduli," paparnya. (DIK/SUT)

Rakyat Lesu Harapan



Jakarta, Kompas - Saat ini ada gejala rakyat mengalami kelesuan harapan dalam menghadapi Pemilu 2009. Itu karena calon pemimpin nasional yang diperkirakan muncul dinilai belum bisa memberikan harapan. Mereka adalah orang lama yang sudah diketahui kapasitasnya.

Demikian dikatakan Direktur Eksekutif Reform Institute Yudi Latif, Rabu (28/11) di Jakarta. "Kelesuan harapan rakyat ini dapat menimbulkan pragmatisme politik yang bentuknya bisa seperti politik uang. Karena tak ada calon yang bisa memberikan harapan, rakyat akan memilih yang memberikan keuntungan secara singkat, seperti uang," katanya.

Kelesuan harapan ini, kata Yudi, misalnya, terlihat ketika Sutiyoso mendeklarasikan sebagai calon presiden, meski prestasinya sebagai Gubernur DKI Jakarta biasa-biasa saja, langsung menarik perhatian.

Untuk mengatasi kelesuan harapan ini, lanjut Yudi, politisi yang akan bertarung di Pemilu 2009 harus memiliki fokus dan program yang jelas atas sejumlah persoalan saat ini.

Sebaliknya, guru besar ilmu politik Universitas Airlangga, Surabaya Kacung Marijan, menilai selama ini Indonesia mengalami siklus masalah kepemimpinan. Siklus ini ditandai dengan besarnya harapan rakyat pada mereka yang mulai berkuasa. Tetapi, harapan itu segera berubah menjadi kekecewaan karena mereka tak kunjung dipenuhi. (nwo)

Pemilu 2009



Golkar Harus Ubah Strategi Politik


Yogyakarta, Kompas - Wakil Ketua Dewan Penasihat DPP Partai Golkar Sultan Hamengku Buwono X menyatakan, belajar dari realitas Pemilu 2004, untuk meraih kesuksesan di Pemilu 2009, Partai Golkar harus mengubah strategi politiknya, yakni melalui pemenangan berbasis citra positif kandidat.

"Pilpres (Pemilihan Presiden) 2004 membuktikan, pola politik masyarakat telah bergeser dari politik simbolis ke arah politik realitas. Simbol-simbol hegemoni dan mesin partai politik terbukti dikalahkan oleh rakyat," kata Sultan dalam pidato kuncinya pada seminar "Kontemplasi Partai Golkar 2007 guna Membangun Semangat dan Sukses 2009", Jumat (28/12) di Yogyakarta.

Seorang kandidat—baik untuk pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden/wakil presiden—harus benar-benar dikenal luas dan populer di mata pemilih. "Pilpres 2004 telah memperkenalkan kita budaya politik populis. Popularitas seorang kandidat lebih penting dibanding kekuasaan partai dan kekuatan birokrasi. Ini adalah budaya politik baru yang tidak pernah dikenal dalam budaya politik Indonesia," katanya.

Pada Pilpres 2004, Susilo Bambang Yudhoyono yang notabene berangkat dari partai kecil, Partai Demokrat, mengalahkan Megawati-Hasyim Muzadi. Padahal, Megawati dan Hasyim diusung PDI-P, partai yang memperoleh suara terbanyak kedua pada pemilu legislatif 2004.

Sudah lama

Budaya politik populis, kata Sultan, sudah lama dikenal di negara-negara demokrasi yang melakukan pilpres secara langsung. Di Amerika Serikat, misalnya, citra seorang kandidat sengaja dibuat sedemikian rupa oleh lembaga-lembaga kehumasan. Peran media, lanjutnya, sangat penting dalam proses pencitraan kandidat ini.

Sultan berkeyakinan, budaya politik populis seperti itu akan menjadi ukuran keberhasilan suatu partai pada Pemilu 2009. Pencitraan, katanya, bisa membuat seorang kandidat dinilai arif, cerdas, tegas, dan religius.

Dalam budaya politik populis yang berlaku adalah hukum pasar. Barang yang akan dijual harus dikemas dengan tujuan menarik pembeli. "Setuju atau tidak, realitas semacam ini yang harus dihadapi politikus dalam pemilu mendatang," paparnya.

Dua unsur penting dalam pencitraan, kata Sultan lagi, adalah kapabilitas kandidat, seperti yang menyangkut kapasitas pemikiran, moral, karisma, intelektual, stamina fisik, dan pengalaman karier calon. Kedua, menyangkut empati. Faktor empati menjadi salah satu faktor yang memenangkan Yudhoyono. "Pada 2004 SBY muncul sebagai sosok yang tersia-siakan," katanya. (RWN)

Kinerja Polri 2007 Belum Maksimal

Jakarta, Kompas - Kinerja Polri selama kurun waktu tahun 2007 tetap memprihatinkan. Polisi lalu lintas dan reserse paling banyak dikeluhkan masyarakat. Dengan demikian, buruknya indeks persepsi publik terhadap Polri, seperti yang dilansir Transparansi Internasional Indonesia atau TII, harus disikapi Polri dengan dewasa.

Hal itu disampaikan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dalam paparan laporan akhir tahun, Jumat (28/12). "Hasil TII itu sehat. Itu memang jamu yang pahit. Kepala Polri perlu menindaklanjuti masukan itu," kata anggota Kompolnas, Novel Ali.

Hal senada juga disampaikan anggota Kompolnas lainnya, Ronny Lihawa. Menurut dia, Polri justru perlu mengundang TII untuk bisa memahami lebih jauh terkait hasil penelitian mereka.

Meski demikian, Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Sisno Adiwinoto tetap berkeyakinan hasil penelitian TII tersebut tidak dapat dipercaya. "Kalau hanya persepsi, tidak boleh dipublikasikan. Persepsi sampah, menjadi fitnah. Ini bahaya, racun," ujar Sisno saat menyampaikan laporan akhir tahun Polri di tempat terpisah.

