Wednesday, January 2, 2008

Politik Konsesi untuk Siapa?


Garin Nugroho

Konsesi dalam kamus bahasa mengandung pengertian kelonggaran atau kemudahan setelah melewati proses diplomasi atau diskusi. Oleh karena itu, politik konsesi menjadi bagian wajar dari seni berpolitik itu sendiri.

Meski di sisi lain konsesi mengandung begitu banyak paradoks, di satu sisi mengandung seni konsensus mengelola perbedaan, tetapi juga ada politik prioritas, pembiaran, sekaligus ketidakberdayaan melakukan terobosan.

Wajar pula, sejak awal Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah menjadi representasi politik konsesi itu sendiri, khususnya dalam pemilihan para menteri, yang cenderung mengelola kekuatan partai besar, kelompok massa, dan berbagai pilar politik lainnya. Tujuannya bisa ditebak, yakni untuk menstabilkan kekuasaan dan menyelamatkan roda pemerintahan agar pelayanan masyarakat berjalan dengan baik.

Persoalannya, dalam laporan akhir tahun Humaniora Kompas yang bertajuk "Saatnya Tulus Melayani Rakyat" disebutkan, beragam langkah untuk melayani rakyat di berbagai bidang terasa bersifat politis alias tidak menyentuh langsung kehidupan masyarakat. Sebutlah contoh mendasar, meski bangsa ini diberi pelajaran mahal oleh kasus tsunami, tetapi pendidikan ramalan cuaca sebagai panduan hidup belum menjadi program mendesak, birokrasi berkait penanggulangan bencana tidaklah berjalan sigap, solidaritas pascatsunami cenderung kehilangan daya hidupnya.

Oleh karena itu, pertanyaan sederhana muncul: Politik konsesi sekarang ini untuk siapa?

Politik untuk politik

Salah satu paradoks terbesar dari politik konsesi, bahwa daya kerjanya mampu menyelamatkan pilar kekuasaan, tetapi sering tidak menyelamatkan harapan rakyat. Hal itu terjadi karena Presiden dan pilar-pilar kekuasaan menjalankan politik saling menyenangkan dan berhati-hati untuk saling mengkritisi. Baik itu dalam hubungannya dengan partai, DPR, kelompok massa, agama, militer, hingga konglomerasi. Akibat lebih jauh, situasi politik di permukaan terasa stabil, demokratis, dan santun. Sementara, ironinya, kehidupan sosial justru penuh kekerasan dan kehilangan panduan.

Dalam komunikasi politik, gejalanya sangat mudah dibaca lewat berita koran. Sebutlah, Presiden tidak mempunyai keberanian mengkritik perilaku DPR, meski rakyat telah mengkritiknya, sebutlah anggaran perjalanan yang naik 30 hingga 120 persen. Ataupun, Presiden cenderung tidak bertindak tegas serta memberi panduan masalah dalam perspektif agama, seperti kasus perusakan tempat ibadah. Dengan kata lain, berbagai kebijakan politik senantiasa terukur dalam skala menyelamatkan kekuasaan.

Pada gilirannya, seluruh gerak berbangsa meniru budaya elite politik yang saling menyelamatkan dan memperkokoh diri, baik dalam skala birokrasi maupun kehidupan bermasyarakat. Maka, jangan heran, pengadilan jalanan penuh kekerasan untuk memperkokoh kelompok semakin marak. Sebutlah, organisasi pemuda yang membongkar rumah, banalitas geng motor, atau menguatnya kelompok agama yang berperan layaknya polisi, termasuk menurunkan poster film.

Paradoks kedua terbesar adalah ekonomi makro terbaca bagus, tetapi ekonomi riil sangat tertinggal. Sebagai contoh konkret, meski pertumbuhan ekonomi makro meningkat, diprediksi tahun ini mencapai 6,3 persen, tetapi hasil survei Badan Pusat Statistik dan Bank Pembangunan Asia menunjukkan tingkat inflasi yang dihadapi kelompok miskin hampir dua-tiga kali lipat inflasi nasional. Belum lagi terabaikannya sektor pertanian yang menyerap banyak tenaga kerja di wilayah miskin. Artinya, politik konsesi lebih sering berpihak kepada yang serba membayar tinggi dan ekonomi lingkar kekuasaan. Contoh konkret adalah pelayanan kelas rakyat yang murah, selalu jorok, dipenuhi copet, dan tidak nyaman dari perilaku jahil.

Waktu berbangsa

Politik konsesi senantiasa mengandung paradoks hilangnya waktu. Tanpa rasa krisis terhadap hal ini, proses berbangsa kehilangan dua hal penting, yakni hilangnya waktu mengonstruksi mental berbangsa yang lelah di tengah krisis dan hilangnya proses reformasi sebagai momentum langsung pendidikan politik. Hal ini terjadi karena setiap masalah tidak diikuti langsung oleh panduan sikap kepemimpinan yang negarawan, baik lewat komentar langsung sebagai panduan nilai, tindakan tegas, atau terobosan kebijakan politik.

Akibatnya, masyarakat hanya melihat berbagai proses kekerasan sosial dan politik tanpa tahu mana yang salah dan yang benar, etis dan tidak etis, maupun yang harus dihukum. Harap mahfum, muncul krisis psikologi komunal warga terhadap manfaat dan panduan demokrasi. Inilah muara apatisme terhadap politik dan pilar-pilar kekuasaan. Jangan heran, popularitas Presiden SBY, DPR, hingga partai merosot tajam.

Uraian di atas menyimpulkan, politik yang menjadi primadona ternyata tidak mampu mencegah berbagai krisis sosial, krisis lingkungan, dan krisis diri bangsa di masa transisi. Sebutlah laju perusakan hutan 2006-2007 dan perkembangan flu burung di Indonesia yang terparah di dunia, atau juga kasus Lapindo. Artinya, politik konsesi berutang pada kemunduran kualitas sumber daya manusia dan alam bangsa serta kepercayaan kepada politik.

Catatan di atas mengisyaratkan bahwa tahun 2008 ini diperlukan kesadaran untuk tidak memilih pemimpin yang menjalankan politik konsesi semata untuk keselamatan kekuasaan, termasuk untuk memenangkan pemilu. Saatnya mencari pemimpin dengan politik konsesi yang menomorsatukan rakyat, sementara hambatan politik dari pilar politik haruslah mampu dihadapi dengan keberanian disertai keterampilan politik. Inilah kepemimpinan kenegarawanan. Inilah demokrasi untuk rakyat.

Garin Nugroho Pengamat Komunikasi Politik; Direktur Yayasan SET

No comments:

A r s i p