Saturday, January 26, 2008

Matinya Mimpi Republik


Jumat, 25 januari 2008 | 03:45 WIB

Indra Jaya Piliang

Sebagai wakil presiden di "Republik Mimpi", Jarwo Kwat ternyata tidak cukup kuat. Jarwo sebagai korban malah dijadikan tersangka dalam kasus cek kosong. Kategori hukum perdata digeser menjadi pidana. Jarwo tidak bermimpi. Ia menghadapi aparat penyidik. Jarwo pun menangis.

Lalu ”Republik Mimpi” tidak lagi tayang di salah satu stasiun televisi. Padahal, banyak sekali idiom kreatif yang dikutip dari ”Republik Mimpi” oleh berbagai kalangan, termasuk mahasiswa. Setiap sudut peristiwa dan berita digali secara jenaka, layaknya parodi. Dengan cara itu, sebuah peristiwa atau berita negatif menjadi kaya makna simbolik.

Dengan cara itu pula empati bergerilya. Kepedulian diasah. Kritik yang bernada parodi itu mencoba membangun kerja sama di antara pelbagai pihak. ”Republik Mimpi” menjadi panggung sosial untuk membangun tatanan masyarakat baru tanpa keterlibatan fisik aparatur negara. Namun, terdapat juga pihak-pihak dalam lingkaran kekuasaan yang merah telinganya. Dan selalu saja terdapat usaha menghentikan sebuah tayangan seperti ini, yang oleh majalah Time edisi 14 Januari 2008 justru dipuji.

Ketokohan berubah menjadi kejelataan dalam bungkus dialog yang mengalir. Tidak mudah menyiapkan tayangan itu. Dibutuhkan jaringan epistemis kuat untuk menghadirkan narasumber yang tidak kondang.

Kini, tayangan itu hilang sebagai bentuk solidaritas dan soliditas pengelola acara bagi penyelesaian perkara Jarwo Kwat. Proses hukum atas Jarwo telah menyulap kekacauan hukum dan politik di ”Republik Mimpi” menjadi kenyataan empiris. Terjadi pertukaran tempat dan adegan. Semula, sesuatu yang nyata telah berubah menjadi tidak nyata dalam celoteh Jarwo dan kawan-kawan. Sebaliknya, dalam kasus Jarwo, sesuatu yang kabur berubah menjadi kenyataan menakutkan.

Bukan soal hukum murni

Tentu tidak mudah melihat kasus ini sebagai persoalan hukum murni. Ada tali-temali dengan lingkup sosial, politik, dan kultural yang mengelilingi. Jarwo adalah kelompok yang mewakili keresahan sebagian besar masyarakat atas kasus-kasus yang diangkat setiap minggu. Jarwo juga tidak tersentuh secara politik karena ia hanyalah suara dari rakyat jelata yang berlagak dan bergaya sebagai tokoh penting.

Kenapa Jarwo yang dijadikan tersangka utama, sementara nama dalam cek kosong itu bukan namanya, melainkan Andar? Tanpa bermaksud memasuki kasus hukumnya sendiri, terlihat bagaimana mudahnya Jarwo dijadikan tersangka ketika urusan bayar-membayar melibatkan pihak lain. Sudah ada pihak yang mengatakan bertanggung jawab atas cek itu, tetapi Jarwo tetap dijerat. Hal ini mirip dengan kasus-kasus lain yang dengan mudah menjadikan saksi dan korban sebagai tersangka, terutama yang berkaitan dengan korupsi. Sebut saja apa yang dialami Endin, staf Mahkamah Agung, atau Heriansyah, penyidik Badan Pemeriksa Keuangan.

Padahal, kisah ”Republik Mimpi” menjadi medium baru untuk merayakan demokrasi secara lebih kreatif oleh elemen-elemen yang termarjinalkan. Jarwo dan kawan-kawan bahkan bisa benar-benar disambut oleh pelayanan kelas satu oleh masyarakat bawah. Kini kita sulit menemukan wadah untuk mengulas peristiwa politik tanpa harus berkerut kening.

Di tengah impitan ekonomi yang menggunung, sulit memprediksikan dampak sosial-politik dari letupan-letupan persoalan yang muncul dari ranah hukum. Timbangan benar atau salah atas masalah-masalah itu tidak lagi menyertakan publik, tetapi seberapa kuat dan seberapa lemah para pihak yang bertikai.

Mimpi pada sebuah republik yang egaliter telah turut hilang seiring dengan kasus Jarwo. Mimpi itu turut mati ketika meminggirkan tokoh-tokoh duplikat yang nanti akan bertarung dalam Pemilu 2009. Para tokoh riil justru makin menggeliat, menabuh genderang politik, guna memenangi pemilu nanti, tanpa kawalan dari tokoh-tokoh ”Repu- blik Mimpi”. Sungguh, mimpi mati pada sebuah republik.

Keputusan berani manajemen ”Republik Mimpi” menghentikan tayangan juga bisa dilihat sebagai pelajaran etika penyiaran yang penting. Jangan memarodikan kasus-kasus hukum orang lain tatkala Anda sendiri mempunyai kasus. Bersihkan dulu diri Anda sebelum membersihkan orang lain dan apalagi sebuah republik. ”That’s right, Brother?”

Indra Jaya Piliang Analis Politik dan Perubahan Sosial CSIS dan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi FISIP UI

No comments:

A r s i p