Wednesday, January 9, 2008

Politik Silang Budaya


Yudi Latif

Uang memang bisa membuat orang lebih semringah. Seperti pemandu rombongan kami di Guangzhou, yang sambil berkelakar menamsilkan kemajuan China. "Sepuluh tahun lalu, orang seperti saya memerlukan waktu sepuluh tahun untuk bisa membeli televisi. Kini, setiap bulan, saya mampu membeli lima televisi."

Kemajuan pesat dengan perencanaan dan penataan rapi di China bisa diendus di ibu kota Provinsi Guangdong. Di wilayah pelopor reformasi dan keterbukaan China ini, bandara tampak luas dan sibuk; penataan kota terasa lapang, asri dengan dukungan infrastruktur yang adekuat; jalanan luas dengan moda transportasi umum beragam; semua diikonisasi lanskap tepi kali Mutiara sebagai garda depan estetika kota, yang dalam gemerlap lampu malam hari membersitkan bayangan Jakarta sebagai kota metropolitan paling primitif.

Perkembangan ini adalah berkah visi kepemimpinan negara dengan komitmen kuat pada pemberdayaan rakyat. Hal ini bermula dari kebijakan reformer, Deng Xiaoping, untuk mengurangi intensitas politisasi rakyat, warisan kebijakan Great Leap Forward-nya, Mao Zedong, sejak 1958. Kadar politisasi ekonomi dikurangi lewat rasionalisasi dan dekolektivisasi.

Reformasi agraria

Tonggak perubahan ini adalah reformasi agraria sejak 1978. Tanah yang semula dikuasai secara kolektif dibagikan secara merata pada setiap keluarga. Petani menerima upah pada akhir tahun bukan berdasar keterlibatannya dalam kegiatan kolektif, melainkan menurut tingkat produktivitasnya. Mereka bebas menentukan jenis tanaman yang dibudidayakan, bahkan bisa menguasai tanaman tambahan setelah memenuhi kuota bibit yang ditetapkan. Lebih lanjut, para petani membayar pajak ketimbang menyerahkan kuota tertentu kepada kolektivitas. Akhirnya, Deng menghapus monopoli negara atas pembelian dan penjualan produk-produk pertanian serta melepas batas harga kebanyakan produk pertanian kepada petani. Dengan reformasi agraria ini, petani memiliki akses perseorangan, memiliki lebih banyak pilihan dan kebebasan. Hal ini mendorong gairah bekerja, iklim kompetisi, dan memacu produktivitas.

Dengan prinsip "menyeberang sungai sambil meraba batu", Deng mendorong petani agar berani menyeberang dari pertanian ke bisnis. China yang lama memandang kapitalisme sebagai iblis mulai belajar bercengkerama dengan arus modal dan berguru pada keberhasilan ke Indonesia, Singapura; negara yang relatif otoritarian secara politik, tetapi menjadi tempat yang ramah bagi pemupukan modal dan industri. Deng bereksperimen dalam reformasi industri dengan mengembangkan sejumlah kawasan ekonomi khusus di sepanjang pantai timur, mulai dari Provinsi Fujian (dekat Taiwan) hingga Provinsi Guangdong (dekat Hongkong).

Dengan integritas kepemimpinan yang kuat, komitmen pada kemajuan, dan disiplin kerja kolektif, warisan tradisi Xiaogang, industri, dan arus investasi berkembang pesat. Produktivitas meroket dengan neraca perdagangan melambung. Kini ekspor China tiap hari setara ekspor China selama setahun saat reformasi mulai digulirkan 1978. Rakyat menemukan aktualisasi diri dalam kegiatan ekonomi. Bagi mereka yang tinggal jauh dari Beijing, berkembang pandangan, "Istana itu jauh, langit pun jauh. Yang dekat dijangkau adalah uang. Maka, rebutlah uang hari ini!" Maka, China pun berlimpah uang.

Saatnya memberdayakan keturunan

Kisah sukses China menggugah kesadaran Indonesia, yang hingga dekade 1970-an dipandang ibarat the new Jerussalem (tanah harapan). Kenyataan, kedua negeri memiliki akar kekerabatan dan hubungan panjang membersitkan pertanyaan, apa implikasi perkembangan China bagi masa depan Indonesia?

Kehendak untuk saling mengerti dan berbagi ini mendapat momentum saat akhir Desember 2007, kami diundang Asosiasi Pertukaran Internasional Guangdong menghadiri peluncuran buku Cakrawala Indonesia dalam versi Mandarin, karangan Max Mulyadi Supangkat.

Pak Max adalah orang Indonesia peranakan Tionghoa. Dalam buku ini diungkap, apa yang disebut "pribumi" Indonesia pun sebagian besar punya pertalian leluhur dengan orang-orang Tiongkok Selatan (Yunnan). Ditambah kenyataan, ada jutaan peranakan Tionghoa yang telah menetap lama dan memandang Indonesia sebagai tanah airnya. Dengan demikian, etnis Tionghoa pun adalah pribumi dan memiliki derajat yang sama dengan etnis lain.

Pandangan demikian punya resonansi kuat dengan sikap pemimpin di Beijing. Tiongkok dan Indonesia merupakan dua negara terbesar di Asia Timur. Hubungan baik antarkeduanya bisa menghadirkan persemakmuran bersama sejalan pesan Konfusius, "Jika diri sendiri ingin tumbuh, tumbuhkan pula orang lain; jika diri sendiri ingin makmur, makmurkan pula orang lain." Hubungan Beijing-Jakarta bisa terganggu ketegangan rasial (anti-China). Untuk itu, para pemimpin Beijing berharap orang-orang peranakan hendaknya menjadi warga negara yang baik di tempat tinggalnya, tanpa melupakan leluhurnya.

Orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa bisa menjadi jembatan antarbudaya serta simpul rasa saling percaya di antara kedua bangsa. Jaringan dan etos kerja (dagang) peranakan patut ditumbuhkembangkan untuk memperkuat daya saing bangsa. Politik segregasi rasial harus diakhiri karena hal itu mengunci tiap kelompok etnis dalam kepompong budaya masing-masing. Yang dilahirkan dari kebijakan ini adalah situasi "plural monokulturalisme" yang tidak saling memberi dan menerima, serta mudah menyulut prasangka dan ketegangan antaretnis.

Situasi "plural monokulturalisme" harus beralih menjadi situasi "multikulturalisme" lewat proses penyerbukan silang budaya. Tetapi, untuk itu perlu ada jaminan kesetaraan hak dan penghapusan diskriminasi yang memberi ruang bagi partisipasi, pertukaran, dan kemitraan.

Keturunan Tionghoa tidak bisa terus dibiarkan di luar pagar politik Indonesia. Karena sebagai penonton, kurang terlibat urusan publik sehingga kurang dioptimalkan rasa tanggung jawabnya untuk turut memperbaiki kehidupan nasional.

Saatnya orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa lebih diberdayakan secara politik!

Yudi Latif Pemikir Kenegaraan dan Keagamaan

No comments:

A r s i p