Wednesday, January 16, 2008

Yudhoyono-Kalla dan Politik 2008


Syamsuddin Haris

Awal tahun hampir selalu merupakan momentum terbaik untuk melakukan refleksi dan introspeksi dalam menimbang prestasi dan kegagalan setahun sebelumnya. Dalam konteks kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla, adakah harapan baru bagi rakyat pada 2008 selain reli-reli politik menuju kompetisi Pemilu 2009?

Diakui atau tidak, dinamika politik nasional 2007 diwarnai oleh meningkatnya suhu politik melalui reli-reli elite politik yang hendak mencalonkan diri menjadi presiden dalam Pemilu 2009. Fenomena deklarasi pencalonan diri, silaturahmi politik, penjajakan koalisi politik, dan pengiklanan diri melalui media mengindikasikan hal itu. Para elite politik yang diduga berpeluang untuk bersaing bahkan mulai disandingkan sebagai calon presiden-wakil presiden atas dasar formasi Islam-nasionalis, sipil-militer, Jawa-luar Jawa, generasi tua-muda, dan seterusnya.

Menarik, Presiden Yudhoyono dan Wapres Kalla pun sering "tergoda" dan merespons reli-reli politik, saat sorotan publik atas kinerja pemerintahan kian tajam dan kritis. Lebih menarik lagi, dalam merespons, baik Yudhoyono maupun Kalla tidak tegas menyatakan, apakah masih "berduet" atau tidak, sehingga menimbulkan spekulasi, keduanya mungkin bakal "berduel" dan mencari calon pasangan sendiri-sendiri pada Pemilu 2009.

"Duri" bagi kerja sama

Ketidaktegasan Presiden Yudhoyono dan Wapres Kalla di satu sisi bisa dipahami dalam konteks sistem pencalonan presiden yang didasarkan pada perolehan suara minimum partai-partai dalam pemilu legislatif. Argumen ini pula yang mendasari sikap Partai Golkar dan Partai Demokrat, sehingga kedua partai itu baru akan mendeklarasikan calon presidennya setelah pemilu legislatif. Elite kedua partai itu lupa, masyarakat lebih menghendaki ketegasan pencalonan kembali sebagai bagian dari upaya serius Yudhoyono-Kalla meningkatkan kinerja pemerintahan.

Di sisi lain, ketidaktegasan Yudhoyono dan Kalla dalam menyikapi pencalonannya mungkin bisa menjadi "duri" bagi kerja sama presiden-wapres dalam meningkatkan kualitas kinerja pemerintahan selama 2008. Ketidaktegasan juga membuka peluang munculnya politisasi, baik atas kinerja pemerintahan maupun terhadap tiap langkah politik dua mantan menteri koordinator era Presiden Megawati itu. Selain itu, ketidaktegasan Yudhoyono-Kalla dalam pencalonan kembali, kian membenarkan sinyalemen publik, ada "disharmoni" dalam relasi presiden-wapres.

Karena itu, tidaklah salah jika Yudhoyono-Kalla lebih awal mendeklarasikan pencalonan kembali kendati belum resmi karena masih menunggu hasil pemilu legislatif. Urgensi ketegasan pencalonan kembali lebih dini tidak hanya terkait kebutuhan kerja sama presiden-wapres dalam memenuhi berbagai janji perubahan, tetapi juga berhubungan dengan kian terbatasnya masa bakti pemerintahannya.

Gengsi politik?

Sebenarnya tidak ada alasan cukup realistis bagi Partai Golkar dan Demokrat untuk mengakhiri perjodohan politik ini. Dari segi popularitas, seperti dilansir lembaga-lembaga survei, Golkar tidak memiliki figur sepopuler Yudhoyono. Namun, secara obyektif Yudhoyono membutuhkan basis dukungan besar di parlemen agar pemerintahan bisa bekerja efektif.

Tampaknya pertimbangan "gengsi politik" lebih dominan ketimbang pertimbangan obyektif dan rasional. Baik Presiden Yudhoyono maupun Wapres Kalla, juga Partai Demokrat dan Partai Golkar, merasa, posisi "dilamar" tetap lebih terhormat secara politik ketimbang "melamar". Kecenderungan mempertahankan "gengsi politik" ini diperkirakan bakal mewarnai politik 2008 dan menjadi lahan empuk politisasi, baik oleh media maupun lawan-lawan politik Yudhoyono-Kalla.

Selama 2007 kita saksikan, pertarungan "gengsi politik" semacam inilah yang mendominasi dinamika hubungan Presiden dan DPR, sehingga mayoritas rakyat yang menderita tetap terpuruk karena berbagai produk kebijakan sering tidak menyentuh nasib mereka. Berbagai usul interpelasi DPR yang gagal mengangkat nasib rakyat, juga politik "konsultasi" yang dilakukan pemerintah untuk meredam hal itu, mengindikasikan kecenderungan itu. Maka, amat memprihatinkan jika pada 2008, hubungan Yudhoyono-Kalla masih cenderung sama, di tengah kebutuhan publik akan kerja sama yang lebih baik di antara dua tokoh ini.

Jalan yang benar

Salah satu problematik sistem politik yang berlaku dewasa ini berpangkal pada model koalisi yang memberi ruang amat lebar bagi partai-partai untuk melakukan manuver politik tanpa merasa terikat etika politik tertentu yang disepakati bersama. Akibatnya, beberapa menteri kabinet lebih sibuk menjajaki koalisi baru untuk Pemilu 2009 ketimbang memfokuskan kinerjanya selaku pembantu presiden.

Mungkin di sinilah urgensi koalisi yang bersifat permanen di antara partai-partai dalam membentuk pemerintahan ke depan. Meski sistem pemerintahan presidensiil pada dasarnya bukan pemerintahan partai-partai, sistem multipartai yang kita anut meniscayakan berlakunya koalisi permanen. Melalui koalisi permanen, partai-partai pendukung pemerintah dituntut mempertahankan dukungan selama masa pemerintahan, dan tentu tidak etis "mengganggu" kerja pemerintah di tengah jalan. Kalaupun kecewa dengan kinerja pemerintahan, partai-partai itu bisa keluar dari koalisi, bergabung dengan oposisi yang mengkritisi kebijakan pemerintah tanpa harus menjatuhkannya.

Pertarungan "gengsi politik" antarpartai, pemerintah-parlemen, dan presiden-wapres adalah produk dari model koalisi yang cenderung semu. Bagi partai-partai dan politisi, model koalisi semu memang menguntungkan karena bersifat "cair" dan memberi ruang bagi mereka melakukan aneka manuver politik. Namun juga jelas, koalisi semu tidak hanya berdampak pada melembaganya oportunisme politik elite, tetapi juga mempertaruhkan nasib rakyat. Berbagai produk kebijakan mungkin mengatasnamakan rakyat, tetapi hampir benar-benar tak menyentuh perbaikan nasib rakyat yang terpuruk.

Karena itu, pada 2008, harapan rakyat terletak pada pulihnya kesadaran elite politik untuk kembali ke jalan yang benar, dan konsistensi elemen civil society dalam "menyadarkan" Presiden Yudhoyono, Wapres Kalla, partai dan politisi DPR akan tanggung jawab etisnya, guna membenahi bangsa ini menjadi lebih baik.

SYAMSUDDIN HARIS Profesor Riset Ilmu Politik LIPI

No comments:

A r s i p