Hasil laporan

Dalam laporannya, Kompolnas menyebutkan, keluhan masyarakat yang masuk terkait Polri sejak Januari-Desember 2007 tercatat 597 keluhan. Dari jumlah tersebut, yang telah disampaikan kepada Polri sebanyak 449 keluhan, tetapi baru 257 keluhan (57,2 persen) yang direspons Polri. Dari semua keluhan itu pun, hingga kini baru dua keluhan yang terbukti. Namun, Kompolnas tidak dapat memublikasikan kedua keluhan tersebut.

Keluhan masyarakat, yang sebagian besar tertuju kepada reserse dan polantas, umumnya soal pemerasan, pungutan liar, intimidasi, rekayasa barang bukti, bertindak diskriminatif, dan berbagai bentuk pelanggaran lain.

Kejahatan meningkat

Berdasarkan laporan akhir tahun Polri, Sisno menyebutkan, kejahatan selama tahun 2007 meningkat 10,47 persen dibandingkan dengan tahun 2006, yaitu dari 299.168 menjadi 330.505 kejahatan. Meski demikian, persentase penyelesaian perkara kejahatan itu hanya meningkat 19,18 persen dari tahun 2006.

Akibatnya, pada tahun 2007 jumlah penduduk yang berisiko terkena kejahatan sebanyak 145 orang setiap 100.000 penduduk. Pada tahun 2006, dari setiap 100.000 penduduk, 131 orang berisiko terkena kejahatan. (sf)

DPD Jangan dari Parpol



Harus Ada Elemen Kedaerahan


Jakarta, Kompas - Idealnya, anggota Dewan Perwakilan Daerah bukan berasal dari anggota partai politik maupun pengurus parpol. Anggota DPD adalah murni dari kalangan masyarakat dan tokoh daerah.

Demikian pandangan guru besar Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia, Satya Arinanto, menanggapi perkembangan pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilu di Dewan Perwakilan Rakyat yang ingin melonggarkan syarat anggota atau pengurus partai politik menjadi calon anggota DPD.

"Untuk kalangan parpol kan sudah ada wadahnya, yakni di DPR," kata Satya, Jumat (28/12), yang sedang berada di Tokyo.

Apabila anggota dan pengurus parpol bisa lebih leluasa menjadi anggota DPD, implikasinya, ruang bagi masyarakat dan tokoh daerah yang bukan anggota/pengurus parpol akan semakin sempit atau tidak ada sama sekali.

Kondisi ini juga menjadi tidak ideal apabila Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang karena kamar DPR maupun DPD hanya representasi parpol.

Menurut Satya, dalam konteks Perubahan UUD 1945, semangat pembentukan DPD adalah untuk membentuk lembaga yang merepresentasikan kepentingan daerah dan untuk menggantikan utusan daerah. Namun, proses pengisian jabatannya melalui pemilihan, bukan dengan pengangkatan seperti utusan daerah. "Semangatnya adalah anggota DPD bukan berasal dari parpol atau pengurus parpol," ucapnya.

Pada saat menyusun RUU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, DPRD, partai politik memang sudah sangat menginginkan agar orang-orangnya bisa masuk DPD.

Peneliti senior dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Bivitri Susanti, mendorong DPR, jika memang hendak melonggarkan syarat anggota/pengurus parpol menjadi calon DPD, harus juga mendorong terjadinya perubahan konstitusi.

Dengan begitu, pintu untuk calon perseorangan pun juga dibuka menjadi lebih luas, bukan hanya dibuka di pemilihan kepala daerah dan pemilu DPD, tetapi juga di pemilu DPR, DPRD, bahkan pemilu presiden.

Sedangkan Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari mengingatkan, DPD dilahirkan terutama untuk memperjuangkan kepentingan daerah. "Merujuk prinsip itu, sudah selayaknya jika tetap dipertahankan elemen kedaerahan sebagai pengikat fungsi DPD itu," kata M Qodari.

Dia juga berpendapat, idealnya memang DPD diisi oleh orang nonpartai. DPD merupakan institusi untuk memperjuangkan kepentingan daerah sehingga DPD akan kesulitan jika diisi oleh kader parpol yang mesti juga patuh pada aturan partainya.

Menurut Qodari, jika memang syarat nonpartai itu tidak disepakati, yang terpenting adalah ada elemen kedaerahan sebagai pengikat para anggota DPD dengan daerah yang diwakilinya. Syarat domisili mestinya tetap dipertahankan.

Menurut guru besar FISIP Universitas Airlangga, Kacung Marijan, keinginan agar pengurus parpol masuk menjadi anggota DPD dinilai wajar dalam konteks negara demokratis yang menganut sistem bikameral.

"Tuntutan semacam itu boleh saja, biarlah calon dari parpol dan nonparpol bersaing. Rakyat yang akan menentukan karena semakin banyak pilihan akan semakin bagus untuk rakyat," kata Kacung. (sut/dik/A09)

pemberantasan korupsi



KPK Jilid Pertama dan "Demam" Antikorupsi


Vincentia Hanni S

Seusai dilantik Presiden pada 29 Desember 2003, Taufiequrachman Ruki, Erry Riyana, Tumpak, Amien Sunaryadi, dan Sjahruddin Rasul harus berhadapan dengan sebuah realitas yang membingungkan. Tak ada kantor, tak ada anggaran operasional, tak ada pegawai, dan tak ada yang memedulikan mereka. Mereka pun terpaksa rapat dari satu kafe ke kafe lain, tentu bergantian membayar. Bahkan, beberapa kali di kafe milik teman.

Seusai dilantik, mereka memberanikan diri bertanya kepada Presiden Megawati. "Jangan nanya kantor, kalau nanya itu pusing saya," jawab Presiden Megawati seperti dituturkan Taufieq (buku Empat Tahun KPK, Menyalakan Lilin di Tengah Kegelapan yang dikeluarkan KPK).

