Thursday, January 31, 2008

Pantang Tinggalkan Gelanggang


Kamis, 31 januari 2008 | 01:47 WIB

Emil Salim

Banyak orang menyambut jenazah Pak Harto dari Cendana hingga makam Giribangun. Banyaknya orang yang menyambut agaknya merasakan hasil pembangunan ekonomi yang menyentuh kepentingan mereka. Pak Harto pun dianggap ”wong ndeso” bagian dari mereka.

Saya juga bertemu dengan mereka yang benci dan kecewa dengan Pak Harto karena menjadi korban konflik politik. Banyak di antara mereka yang berpendidikan tinggi dan lebih suka bekerja di luar pemerintah.

Masyarakat terbelah

Menanggapi kepemimpinan Pak Harto, masyarakat terbelah.

Selama tiga Pelita (1969-1984) fokus pembangunan Pak Harto adalah mencapai swasembada pangan. Maka, dikembangkan program bimbingan massal oleh ”petani penyuluh lapangan” (PPL) memakai bibit unggul dan pupuk. Upaya ini ditopang irigasi tersier, jalan kabupaten, koperasi unit desa (KUD), serta pola kebijakan stabilitas harga pangan oleh Badan Urusan Logistik.

Sebagai wong ndeso, Pak Harto terobsesi mencapai swasembada pangan. Program ini berhasil berkat ”pembangunan berencana melalui pasar”. Jika semula campur tangan pemerintah dalam ekonomi sangat kuat, lambat laun—dengan berkembangnya ekonomi—intervensi dikurangi dan melalui deregulasi lebih ditekankan mekanisme pasar.

Kian besar peran pasar, kian besar peran masyarakat dalam mengambil keputusan ekonomi. Kebebasan ekonomi yang tumbuh ini membangkitkan dinamika masyarakat dan merangsang kebutuhan akan kebebasan politik. ”Kedaulatan ekonomi konsumen” yang tumbuh dalam demokrasi ekonomi membangkitkan ”kedaulatan politik pemilih” dalam demokrasi politik.

Ilmu ekonomi menggunakan perhitungan rasional yang terukur dalam nilai ekonomi dan harga pasar sehingga bisa direncanakan kebijakan memecahkan masalah sebelum (exante) masalahnya tumbuh lebih besar. Ilmu politik sebaliknya, bersifat kualitatif dan sulit diukur secara kuantitatif sehingga sulit membuat ramalan dan prediksi. Pengamat politik pandai membahas dan menganalisis politik sesudah (expost) masalah terselesaikan.

Keberhasilan Pak Harto mencapai sasaran perbaikan ekonomi setelah tiga Pelita memerlukan penekanan lebih lanjut pada pengembangan demokrasi politik guna menghindari dominasi kelompok politik yang mulai tumbuh. Di sinilah terletak masalah. Seberapa ketatkah demokrasi bisa dikendalikan?

Mundur

Sudah lama almarhumah Ibu Tien meminta Pak Harto mengundurkan diri dari tugas kepresidenan. Pak Harto juga berhasrat untuk lengser prabon. Namun, konstelasi politik membentuk kelompok kepentingan yang bergantung pada keberlanjutan sistem politik yang terbentuk.

Seiring perjalanan waktu, muncul angkatan pimpinan politik yang baru dan berbeda usia jauh dengan Presiden. Hubungan Presiden dengan generasi pimpinan politik bagai bapak-anak. Sang anak enggan menegur bapak. Muncullah pemeo ”asal bapak senang”. Pemimpin tidak lagi mendapat informasi akurat dan menjadi korban adagium ”dalam politik tidak ada sahabat dan sekutu permanen. Yang ada hanya kepentingan permanen”.

Akibat krisis ekonomi 1997, ketimpangan perkembangan ekonomi dan politik mengakibatkan terbukanya bendungan frustrasi politik yang menghasrati demokrasi lebih luas. Krisis ekonomi pun melebar menjadi krisis politik 1998. Pak Harto harus menghadapinya dan memilih mundur guna menghindari pertikaian lebih besar antaranak bangsa.

Tak bisa ditiru

Kini, Indonesia menerima sistem politik demokrasi, dan rakyat memilih langsung pemimpin nasional, provinsi, dan kabupaten untuk masa kerja lima tahun. Perubahan sistem politik ini menuntut pembangunan yang lebih partisipatif dan demokratis.

Maka, pola kepemimpinan Pak Harto di masa Orde Baru tak mungkin ditiru di masa reformasi. Namun, prinsip manajemen universal masih bisa diterapkan, seperti fokus kerja guna menggairahkan semangat kerja.

Kini, dalam situasi rawan pangan, usaha swasembada pangan masih relevan dibangun di daerah pedesaan dan memberantas kemiskinan. Sasaran ini perlu ditopang pengembangan infrastruktur dan pendidikan. Unsur barunya adalah menerapkan ilmu dan teknologi guna menaikkan nilai tambah sumber alam pedesaan dan kelautan khas tropis.

Menghadapi masalah-masalah baru, seperti perubahan iklim, berjangkitnya penyakit baru, dan gencarnya persaingan antarnegara Asia, ada sikap kepemimpinan Pak Harto yang bisa dikembangkan. Sikap itu ialah ”pantang meninggalkan gelanggang” dalam menanggapi krisis, tantangan, dan kesulitan, betapapun beratnya.

Dan Pak Harto telah meninggalkan gelanggang, memenuhi panggilan Ilahi.

Emil Salim Dosen Pascasarjana UI

No comments:

A r s i p