Wednesday, January 16, 2008

Jangan Salahkan Demokrasi jika Tak Makmur


Jakarta, Kompas - Pakar politik dari Universitas Gadjah Mada Ichlasul Amal mengingatkan, peningkatan kesejahteraan masyarakat sebenarnya tidak terkait dengan penerapan demokrasi. Meski begitu, diakui bahwa untuk negara berkembang seperti Indonesia, persoalan politik dan ekonomi sudah seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.

Menurut Ichlasul, banyak terjadi kesalahan umum di mana orang sering kali menyalahkan demokrasi dan menginginkan kembali ke bentuk pemerintahan sebelumnya, yang otoriter, ketika penerapan demokrasi tidak lantas meningkatkan kesejahteraan masyarakat suatu negara.

Pernyataan itu disampaikan Ichlasul, Selasa (15/1), saat berbicara dalam diskusi "Demokrasi: Ancaman atau Peluang Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat?", yang digelar Perhimpunan Jurnalis Indonesia.

"Kalau kedua hal tadi mau dikaitkan, pertanyaannya kemudian adalah sampai kapan demokrasi baru bisa diterapkan? Pengalaman beberapa negara menunjukkan, penerapan demokrasi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat semakin terpisah," ujar Ichlasul.

Menurut Ichlasul, dalam sejarahnya, demokrasi di Eropa muncul ketika kesejahteraan masyarakat semakin membaik dan memunculkan kelas menengah baru, yang mengimbangi keberadaan dan peran kerajaan serta kaum bangsawan saat itu.

Ichlasul memperkirakan, upaya untuk mengaitkan kedua hal itu muncul sebagai akibat kegagalan sistem pemerintahan Orde Baru yang ternyata tidak mampu menghadapi kejatuhan perekonomian Indonesia saat krisis terjadi.

Dalam kesempatan itu, Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Azyumardi Azra mengingatkan, saat ini di Indonesia sudah terjadi kekecewaan di kalangan masyarakat, yang menganggap demokrasi pascareformasi telah gagal memperbaiki kesejahteraan masyarakat tingkat bawah.

Demokrasi di Indonesia, lanjutnya, sekadar menjadi demokrasi prosedural berbiaya tinggi. Misalnya dalam sejumlah kasus pemilihan kepala daerah langsung, di mana seseorang membutuhkan "uang mahar" tinggi jika ingin mencalonkan diri, yang jumlahnya mencapai miliaran rupiah.

Efisiensi

Wakil Presiden Jusuf Kalla di acara yang sama mengatakan, dirinya terus mewacanakan dan memerintahkan kader Partai Golongan Karya untuk menjadikan pemilihan umum di seluruh Indonesia efisien dan murah.

Wapres mengusulkan penghapusan pencoblosan menjadi penulisan nomor, pengurangan jumlah tempat pemungutan suara, dan penggantian kartu pemilih dengan KTP. Berdasarkan hitungannya, jika efisiensi itu dilakukan, sepertiga biaya pemilu yang ditanggung negara dan juga partai politik bisa dihemat.

Selain itu, Wapres juga mensyaratkan demokrasi harus sesuai dengan kultur Indonesia. Wapres berargumen, demokrasi di Indonesia harus dikaitkan dengan upaya mencapai kesejahteraan rakyat yang merupakan tujuan negara.

Terhadap usulan dari penggagas acara Republik Mimpi, Effendi Gazali, yaitu pembebasan biaya iklan bagi kampanye semua calon presiden dan wapres, Wapres langsung menyetujuinya.

Terkait dengan usulan itu, Wapres minta dibuatkan resolusinya dan akan ikut menandatanganinya agar dapat diwujudkan. (DWA/INU)

No comments:

A r s i p