Akhirnya, mereka mendapatkan kantor yang dahulu merupakan kantor Departemen Kelautan dan Perikanan yang bersebelahan dengan Gedung Sekretariat Negara.

KPK mendapat dua lantai di gedung itu. Tempatnya sempit, semua menumpuk di ruangan yang luasnya hanya 6 x 6 meter. Peralatan kantor terpaksa diambil dari kocek mereka sendiri. Taufieq memerintahkan sekretarisnya, Ariston Rantetana, untuk membeli komputer di Glodok. Erry Riyana pun meminta sekretarisnya untuk membeli keperluan awal dan menyerahkan uang Rp 20 juta. Peralatan seperti gelas dan piring disiapkan oleh istri Erry.

Empat tahun lalu, saat Kompas mewawancarai mereka beberapa hari setelah mereka menempati gedung di Jalan Veteran, hanya ruangan kelima pimpinan ini yang kelihatan sudah layak untuk ditempati. Namun, masih sangat minim perabot.

Di ruangan Taufiequrachman Ruki saat itu hanya ada satu meja kerja, dua kursi, dan sebuah sofa tamu yang sudah tak lagi baru. Itu pun berkat kebaikan Sekretariat Negara yang bersedia meminjamkan beberapa buah furnitur tersebut. Ruangan-ruangan lain masih penuh debu dan sarang laba-laba. Juga tikus-tikus berukuran besar berlari ke sana kemari.

Tahun-tahun pertama, Taufieq cs hanya disibukkan untuk membangun institusi bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu.

Kini, setiap orang yang melintasi Jalan Rasuna Said bisa melihat gedung KPK, meski gedung tersebut bukan gedung baru. Taufieq cs mengidamkan gedung tersebut menjadi smart office yang dipenuhi dengan peralatan canggih dan modern untuk melacak dan mengejar koruptor.

Empat tahun telah menyulap KPK menjadi institusi negara yang memiliki kemampuan penyadapan terkuat di Indonesia, kemampuan komputer forensik yang kini juga terkuat di Indonesia.

"Kemampuan pelacakan uang oleh KPK sudah dibangun dan saya yakin kini yang terkuat di Indonesia. Sementara kemampuan analisis data intelijen masih terus dibangun," jelas Amien Sunaryadi, Wakil Ketua KPK yang membidangi pembangunan kelembagaan.

Itulah KPK kini. Taufieq, Erry, Amien, Tumpak, dan Sjahruddin Rasul telah mengubah sebuah lembaga yang semula dalam khayalan, kini menjadi sebuah lembaga negara yang "ditakuti" para politisi dan koruptor.

Dua kekuatan kini yang dimiliki KPK adalah peralatan yang canggih dan modern untuk melacak koruptor dan sumber daya yang profesional.

Pada lapis kedua dan ketiga, institusi KPK diisi tenaga-tenaga profesional. Dengan kepiawaian mereka di bidang teknologi informasi, pengawasan, dan komputer forensik, KPK periode pertama mampu menghidupkan pasal mati, yaitu pasal suap. Pasal yang nyaris tak pernah dipakai penegak hukum untuk mengungkap kasus korupsi.

Berkat kedua kekuatan itulah KPK periode pertama berhasil menangkap anggota KPU Mulyana W Kusumah; pengacara Probosutedjo, Harini Wijoso; dan para pegawai Mahkamah Agung; penyidik KPK, AKP Suparman; dan anggota Komisi Yudisial Irawady Joenoes.

KPK juga membantu kejaksaan menangkap Tabrani Ismail dan Dharmono K Lawi, serta membantu kejaksaan melacak kasus Bulog.

Membentuk kultur baru

Pimpinan KPK pun berupaya memberi contoh dengan tidak menikmati fasilitas pejabat negara, seperti rumah dinas, mobil dinas, dan pengawalan yang ketat. Sebab, mereka sudah menghitung fasilitas-fasilitas itu justru akan membebani negara.

Itulah salah satu kultur baru yang hendak dibangun pimpinan KPK, termasuk membuat kode etik. Tetapi, kenyataannya, membangun kultur baru tidaklah semudah membalik telapak tangan.

Meski lima pimpinan KPK periode pertama berupaya membangun kultur kerja baru di KPK dilengkapi dengan sistem pengawasan internal, sistem pemantauan kinerja pegawai, maupun sistem penggajian yang sudah bisa memenuhi kebutuhan hidup, toh mereka tetap saja kecolongan dengan munculnya kasus pemerasan penyidik KPK, AKP Suparman.

Kepemimpinan kolektif

Di luar KPK, kepemimpinan mereka berlima terlihat sangat solid, bahkan terkesan saling mengisi. Seorang praktisi hukum pernah mengatakan, pimpinan KPK ini mampu memainkan peran mereka masing-masing.

Penguatan kelembagaan KPK tak lepas dari sosok Amien Sunaryadi dan Erry Riyana yang memiliki kemampuan membangun sistem manajemen dan kultur lembaga serta membangun teknologi informasi. Taufiequrachman Ruki menjadi ikon yang kuat bagi KPK. Tumpak Hatorangan Panggabean memiliki kemampuan di bidang hukum. Sementara Sjahruddin Rasul memiliki kemampuan menggerakkan pemerintah daerah untuk memperbaiki sistem di pemerintahan daerah.

Namun, di internal KPK, kepemimpinan kelimanya kerap diwarnai dengan perdebatan soal perbedaan cara pandang dalam memberantas korupsi.

Sungguh bisa dipahami kalau perdebatan itu terjadi sebab kelima pimpinan KPK ini memiliki modal pengetahuan yang tidak sama soal bagaimana cara memberantas korupsi.

Taufiequrachman Ruki, Erry Riyana, dan Sjahruddin Rasul meyakini kepemimpinan kolektif adalah suatu kekuatan karena sulit untuk diintervensi.

