Wednesday, January 2, 2008

Catatan Awal Tahun


Catatan atas Catatan

Yahya C Staquf

Tuhan memperingatkan, "Takutlah kalian pada bencana yang tidak hanya menimpa orang-orang zalim kalian saja." Artinya, ada bencana "sapu bersih" yang melahap semua, tak peduli orang-orang saleh. Ini ancaman "baru", mulai berlaku sejak kerasulan Musa AS. Sebelum itu, orang-orang saleh tidak pernah tidak diselamatkan.

Ancaman baru itu berkaitan dengan suatu perintah baru. Sejak "paruh kedua" periode kerasulan Musa AS, yaitu setelah Firaun ditenggelamkan dan Musa beserta para pengikutnya diseberangkan dengan aman, Tuhan mewajibkan manusia untuk bertindak ketika terjadi kezaliman. Sebelum itu, Tuhan senantiasa "turun tangan sendiri": penentang Nabi Nuh ditenggelamkan banjir, penentang Nabi Saleh ditelan bumi, penentang Nabi Luth diuruk batu, dan seterusnya, sampai dengan karamnya Firaun. Sesudah itu, orang saleh yang harus bertindak, berjuang sendiri mengoreksi kezaliman dan memperbaiki kerusakan yang diakibatkannya.

Setelah turun perintah baru, Tuhan mengancam akan menimpakan bencana "sapu bersih" jika, menurut Rasulullah SAW, kerusakan merajalela, sedangkan orang-orang saleh berpangku tangan pura-pura tidak tahu. "Untuk mencapai kemenangannya di muka bumi, bagi setan cukup dengan orang baik tidak berbuat apa-apa," kata Edmund Burke, seorang filsuf. Kita hidup bersama ibarat menumpang perahu yang sama. Jika ada orang zalim kita biarkan membocori perahu kita, semua orang akan tenggelam meskipun tidak ikut-ikutan zalim.

Mungkin semangat inilah yang mengilhami kegiatan-kegiatan (politik) bertajuk "Catatan Akhir Tahun" yang memenuhi hari-hari terakhir 2007 ini. Dalam kegiatan-kegiatan itu, sebagian besar wacananya berisi kritik, gugatan, bahkan umpatan terhadap pemerintah. Memang wajar saja, dan barangkali pemerintah pantas menerimanya. Tapi akan tidak adil dan tidak maslahat jika orang lupa bahwa rakyat pun perlu dikritik dan digugat.

Kalau mau jujur, sebenarnya kelakuan pemerintah dan mayoritas rakyat itu setali tiga uang. Ini niscaya mengingat pemerintah adalah "produk" mayoritas rakyat. Mencemooh pemerintah sama halnya menepuk air di dulang. Nyiprat-nya ke muka kita-kita juga. Sungguh sahih sabda Rasulullah SAW, "Sesuai dengan apa adamu, dijadikanlah penguasa atasmu." Rakyat lurus menghasilkan pemerintahan lurus, rakyat bengkok pemerintahnya pun bengkok.

Tak perlu kaget kalau pemerintah mengabaikan golongan miskin. Bukankah sebagian besar kita juga begitu? Jangan kata yang kaya terhadap yang miskin, sesama miskin saja tak saling peduli. Pejuang-pejuang pembela orang miskin senantiasa minoritas di antara kita.

Kalau pemerintah sering bersikap tega terhadap yang lemah, menggusuri yang gurem-gurem, menelantarkan masa depan ribuan korban kezaliman, rakyat pun tak jauh beda: bersikap sewenang-wenang terhadap minoritas, mengusir mereka dari tempat berkumpulnya, bahkan menganiaya dengan kekerasan. Pemerintah memanjakan si kaya, rakyat pun menjadikan mereka idola. Lihat saja, pada setiap pemilihan pejabat publik oleh rakyat, si kaya selalu jadi pilihan utama.

Pemerintah mempraktikkan tebang pilih dalam penegakan hukum? Rakyat toh sering juga hanya mau tahu keadilan untuk kelompoknya sendiri. Kalau perlu, mereka ramai-ramai berdemo membela teman separtai atau seorganisasi atau seagama walaupun salah. Pemerintah sembrono menunjuk pejabat? Mengapa heran? Bukankah pemerintah itu sendiri hasil kesembronoan rakyat menentukan pilihan? Demikian juga akan terasa "normal" takluknya pemerintah kepada kekuatan asing jika kita akui juga mentalitas kita yang masih suka memuja buatan luar negeri sambil merendahkan karya bangsa sendiri.

Tambahkanlah contoh sebanyak-banyaknya. Pasti tidak sulit karena hampir semua yang dengan geram kita kecam dari kelakuan orang lain (pemerintah), kita temukan juga pada diri kita sendiri. Pemerintah bodoh, kita bodoh. Pemerintah lamban, kita lamban. Pemerintah brengsek, kita brengsek. Dan seterusnya.

Hanya satu hal yang masih muskil bagi saya, yaitu tuduhan bahwa pemerintah ini peragu. Muskil karena saya belum melihat imbangannya dari sisi rakyat. Tampaknya, rakyat kita tidaklah peragu. Tindakan-tindakan paling ngawur pun amat sering mereka nekat melakukannya. Lebih dari itu, peragu itu makqamnya orang berilmu. Hanya orang pintar yang bisa bimbang. Orang bodoh bisanya bingung. Persis seperti keadaan mayoritas rakyat hari ini. Maka, jangan-jangan pemerintah pun belum sampai ke maqam bimbang, tapi baru bingung.

Di atas semua itu, saya hanya ingin mengatakan bahwa kritik, termasuk dalam rangka catatan-catatan akhir tahun ini, akan lebih bijaksana dan maslahat jika dilakukan dalam nuansa introspeksi. Cita-cita memiliki pemerintah yang baik hanya mungkin terwujud jika rakyat juga sungguh-sungguh berusaha menjadi baik. Ketidakberesan tak boleh dibiarkan. Tapi pastilah tindakan yang diperlukan bukan hanya "memberesi orang lain", tapi harus pada saat yang sama "memberesi diri sendiri".

Lebih lanjut, tidakkah kita ingat bahwa yang kita perlukan adalah perubahan, bukan pertarungan, apalagi penghancuran? Jika Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya (falyughoyyirhu)…," maka benar-benar yang beliau maksudkan adalah mengubah, bukan menggasak pelakunya.

Saudara-saudara kita yang kalap melihat kesesatan sekelompok kecil orang lalu menyerbu, menyegel tempat-tempat ibadah, merusak rumah-rumah, jelas keblinger. Mereka tidak mengubah (menuju perbaikan), tapi menambah kerusakan.

Respons yang benar terhadap ketidakberesan haruslah memenuhi sejumlah syarat yang dapat menjamin bergulirnya proses menuju perubahan. Antara lain: rasional, tidak emosional; terencana dengan baik, tidak ngawur; terorganisasi rapi, tidak asal jalan; dalam kebersamaan, tidak berebut jadi pahlawan kesiangan; dan seterusnya.

Di atas segala-galanya, yang paling mendasar bagi orang beriman adalah "keikutsertaan" Tuhan. Ketidakberuntungan pemerintah kita saat ini—begitu banyak bencana, begitu banyak masalah—dikarenakan "salah kampanye". "Bersama kita bisa!" begitu slogan utama mereka dulu. Seolah-olah hanya dengan bersama-sama di antara mereka saja sudah bisa. Tuhan tidak diajak. Jangan salahkan Tuhan kalau sekarang Dia tidak mau tahu.

Penulis adalah Pengajar di Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang

No comments:

A r s i p