Thursday, January 31, 2008

39 Bulan SBY


Senin, 21 januari 2008 | 04:55 WIB

SUWARDIMAN

Setelah tiga tahun pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pertumbuhan ekonomi Indonesia memang terus merangkak naik. Namun, publik rupanya tidak merasakan pencapaian pemerintah tersebut jika dihadapkan pada kondisi riil yang dihadapi sehari-hari.

Keyakinan publik bahwa pemerintah akan mampu mengeluarkan bangsa ini dari problem perekonomian terus merosot. Harapan dan keyakinan publik atas perbaikan kondisi perekonomian sangat tinggi pada masa-masa awal pemerintahan Yudhoyono.

Akan tetapi, keyakinan tersebut sempat turun pada periode enam bulan pemerintahan, tetapi kembali meningkat pada triwulan berikutnya. Selanjutnya, tingkat keyakinan publik terus melorot seiring dengan berbagai kegagalan pemerintah menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok.

Jika dalam Jajak Pendapat Kompas yang dilakukan pada periode sembilan bulan pemerintahan (16/7/2005) sebanyak 77,5 persen responden yakin pemerintah akan mampu memperbaiki kondisi perekonomian, pada jajak pendapat tiga bulan berikutnya hanya 64,2 persen responden yang memiliki keyakinan yang sama.

Kini, triwulan pertama di tahun keempat pemerintahan Yudhoyono, keyakinan publik kian turun. Publik yang menaruh harapan pada kemampuan pemerintah mengatasi problem ekonomi tercatat tinggal 49,9 persen.

Problem nyata

Pertumbuhan ekonomi makro Indonesia di atas kertas memang terus mengalami peningkatan. Pada awal pemerintahan Yudhoyono, pertumbuhan ekonomi triwulanan tercatat sebesar 6,4 persen, sempat melorot saat 15 bulan pemerintahan sampai 4,6 persen. Namun, pada tahun 2007 kembali menanjak menjadi 6,5 persen pada triwulan ketiga.

Pertumbuhan ekonomi tidak secara langsung meningkatkan pertumbuhan kesejahteraan. Indikator ekonomi makro yang tercatat di atas kertas ternyata terbalik dengan realitas kesejahteraan masyarakat. Dalam pidatonya pada April 2006, Yudhoyono mengatakan bahwa angka pengangguran dan kemiskinan tidak berkurang meskipun ada pertumbuhan ekonomi.

Sebaliknya, selang beberapa bulan, kepada pers Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan bahwa kemiskinan pasti turun jika pertumbuhan semakin baik. Dua pendapat yang berlawanan dari pemimpin tertinggi negeri ini seolah mencerminkan adanya realitas terbalik antara catatan statistik dan kondisi riil masyarakat.

Selama 15 bulan pertama pemerintahan Yudhoyono-Kalla, jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 juta penduduk (Susenas Februari 2005), menjadi 39,05 juta jiwa (Susenas Maret 2006). Orientasi pertumbuhan ekonomi tidak selalu berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan masyarakat.

Berbagai kebijakan pemerintah yang tidak populis mendorong sejumlah gejolak di tengah masyarakat. Langkah pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) pada Oktober 2005 berimbas pada kelangkaan minyak tanah dan bahan bakar premium. Imbas lebih jauh dari kebijakan ini bagi masyarakat kelompok bawah adalah meningkatnya harga bahan kebutuhan pokok.

Kelangkaan minyak tanah pun terus berlanjut hingga tahun 2007. Kebijakan konversi dari minyak tanah ke gas juga tidak serta-merta menjadi solusi. Harga gas yang lebih mahal dan ketidakmampuan pemerintah menjamin ketersediaan pasokan gas, malah menambah persoalan bagi rakyat kecil.

Problem lainnya, di antaranya adalah kebijakan impor beras, memberi persoalan bagi para petani akibat harga gabah anjlok. Ketika harga beras melonjak pun pemerintah sepertinya tidak cepat tanggap dengan operasi pasar. Distribusi beras bagi warga miskin banyak menghadapi masalah karena banyak salah sasaran.

Berbagai situasi ini boleh jadi meningkatkan keraguan publik bahwa pemerintah akan mampu memperbaiki perekonomian negeri ini, seperti tecermin dari terus menurunnya tingkat kepercayaan publik pascasembilan bulan pemerintahan Yudhoyono.

Kemerosotan paling signifikan adalah tingkat kepuasan publik pada pemerintah dalam mengendalikan harga barang kebutuhan pokok. Hasil jajak pendapat tiga bulan yang lalu menunjukkan, 76,2 persen responden tidak puas atas kinerja pemerintah menjaga stabilitas harga sembako. Dalam jajak pendapat kali ini responden yang berpendapat serupa meningkat jadi 81 persen. Sekitar 8 dari 10 responden juga menyatakan bahwa di bidang ekonomi, Yudhoyono belum berhasil menepati janji-janji kampanyenya.

Gejolak kebutuhan pokok, lagi-lagi, mengemuka pada awal tahun 2008. Kelangkaan kedelai menjadi masalah besar bagi produsen makanan di lapisan bawah, di antaranya produsen tempe dan tahu serta produk bawaannya. Kelangkaan kedelai ini juga disusul dengan mulai langkanya terigu.

Persoalan ini sedikit menurunkan citra Presiden Yudhoyono dibandingkan tiga bulan lalu. Sebelumnya publik yang menilai baik citra Yudhoyono sebesar 74,9 persen, kali ini turun menjadi 74, 6 persen.

(SUWARDIMAN/ LITBANG KOMPAS)

No comments:

A r s i p