Sementara Tumpak Hatorangan Panggabean berpendapat, "Kepemimpinan kolektif bisa menjadi sesuatu kekuatan apabila disertai dengan kesetaraan, keterbukaan, dan saling percaya, serta kepentingan yang sama dalam mencapai misi yang sudah ditetapkan secara bersama."

Menurut Tumpak Hatorangan, selama empat tahun ia merasa hubungan mereka berlima cukup solid dan tetap berpegang pada komitmen untuk tidak mau diintervensi oleh siapa pun.

Amien Sunaryadi memiliki pendapat lain. Menurut Amien, kepemimpinan kolektif justru membuat laju KPK tidak secepat yang ia harapkan. "Sekarang ini baru tercapai sekitar 40 persen dari yang saya harapkan," kata Amien.

Belajar dari negara-negara lain, kata Amien, Badan Antikorupsi di negara-negara yang berhasil justru dipimpin seorang komisioner atau seorang direktur.

"Hongkong komisionernya satu, ternyata berhasil, Malaysia komisionernya satu berhasil, New South Wales satu juga berhasil, Nigeria satu orang komisioner juga berhasil, Afrika Selatan Scorpion Tim satu orang juga sukses. Nepal komisionernya enam sekarang enggak ada kabarnya," kata Amien.

Strategi pemberantasan

Sudah tepatkah strategi pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK?

Taufiequrachman Ruki, Erry Riyana, dan Sjahruddin Rasul menilai strategi yang dilakukan KPK, yakni menyinergikan antara pencegahan dan penindakan, merupakan strategi pemberantasan korupsi yang tepat.

Tumpak Hatorangan yang selama ini menangani bidang penindakan mengatakan, kasus-kasus korupsi para kepala daerah merupakan kasus yang merugikan negara cukup besar setelah adanya otonomi daerah.

"KPK hanya melakukan penyidikan berdasarkan UU Nomor 31/1999, sedangkan kasus-kasus seperti BLBI dan Cendana itu tempus delicti-nya terjadi pada masa UU Nomor 3/1971," katanya.

Amien Sunaryadi mengatakan, apa yang dilakukan KPK periode pertama itu baru pada tahap awal pemberantasan korupsi.

"Kita masih berada pada posisi bendera start hendak dikibarkan, kita masih eforia. Sebab, untuk masuk ke tahap itu ada beberapa persyaratan yang harus dibuat, yaitu ada strategi nasional pemberantasan korupsi, ada upaya memperkuat DPR, memperkuat MA, dan dibentuk Badan Antikorupsi. Perlu 50 tahun, baru Indonesia bisa memberantas korupsi," kata Amien menegaskan.

Meski masih banyak kekurangan yang belum dilakukan KPK periode pertama, setidaknya mereka sudah mampu menyebarkan "demam" soal korupsi.

Empat tahun KPK hadir, publik sudah berani berteriak "korupsi". Apakah pimpinan yang baru mampu melanjutkan tongkat estafet ini?

Evaluasi Akhir Tahun


Tiga Fraksi Pendukung Menilai Pemerintah Gagal


Jakarta, Kompas - Kinerja pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla tidak hanya dinilai gagal oleh fraksi partai oposisi, tetapi juga oleh fraksi-fraksi yang merupakan pendukung pemerintah.

Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Kebangkitan Bangsa, dan Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi mengaku kecewa dengan kinerja pemerintah. Padahal, ketiga partai ini juga memiliki kader di Kabinet Indonesia Bersatu.

Evaluasi itu disampaikan dalam diskusi Dialektika Demokrasi yang diadakan Koordinatoriat Wartawan DPR di Gedung DPR, Jumat (28/12).

F-PKS menilai kinerja pemerintahan Yudhoyono-Kalla selama tiga tahun ini dengan rata-rata 5,5. Nilai merah diberikan pada soal penanggulangan kemiskinan dan pembangunan daerah perbatasan dan terisolir (4), mitigasi dan penanggulangan bencana, percepatan pembangunan infrastruktur, serta peningkatan kesempatan kerja, investasi, dan ekspor (5).

Nilai biru diberikan pada soal penegakan hukum dan HAM (6-), revitalisasi pertanian dan pembangunan pedesaan (6+), penguatan kemampuan pertahanan, pemantapan keamanan dan ketertiban serta penyelesaian konflik (7), dan peningkatan aksesibilitas dan kualitas pendidikan dan kesehatan (7).

"Pemerintahan SBY-JK telah kehilangan momentum emas kekuasaannya untuk mengefektifkan program-program pembangunan di berbagai bidang," ucap Ketua F-PKS Mahfudz Siddiq.

Ketua Fraksi Partai Demokrat Syarif Hassan yang juga hadir dalam diskusi langsung membantah itu semua. Menurut Syarif, kinerja pemerintah saat ini cukup baik, tetapi tantangan yang dihadapi pemerintah berat karena saat itu Indonesia sedang berada di titik nadir. (SUT)

Demokrasi Indonesia Gagal karena Pedagang yang Berkuasa



JAKARTA, KOMPAS - Demokrasi merupakan pilihan terbaik dibandingkan dengan sistem politik lain. Meski begitu, demokrasi memerlukan sosok pemimpin yang tepat.

"Demokrasi harus diisi orang-orang yang tepat. Demokrasi di Indonesia gagal karena saat ini yang berkuasa adalah para pedagang, dengan kalkulasi politik jangka pendek," kata Muhammad Nasih, pengurus Presidium Majelis Sinergi Kalam Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia, dalam diskusi "Refleksi Demokrasi Indonesia: Dilema antara Kebebasan dan Kesejahteraan untuk Rakyat", Jumat (28/12).

