Wednesday, January 9, 2008

POLITIKA



Optimistis, Narsistis, Pesimistis

BUDIARTO SHAMBAZY

Pemilihan presiden di Amerika Serikat makin seru karena Barack Obama (46) merajai jajak pendapat menjelang primary di New Hampshire, Selasa (8/1). Ia membuat kejutan: unggul dua digit dari Hillary Clinton (60).

Di kaukus Iowa pekan lalu Obama mengalahkan Hillary. Jika menang lagi di New Hampshire, lalu di South Carolina 19 Januari, tak mustahil Obama terpilih menjadi calon presiden (capres) dari Demokrat di konvensi September.

Popularitas Obama melonjak di luar dugaan. Sebaliknya, hasil di Iowa dan prakiraan di New Hampshire menjadi warning bagi Hillary meski sejak awal difavoritkan.

Mari kilas balik ke tahun 1992. Sebelum kaukus Iowa berlangsung, Bill Clinton favorit terkuat capres dari Partai Demokrat.

Namun, akibat salah strategi kampanye, Bill cuma merebut 2,9 persen suara. Padahal, primary di New Hampshire hanya selang beberapa hari setelah kaukus Iowa.

Bill bekerja keras menyiapkan strategi yang jitu. Apa lacur, muncul rumor tentang skandal asmaranya dengan Gennifer Flowers.

Namun, Bill tak hilang akal. Ia membujuk Hillary mendampinginya di acara talk show televisi terkenal, 60 Minutes, di stasiun CBS.

Bill membantah mempunyai pacar gelap, Gennifer cuma "TTM" (teman tapi mesra). Sebaliknya, Gennifer mengaku jadi simpanan Bill sejak akhir 1970-an.

Mana yang benar? Saat itulah Hillary tampil sebagai pahlawan, muncul dengan gaya istri yang yakin suaminya bukan peselingkuh.

"Saya ada di sini karena mencintai dia. Jika yang saya tunjukkan belum cukup, jangan pilih dia," ujar Hillary. Semua pemirsa memuji kejujuran mereka. Hasilnya, Bill duduk di peringkat kedua di New Hampshire.

Kehebatan Bill pada tahun 1992 membuatnya dijuluki "The Comeback Kid". Ia menang di negara-negara bagian lain sampai terpilih menjadi presiden mengalahkan George HW Bush.

Bagi orang AS, kejujuran penting karena presiden yang terlibat skandal asmara merupakan hal biasa. John F Kennedy suka serong dari istrinya, Jacqueline, antara lain dengan Marilyn Monroe dan Jayne Mansfield.

Warren Harding dan Grover Cleveland selingkuh sampai punya anak haram. Franklin Roosevelt serong dengan sekretarisnya, Lucy Mercer, yang disewa istrinya, Eleanor.

Pepatah mengatakan, "Sepandai-pandainya tupai melompat, ia pasti akan jatuh juga." Pada masa jabatan kedua, Bill selingkuh dengan Monica Lewinsky, membuatnya nyaris dimakzulkan Kongres.

Waktu rumor itu muncul, Bill berucap, "Saya tak pernah berhubungan seksual dengan perempuan itu." Ketika proses penyidikan membuktikan sebaliknya, Bill mengaku, "Ya, saya pacaran dengan Nona Lewinsky."

Rakyat sinis terhadap politisi pembohong. Dan raja kebohongan yang tak terkirakan adalah Presiden George W Bush dan para sekutunya, seperti Dick Cheney, Colin Powell, Karl Rove, atau Paul Wolfowitz.

Nah, posisi Hillary saat ini sama dengan Bill tahun 1992. Apakah Bill mau—terlibat lagi apakah ia mampu—tampil membela Hillary? Tampaknya tidak.

Hillary justru jadi korban karena mayoritas perempuan AS tak suka ia tetap menikah dengan Bill. Walau tampil sebagai "Hillary" saja, ia tetap di bawah bayang-bayang Bill.

Apa pun, pilpres kali ini seru karena untuk pertama kalinya dalam 80 tahun tak diikuti presiden/wakil presiden incumbent. Untuk pertama kalinya pula ada kemungkinan terpilihnya perempuan presiden atau presiden kulit hitam.

Obama lebih populer karena Hillary lambang status quo. Selama 30 tahun terakhir Gedung Putih dimonopoli Dinasti Bush dan Clinton.

Rakyat bosan melihat monopoli itu dilanjutkan Hillary sampai tahun 2012.

Hillary wakil terakhir generasi baby boomers yang pada tahun 1960-an memprotes Perang Vietnam. Berbeda kontras dengan Obama, simbol generasi baru yang berslogan happy days are here again!

Betul Hillary politisi ulung yang tahu seluk-beluk tata kelola eksekutif dan legislatif. Hillary pun capres yang menghendaki—dan telah melakukan— perubahan.

Ia mengandalkan slogan "Ready for Change, Ready to Lead". Obama menawarkan perubahan lewat slogan "Change, We Can Believe In".

Jika Hillary dan Obama sama-sama menawarkan perubahan, lantas apa bedanya? Jawabannya: harapan!

Sebuah bangsa mampu menghindari kematian yang lebih dini hanya dengan bertumpu pada sepenggal harapan. Jika bangsa itu sudah berhenti berharap, tak ada gunanya ia melanjutkan hidup.

Perlu diulangi di sini hasil survei tahunan TNS/Gallup International di Zurich, Swiss. Survei menunjukkan, 79 persen orang Indonesia pesimistis menyambut 2008, cuma 21 persen yang optimistis (Kompas, 5 Januari).

Survei membuktikan, 89 persen sepakat demokrasi pilihan terbaik dan 69 persen puas dengan praktiknya. Dan, 58 persen menilai pemilihan berlangsung jurdil, tetapi cuma 37 persen yang berpendapat pemerintahan sudah dijalankan sesuai kehendak rakyat.

Di tengah pesimisme 2008 masih ada harapan. Wajar yang pesimistis menganggap gelas Indonesia "baru" terisi separuh, yang optimistis bilang ia "sudah" terisi separuh.

Lebih bagus lagi yang realistis. Pepatah bilang, "Orang yang kelewat optimistis biasanya punya perilaku narsistis, yang pesimistis justru hanya mau bersikap realistis saja."

1 comment:

Ahmad Purqon said...

mas Farid main-main ke bolg kami mudah-mudahan kita bisa sharing. www.ahmad2008.wordpress.com

A r s i p