Wednesday, January 16, 2008

Empat Resolusi Kesejahteraan 2008


Tata Mustasya

Mengawali tahun 2008 dan tahun ke-4 masa jabatannya, menjadi hal penting bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyusun semacam "Resolusi Kesejahteraan 2008". Sebuah catatan target—sifatnya informal—tentang kesejahteraan yang ringkas, definitif, dan mampu dilaksanakan.

Andai berkesempatan memberi saran bagi Presiden Yudhoyono, berikut poin-poin yang seharusnya ada pada resolusi itu.

Pertama, mengevaluasi dan mengganti beberapa menteri bidang kesejahteraan rakyat dan ekonomi yang berkinerja buruk. Masih ada 20 bulan sebelum Pemilihan Presiden 2009.

Jim Collins dalam buku Good to Great menjelaskan, mengapa kinerja Pemerintahan Yudhoyono-Kalla di bidang kesejahteraan jauh dari memuaskan. Data buku itu menunjukkan, salah satu kunci sukses berbagai perusahaan untuk melompat dari bagus (good) menjadi besar (great) adalah penerapan prinsip first who, then what. Pertama, pilih orang yang tepat, baru strategi dan kebijakan. Prinsip ini, kata Collins, berlaku di semua lembaga.

Orang yang tepat—kompeten, jujur, dan berkomitmen—di kabinet bakal mampu merumuskan dan menerapkan what, kebijakan terbaik, apa pun tantangannya. Sebaliknya, visi, misi, dan strategi yang hebat akan gagal jika yang menjalankan tidak tepat. Setidaknya kini ada dua kategori menteri di kabinet yang menjadi beban: (1) menteri yang punya rekam jejak buruk dan konflik kepentingan besar; (2) menteri yang defisit komitmen karena lebih loyal pada partai politik.

Berbagai literatur menunjukkan, dampak kebijakan serupa dapat berbeda jika dibuat oleh pengambil kebijakan dengan kredibilitas berbeda. Ini terkait ekspektasi publik dan kelompok kepentingan terhadap konsistensi kebijakan yang amat ditentukan reputasi dan kredibilitas pengambil kebijakan.

Inflasi

Kedua, menstabilkan tingkat harga kebutuhan pokok. Inflasi barang kebutuhan pokok—bukan inflasi secara keseluruhan—harus kurang dari lima persen. Artinya, diperlukan peran pemerintah lebih luas dan lebih kuat. Hal ini juga merupakan ujian bagi Yudhoyono dan kabinetnya untuk memiliki kontrol terhadap pasar kebutuhan pokok yang menentukan hajat hidup orang banyak. Sesuatu yang sepertinya telah hilang pascareformasi 1998.

Stabilisasi harga itu penting karena ekonomi riil masih akan tersendat pertumbuhannya, terutama terkait ketidakpastian politik menjelang Pemilu 2009, kecuali untuk sektor penghasil komoditas primer yang sedang melambung harganya di pasar internasional. Pemerintah harus menjamin pasokan dan manajemen harga pada komoditas ekspor yang harganya tinggi di pasar internasional.

Ketiga, memastikan tidak ada rawan pangan dan kelaparan. Ada dua strategi menciptakan ketahanan pangan. Pertama, untuk wilayah yang bergantung pada sektor primer seperti pertanian, swasembada pangan dari sumber daya lokal menjadi keharusan. Kedua, untuk daerah yang sudah bergerak ke sektor industri dan jasa, pemerintah harus menjamin kelancaran distribusi dan perdagangan bahan pangan. Jika dua hal ini luput, pemerintah dituntut mengintervensi langsung.

Masalah BBM

Keempat, terjaminnya ketersediaan energi, untuk rumah tangga maupun industri. Kebijakan konversi bahan bakar minyak (BBM) termasuk minyak tanah ke bahan bakar gas (BBG) merupakan langkah tepat, namun memerlukan perbaikan dalam implementasi. Meski memunculkan kritik, konversi harus berlanjut karena produksi minyak mentah Indonesia tidak dapat diandalkan dan harga di tingkat internasional sudah melambung.

Menaikkan harga BBM di tahun 2008 adalah mustahil karena mengancam stabilitas ekonomi, sosial, dan politik. Pengurangan subsidi BBM—bahkan setelah 2008—hanya dimungkinkan jika ketergantungan masyarakat berpenghasilan rendah terhadap BBM benar-benar rendah.

Bagaimana dengan hal krusial lainnya? Tentu masih ada peluang. Tetapi dengan sempitnya waktu, presiden sebaiknya lebih terfokus pada peta jalan—bukan untuk menuntaskan—kebijakan kesejahteraan lainnya. Hal ini, misalnya, mencakup kebijakan sosial yang terintegrasi pada tingkat nasional dan usaha menggerakkan perekonomian riil.

Juga perlu disadari, terkait kebijakan jangka menengah-panjang, pemerintah memerlukan sinergi, yang hanya bisa berjalan secara gradual, dengan banyak pihak. Mandeknya ekonomi riil, misalnya, terkait kewirausahaan yang loyo, selain tata kelola pemerintahan yang berantakan.

Keempat resolusi kesejahteraan itu harus menjadi prioritas saat presiden menghadapi trade-off dalam pembuatan kebijakan, termasuk saat harus memilih antara kepentingan publik dengan kepentingan sempit kelompok tertentu.

Kini janji perubahan dari Presiden Yudhoyono, saatnya dilaksanakan. Melihat kinerja presiden hingga akhir 2007, mengingatkan pidato kampanye Hillary Clinton di New Hampshire, AS, beberapa waktu lalu, "...saya akan menjadi presiden yang menghasilkan perubahan, bukan menuntut perubahan...."

Tata Mustasya Analis Kebijakan Publik dan Ekonomi-Politik

No comments:

A r s i p