Dalam diskusi yang diselenggarakan Masika ICMI itu, Muhammad Nasih mengatakan, sudah saatnya sosok yang punya kemampuan memimpin turun gunung menggantikan pemimpin pedagang dan berhenti menganggap politik sebagai sesuatu yang kotor.

Sementara guru besar FISIP Universitas Airlangga, Kacung Marijan, mengatakan, secara teoretis, tidak ada hubungan langsung antara demokrasi dan kesejahteraan rakyat. "Namun, secara tidak langsung, demokrasi mempunyai kontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat," kata Kacung.

Menurut dia, secara tidak langsung demokrasi bisa lebih menyejahterakan karena tiga alasan. Pertama, demokrasi memungkinkan rakyat miskin menentukan siapa yang memimpin. Kedua, kebebasan pers sebagai salah satu syarat demokrasi memungkinkan transfer informasi dari rakyat miskin kepada pemerintah pusat. Ketiga, demokrasi menjamin ketersediaan barang publik.

"Yang harus dibangun dalam demokrasi adalah sisi-sisi positifnya ini," katanya.

Optimisme Kacung terhadap demokrasi itu ia ungkapkan menanggapi pesimisme beberapa pihak terhadap demokrasi di Indonesia yang tidak kunjung mendatangkan manfaat bagi rakyat.

Fuad Bawazier yang juga menjadi pembicara dalam diskusi, misalnya, berpendapat, demokrasi di Indonesia hanya dinikmati oleh sepuluh persen rakyat yang kondisi ekonominya mapan. Kemajuan politik tidak diikuti kemajuan ekonomi. Padahal, biaya demokrasi di Indonesia sangat mahal. Pemerintah harus mengeluarkan Rp 47 triliun untuk pilkada. Itu pun belum termasuk biaya yang harus dikeluarkan oleh para kontestan. (A09)

Demokrasi dan Trauma Sejarah


Peter Rosler Garcia


Demokrasi punya banyak musuh: korupsi, kolusi, nepotisme, ekstremisme, sifat tidak peduli kepada kaum miskin, dan salah mengartikan inti demokrasi. Tetapi, juga luka jiwa berat seluruh bangsa sebagai akibat malapetaka sejarah bisa membahayakan konsolidasi demokrasi.

Penelitian Lembaga Survei Indonesia sudah membuktikan bahwa demokrasi di Indonesia belum terkonsolidasi. Walaupun secara rata-rata 72 persen warga Indonesia mendukung demokrasi, dibandingkan dengan negara Eropa persentase itu masih rendah.

Mengapa demokrasi di Indonesia belum terkonsolidasi? Masih ada banyak kasus korupsi, kolusi, nepotisme, dan ketidakadilan hukum. Juga masih terlalu besar jumlah orang miskin. Adalah korelasi sangat kuat antara kemiskinan, korupsi, dan kelemahan demokrasi. Kebanyakan negara berpenghasilan rendah masuk kelompok negara yang dinilai amat korup dan kurang demokratis.

Demokrasi itu tujuan

Demokrasi bukan hanya alat atau cara untuk mencapai sesuatu. Demokrasi adalah tujuan itu sendiri. Nilai-nilai demokrasi mengandung pada pokoknya keadilan hukum, tanggung jawab sosial, dan pembelaan hak-hak asasi manusia untuk semua warga negara, kaya atau miskin, sipil atau militer.

Tetapi tak ada gading yang tak retak. Tiada demokrasi yang sempurna. Apa mungkin sistem politik yang diciptakan oleh kaum manusia bisa lengkap, tanpa kelemahan dan tanpa kesalahan? Bahkan demokrasi Amerika Serikat (AS) bisa melahirkan presiden pembohong dan penghasut perang seperti Bush, presiden korup yang didalangi oleh perusahaan minyak bumi AS. Dan warga kaya raya AS punya seribu kemungkinan untuk menghindarkan diri dari pengadilan. Walaupun begitu, di luar demokrasi, tiada sistem politik yang secara sama efisien bisa menjaminkan hak-hak asasi manusia.

Demokrasi hanya bisa berhasil baik jika empat susunan keamanannya bekerja tanpa hambatan: pemerintah (eksekutif) yang merasa bertanggung jawab kepada seluruh bangsa, parlemen (legislatif) yang bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang memilih anggotanya, lembaga-lembaga pengadilan (yudikatif) yang setia kepada keadilan hukum dan pers bebas dan berani.

Di samping itu, demokrasi hanya bisa berjalan dengan baik pada bangsa yang sudah mengakui semua fakta masa lalunya, termasuk kesalahan buruknya. Sebaliknya, menekan hal-hal buruk ke bawah sadar tidak bisa membebaskan dari rasa bersalah. Sampai sekarang AS belum mau mengakui kejahatan-kejahatan perangnya di Vietnam dan di negara lain. Hal itu dianggap sebagai salah satu sumber kasus kekerasan yang berulang-ulang terjadi di AS. Negara yang tidak mengutuki kekerasan dalam sejarahnya sendiri tidak punya dasar bersusila untuk melawan kekerasan sekarang.

Trauma kekerasan

Demokrasi Indonesia masih sangat muda, tetapi sudah menderita beberapa trauma kekerasan. Yang paling berat tentu saja pembunuhan massal orang Indonesia berhubungan dengan G30S. Pembantaian itu terjadi setelah pembunuhan enam pejabat tinggi Angkatan Darat.

Sampai sekarang tidak jelas siapa dalang pembunuhan enam perwira itu. Ada yang menuduh Partai Komunis Indonesia (PKI), ada juga yang menuduh badan intelijen AS (CIA). Sangat jelas bahwa hanya Washington yang menarik keuntungan dari G30S. AS pada waktu itu sedang terlibat dalam perang dingin Uni Soviet dan perang panas Vietnam dan takut sekali Indonesia akan jatuh ke tangan komunisme.

