Saturday, January 26, 2008

Kasus-kasus Penggusuran


Penggusuran Pasar Barito barulah awal serangkaian penggusuran lain. Pemprov DKI Jakarta tahun ini akan menggusur sedikitnya 16 komunitas atau usaha kecil.

Penggusuran bukan hal baru untuk Jakarta, juga untuk kota-kota lain. Jakarta sebagai ibu kota negara menghadapi beragam persoalan, di antaranya penggusuran, yang tidak hanya menyangkut upaya perluasan ruang terbuka hijau, pengembalian lahan sesuai peruntukan, tetapi juga keperluan lain. Kota yang giat membangun rentan kasus penggusuran.

Dalam sejarah pemerintahan DKI Jakarta, kita kenal sosok gubernur yang tegas dan sembodo. Ali Sadikin dikenang sebagai gubernur yang sukses membangun Kota Jakarta. Apakah dia terbebas dari tindakan penggusuran? Tidak! Untuk membangun kawasan olahraga Senayan, misalnya, dia melakukan pemindahan ”paksa” lokasi warga Senayan ke Tebet. Begitu juga gubernur-gubernur penggantinya!

Reaksi atas penggusuran demi kepentingan bisnis berbeda dengan penggusuran demi perluasan kepentingan umum, seperti sekolah dan rumah sakit. Repotnya kepentingan umum sering disalahgunakan. Penggusuran dilakukan, lantas bekas lahan mereka dijual kepada umum. Ketika praktik ini menjadi kebiasaan, penggusuran serta-merta ditolak. Jadi: lawan! Terjadilah aksi kekerasan dalam setiap eksekusi.

Agar sekecil mungkin dihindari penggusuran tidak manusiawi, perlu dilakukan setidaknya tiga langkah awal. Pertama, berikan kepastian berikut atribut kepastian bagi warga kota. KTP, bayar pajak, bayar listrik adalah beberapa contoh atribut kepastian. Walaupun tidak 100 persen tercipta rasa aman, setidaknya inilah langkah pertama memperkecil aksi kekerasan.

Kedua, tentukan prioritas. Kalau penggusuran—cara maupun lokasi—bisa ditempatkan pada prioritas kedua, ketiga bahkan sesudahnya, setidaknya menjelaskan bahwa pembangunan tidak harus berbarengan dengan penggusuran. Ketiga, berikan jaminan dan kepastian bahwa di lokasi baru keadaan mereka tidak lebih jelek dari sekarang, syukur lebih baik.

Memberikan kepastian dan kejelian memilih prioritas, tampaknya jalan keluar kasus-kasus penggusuran tidak harus dihindari, melainkan bagaimana penggusuran ditangani secara manusiawi, artinya mempertimbangkan hak-hak dasar penghuni.

Kalau Gubernur Jakarta Fauzi Bowo—setelah 100 hari pemerintahannya—mulai bergumul dengan kasus-kasus penggusuran—yang sudah seharusnya—yang dilakukan adalah tetap terjaganya hak-hak dasar dan asasi dari korban penggusuran.

Informasi rencana penggusuran selama tahun 2008 di 16 komunitas di Kota Jakarta kita apresiasi langkah positif, yang menuntut konsistensi dalam pelaksanaan. Selain informatif, daftar itu mengingatkan agar penggusuran bisa dicegah dan diperkecil dampak negatifnya.

A r s i p