Dalam enam bulan setelah peristiwa G30S, banyak anggota dan pendukung PKI, ormas buruh dan petani lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan di mana sebagian mereka disiksa sampai mati. Juga banyak orang yang hanya dianggap sebagai anggota atau simpatisan PKI dan juga warga Tionghoa dibantai. Di samping itu, ada orang yang menuduh tetangganya sebgai PKI hanya untuk meraih istri atau hartanya, atau membalas dendam.

Semua orang itu dibunuh tanpa perkara pengadilan. Semuanya dibantai tanpa bukti-bukti bahwa mereka sudah melakukan kejahatan. Banyak di antara mereka, kaum buruh atau petani, yang tidak tahu siapa Karl Marx atau apa komunisme itu, apalagi tentang G30S. Kebanyakan korban pembantaian tidak pernah melakukan kejahatan apa-apa terhadap pemerintah atau masyarakat.

Sampai hari ini jumlah korban pembunuhan massal tidak jelas. Diduga setidak-tidaknya satu juta orang atau lebih menjadi korban dalam malapetaka itu. Jika begitu, jumlah korban pembantaian selama enam bulan pasca-G30S lebih banyak dari jumlah korban pembantaian oleh kolonialis Belanda selama tiga setengah abad. Itulah trauma sejarah Indonesia paling berat yang juga mempersulit konsolidasi demokrasi di negara ini.

Peristiwa itu sudah terjadi lebih dari 40 tahun lalu. Mungkin sudah terlambat untuk menghukum semua pembunuh yang dipesan atau yang sukarela itu. Juga, dalam demokrasi dewasa ini, kurang cocok memikirkan pembalasan dendam. Hanya jika ditemui bahwa ada dalang Indonesia di belakang peristiwa G30S, dia sekarang harus diadili tanpa memerhatikan umurnya dan tanpa ampun.

Situasi sangat lain dengan kaum korban. Masih pada waktunya menunjukkan rasa keadilan kepada semua mereka. Tahap pertama adalah mendaftarkan semua nama korban, umur mereka, dan kapan mereka dibunuh. Hanya dengan begitu orang bisa mengetahui berapa persis jumlah korban dan siapa saja mereka. Jauh lebih sulit meneliti apakah alasan pembunuhan mereka.

Kerusuhan Mei 1998 merupakan malapetaka lebih kecil, tetapi yang lebih baru. Sampai hari ini belum jelas siapa yang menunggangi massa yang mengamuk. Tetapi dengan nyata kerusuhan itu terarah dan terorganisasi. Banyak warga Indonesia keturunan Tionghoa menjadi sasaran amuk dan toko-toko serta perusahaan-perusahaan mereka dihancurkan. Tak sedikit perempuan yang diperkosa, tetapi fakta ini selalu disangkal oleh pemerintah dan sebagian masyarakat lainnya.

Penyusun dan pelaku aksi-aksi kejahatan ini barangkali masih punya jabatan tinggi dan tugas yang berpengaruh. Mereka merupakan bahaya serius untuk demokrasi Indonesia. Itu alasannya mereka harus dituntut ke muka pengadilan secepat mungkin. Dalam demokrasi sejati, anggota militer yang melakukan kejahatan sipil harus tunduk pada yurisdiksi sipil.

Kekerasan antidemokrasi pada zaman pasca-G30S dan pada Mei 1998 tidak hanya merupakan lembaran hitam sejarah Indonesia. Itu adalah utang jiwa yang belum terbayar, sebuah trauma yang tidak disembuhkan. Hanya dengan mengakui semua fakta pahit sejarah, Indonesia bisa menghindarkan lanjutan kekerasan dan mengonsolidasikan demokrasinya.

Peter Rosler Garcia Ahli Politik dan Ekonomi Luar Negeri, Hamburg, Jerman

Kepala Negara


Jakob Sumardjo


Dalam wawancara dengan Oriana Fallaci tahun 1972, Henry Kissinger mengatakan bahwa untuk menjadi kepala negara tidak perlu keintelektualan, tetapi kekuatan, keberanian, dan kecerdikan.

Manusia-manusia intelektual yang hidup dari perenungan dan pemikiran tentang hakikat segala sesuatu tidak cocok untuk menjadi kepala negara. Manusia semacam itu lebih berguna jika menulis buku, bukan untuk diberi jabatan pemerintahan.

Bayangkan jika orang seperti Goenawan Mohamad dipilih menjadi Presiden Republik Indonesia karena kecerdasannya yang istimewa. Atau dulu pernah orang mencalonkan almarhum Nurcholish Madjid sebagai calon presiden. Banyak orang mengingatkan agar orang-orang cendekia seperti itu menjadi "bapak bangsa" daripada menjadi kepala negara. Perbedaannya terletak pada kategori politik untuk kepala negara dan kategori moral untuk bapak bangsa.

Bapak moral bangsa itu urusannya kejujuran, kebenaran, dan kebebasan. Bapak negara itu urusannya kekuatan massa, kecerdikan, dan keterikatan ideologi. Menjadi bapak bangsa milik semua ideologi. Menjadi kepala negara harus masuk salah satu kebenaran ideologis. Kalau tidak demikian, tidak dipilih sebagai pemimpin politik. Kalau tidak demikian, dia tidak akan memiliki massa dan dengan demikian, tidak memiliki kekuatan nyata.

Kekuatan moral tidak berambisi untuk menyusun kekuatan, apalagi memenangkan kekuatan dengan kecerdikan. Cerdik membutuhkan kecerdasan pragmatik bukan paradigmatik. Kecerdasan pragmatik tidak perlu kejujuran karena tujuan utamanya menggalang kekuatan.

Orang yang jujur pada dirinya tidak memikirkan kepentingan diri, kecuali kebenaran diri. Dan kebenaran diri juga kebenaran bagi orang-orang lain. Karena itu, seorang bapak bangsa tidak terikat masa kekuasaan. Orang semacam itu tetap "berkuasa" meski sudah meninggal. Bapak bangsa tidak mengenal masa jabatan.

Kepala negara dan selebriti

Seorang kepala negara itu seperti selebriti, populer dan berkarisma selama berkuasa, untuk dilupakan dan ditinggalkan bagai ban tua setelah masa populernya habis. Seorang kepala negara berkarisma karena kekuasaannya dan kekuatannya, seperti selebriti berkarisma karena kecantikannya, suaranya, goyang pinggulnya, bahkan kenekatannya.

Semua itu ada batas waktunya. Wajah kian menua, goyang pinggul semakin encok, dan kenekatannya membosankan. Dalam hal kekuasaan dan kekuatan, seorang kepala negara akan digusur oleh mereka yang lebih kuat.

Bahwa keintelektualan itu tidak diperlukan dalam jabatan kepala negara dapat dibuktikan oleh sejarah Indonesia sendiri. Para pemimpin kita yang lebih memilih hidup intelektual daripada hidup dalam kecerdikan, seperti Bung Hatta, Bung Syahrir, dan Tan Malaka, tak pernah populer di mata rakyat. Kaum intelektual itu minoritas. Kaum cerdik-pandai itu lebih populis. Semua itu disapu bersih oleh Bung Karno yang lebih cerdik dan selebriti.

Banyak yang mengingatkan bahwa Abdurrahman Wahid mirip Nurcholish Madjid, lebih berperan sebagai bapak bangsa daripada diberi kekuasaan sebagai kepala negara. Ketika MPR kepepet memilihnya sebagai presiden, usianya tak lebih dari satu tahun. MPR menjilat ludahnya sendiri. Abdurrahman Wahid tetap Gus Dur, tetap ceplas-ceplos jujur mengikuti nuraninya, tak peduli urusan pragmatik. Artinya, tetap intelektual, akrab dengan siapa saja, perenung, dan pemikir yang sulit diikuti oleh mereka yang malas berpikir.

Pemikir dan penguasa

Di banyak negara maju, pemisahan antara pemikir dan penguasa politik disadari rakyat yang rata-rata berpendidikan menengah. Jika Sartre hidup di Indonesia tahun 1950- an, ia tentu akan dijadikan kepala negara Indonesia karena kepopuleran gagasan filosofisnya. Namun, rakyat Perancis tidak bodoh. Mereka mencari kepala negara yang bukan pemikir, tetapi yang kuat, berani, dan punya ideologi yang harus dimenangkannya. Kalau Sartre dipilih menjadi kepala negara, tentu eksistensialisme akan dikubur seperti komunisme.

Dalam beberapa hal, Kissinger mungkin benar. Hal itu didasarkan pengalaman hidupnya sebagai tokoh yang selalu dekat dengan beberapa Presiden Amerika. Soeharto lebih cocok menjadi kepala negara daripada Henry Kissinger. Soeharto lebih kuat, lebih berani, dan lebih cerdik. Semua itu didukung kekuatan, meski bukan massa tetapi bersenjata.

Karena kuat, ia telah mengantongi kekuasaan. Karena kuat, ia lebih berani dan tegas. Untuk mempertahankan itu semua ia perlu kecerdikan. Jika Soeharto tidak cerdas dan cerdik, tentu tidak akan menguasai Indonesia selama 32 tahun. Menyadari kekurangintelektualannya, Soeharto mengangkat kaum intelektual sebagai pembantu-pembantunya.

Cacat intelektual yang utama adalah tidak mau cerdik. Politiknya mungkin cerdik, tetapi kebijakan pembangunannya terlalu cerdas sehingga pemikiran harus mengalah pada kecerdikan.

Seorang intelektual yang menjadi kepala negara lama-lama bisa mengidap penyakit tidak waras, akibat konflik batin terus-menerus antara watak kekuasaan dan watak pemikiran.

Menjadi kepala negara di Indonesia itu harus berani tidak waras. Tidak waras dari segi intelektual dan tidak waras dari segi kekuatan. Marilah kita mencari orang tidak waras itu.

Jakob Sumardjo Esais

Membaca Kaum Muda


AM Lilik Agung


Dari sebuah gang di Jalan Kaliurang, Yogyakarta. Sebuah patung manusia dengan wajah penguasa otoriter negeri ini dinaikkan ke atas becak dan diarak menuju tempat demonstrasi. Halaman depan Balairung Universitas Gadjah Mada semakin riuh atas kehadiran patung berwajah penguasa otoriter tersebut.

Peristiwa itu pantas dicatat dalam sejarah penumbangan rezim otoriter Orde Baru. Patung tersebut dibakar habis para demonstran. Inilah api yang menyulut demonstrasi akbar para mahasiswa di hampir seluruh pelosok Tanah Air.

Benar bila Indra Jaya Piliang menyebut bahwa gerakan mahasiswa 1998 bukan produk mahasiswa Jakarta, melainkan disampaikan secara bergelombang dari sejumlah mahasiswa yang terluka dan terbunuh di Medan, Lampung, Makassar, dan Yogyakarta. (Kompas, 15/12/2007). Ketika para mahasiswa di Jakarta masih disibukkan dengan mengejar IPK dan jalan-jalan di mal, mahasiswa daerah lain (terutama Yogyakarta dan Bandung) harus menghadapi pentungan, gamparan, darah, penjara, penculikan, hingga kematian untuk demokrasi.

Namun, ketika Indra Piliang menyebut bahwa kaum muda Jakarta hanyalah kepala tanpa kaki tangan, buntung secara so- sial, tunasosial, dan tanpa keringat, pernyataan ini jadi cacat yang layak untuk di- gugat. Benar bahwa ada kaum muda Jakar- ta seperti apa yang disebut Indra. Namun, banyak kaum muda Jakarta yang utuh secara sosial dan bergelut dengan keringat untuk menegakkan keadilan sosial.

Sebagai contoh kasus yang dilakukan kaum muda profesional Jakarta (baca: pelaku bisnis). Ketika terjadi bencana di mana pun di negeri ini, kaum muda profesional Jakarta menjadi orang yang paling awal mendatangi korban bencana tersebut. Walaupun semua kegiatan tersebut bersifat karitatif, menandakan di tengah keterjepitan waktu mengejar target pekerjaan, para profesional muda Jakarta melek secara sosial. Hanya saja, aktivitas ini jauh dari publikasi media massa ataupun perbincangan politik karena mereka memang tidak ingin ditampilkan ke media massa seperti layaknya tokoh politik.

Bebas primordialisme

Pascagerakan mahasiswa 1998, tak bisa dielakkan mayoritas pelaku gerakan berlarian menyerbu Jakarta. Sebagian bergiat pada ranah politik praktis. Sebagian lagi bergiat di wilayah lembaga swadaya masyarakat, media massa, ataupun kampus. Tak sedikit yang menjadi profesional perusahaan atau menjalankan usaha sendiri.

Benar seperti apa yang ditulis Mohamad Sobary bahwa dibandingkan dengan tokoh-tokoh bisnis, media, keilmuan, dan LSM, tokoh politik kaum muda jauh tertinggal. Kualitas tokoh politik kita (kaum muda) hanya setingkat dengan stereotip yang kita lekatkan kepada pegawai negeri: seadanya, kurang kreatif, ogah berinisiatif, dan gigih menjaga "tradisi" tak bertanggung jawab (Kompas, 2/12/2007).

Mengharap kaum muda memimpin negeri ini jelas tidak bisa diharapkan hanya dari kaum muda yang sekarang bergiat di ranah politik. Kolaborasi menjadi tidak terelakkan antara tokoh politik dan tokoh bisnis, tokoh media, tokoh keilmuan, dan tokoh LSM. Mengoptimalkan tokoh bisnis muda untuk ikut memimpin menjadi sebuah keharusan.

Ada banyak keunggulan tokoh bisnis muda dibandingkan dengan tokoh-tokoh muda lainnya. Dari segi pendidikan, mereka sangat terdidik dan bahkan banyak lulusan universitas terbaik di luar negeri. Dari sudut ekonomi, mereka golongan masyarakat strata A yang tidak lagi takjub untuk bepergian ke luar negeri ataupun rapat di hotel berbintang. Dari sisi manajemen, mereka sudah bergaul intim dengan apa yang disebut cara mengelola organisasi secara efektif dan efisien. Lebih dari itu mereka relatif terbebas dari wawasan sempit primordialisme lantaran lingkup kerja dan pergaulan mereka sudah global. Hanya dua hal yang perlu dipoles dari mereka: kecakapan berpolitik dan kecerdasan menggerakkan massa.

Kapitalisme

Pepatah bijak Sun Tzu mengatakan bunuhlah ular dengan rumputnya. Pepatah ini pantas untuk menengahi opini Sukardi Rinakit (Kompas, 4/12/2007) dalam menjawab opini Sonny Mumbunan menyoal kereta baru milik kaum muda, yaitu ekonomi pasar sosial (epasos), bisa jadi bakal mogok karena bahan bakarnya keliru pada aras konsep (Kompas, 21/11/2007).

Kaum muda era sekarang dibesarkan dalam sebuah tatanan kapitalisme global. Mereka melihat, merasakan, dan bergaul dengan kapitalisme. Ketika tiba-tiba mereka harus membendung dengan kereta bernama epasos jelas akan terengah-engah kehabisan napas. Cara paling cerdas, "meniduri" kapitalisme tersebut dengan aktif di dalamnya.

Pada dasarnya kapitalisme bersifat netral. Ia bisa digerakkan individu ataupun negara. Bahkan pada era ketika privatisasi BUMN sedang gencar dilakukan di negeri ini, justru di negeri tetangga BUMN mereka ramai-ramai mengakuisisi perusahaan swasta. Sebutlah contoh Temasek (Singapura), Petronas (Malaysia), atau yang paling fenomenal, yaitu Dubai Corporation (Uni Emirat Arab). Tiga raksasa besar BUMN ini yang bisnisnya menggurita dan "lebih" kapitalis dibandingkan dengan perusahaan multinasional seperti yang selama ini dipahami.

Lebih dari itu, kapitalisme bisa menjadi malaikat penyelamat apabila berada di tangan orang-orang bijak. Bisa disimpulkan gerakan filantropis global dengan penyandang dana nyaris tak terbatas berasal dari perusahaan multinasional ataupun perorangan yang sejauh ini dicap sebagai kapitalis buas. Bill Gates merupakan orang yang paling banyak mengucurkan dana untuk kegiatan filantropis. Di bawahnya ada Warren Buffet, Mike Bloomberg, dan George Soros yang jelas seorang kapitalis murni.

Pada sisi lain, para penganjur ekonomi jalan tengah, epasos, ekonomi kerakyatan, atau apapun namanya di negeri ini justru pendidikannya banyak dibiayai oleh perusahaan kapitalis, semisal Toyota Foundation, Ford Fondation, Rockefeller Foundation, hingga perusahaan lokal Astra Foundation dan Sampoerna Foundation. Ada dikotomi di sini. Pada satu sisi mereka menentang kapitalisme, tetapi di sisi lain mereka dibiayai kapitalisme.

Prinsip paling bijak ketika kaum muda memulai memimpin, mereka berkawan dengan kapitalisme. Jangan ketika kaki kanan bernama politik masih rapuh harus mengamputasi kaki kiri ekonomi dengan melawan kapitalisme. Sementara itu, konsep ekonominya sendiri masih diperdebatkan. Roda ekonomi sebuah negara bukan sebuah konsep, tetapi tindakan.

AM Lilik Agung Mitra Pengelola High Leap Consulting, Praktisi Bisnis

A r s i p