Wednesday, January 9, 2008

Refleksi 35 Tahun PPP




Oleh :
Aryawindra

Ketua Departemen Perencanaan dan
Pengendalian Program DPP PPP

Pada 5 Januari 1973, bertepatan dengan 30 Dzulqaidah 1392 H, PPP dideklarasikan oleh para tokoh Islam yang terkenal di zamannya, yaitu HMS Mintareja, KH Idham Chalid, H Rusli Halil, H Anwar Tjokroaminoto, dan KH Masykur. Mereka mewakili empat partai Islam yang berfusi, yaitu Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Tabiyah Islam (Perti), dan Partai Syarikat Islam (SI).

Kelahiran PPP tidak terlepas dari grand scenario pemerintah sejak pemerintahan Orde Lama di bawah pimpinan Ir Sukarno dan ditegaskan ulang oleh rezim Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto untuk melakukan upaya pengerdilan partai politik dengan menggiring partai-partai sealiran untuk menyatu dalam rangka mengamankan kekuasaan. Setiap peristiwa pasti ada hikmahnya, dengan bersatunya partai-partai Islam tersebut, maka otomatis PPP menjadi rumah besar politik umat Islam yang terdiri dari latar belakang kelompok Islam yang ada di Indonesia.

Langkah politik umat Islam di era Orde Baru direpresentasikan oleh PPP guna membela kepentingan umat Islam Indonesia, sebutlah tindakan kritis terhadap pemerintah ketika pengajuan RUU Perkawinan ke DPR, walk out-nya anggota MPR ketika sidang pengesahan P4 dan masuknya aliran kepercayaan dalam GBHN, UU Sistem Pendidikan Nasional, UU tentang Perfilman, UU tentang Pariwisata.

Sebagai partai politik yang dimarginalkan oleh rezim Orde Baru melaluii tindakan kecurangan, intervensi, tekanan fisik dan mental yang tiada tara, awalnya PPP menunjukkan perlawanan dengan memenangkan pemilu di beberapa daerah di Indonesia pada 1977, antara lain DKI Jakarta dan DI Aceh. Secara nasional pada 1977 PPP meraih 18.743.491 suara (29.28 persen); 99 kursi DPR. Pemilu 1982 PPP meraih 20.871.880 suara (27.78 persen); 94 kursi DPR.

Melihat kondisi seperti itu rezim Orde Baru berusaha semakin mengerdilkan PPP, yaitu dengan jalan merekayasa konflik di internal PPP, menjauhkan PPP dari basis sosial umat Islam melalui keluarnya UU No.3 tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golkar, berakibat berubahnya asas Islam dan lambang Ka'bah pada PPP. Alhasil perolehan suara PPP pada pemilu 1987 sangat jauh menurun, 13.701.428 suara (15,96 persen), 61 kursi DPR.

PPP bangkit di bawah kepemimpinan Buya H Ismail Hasan Metareum SH. yang mempersatukan semua unsur yang terlibat konflik sehingga Pemilu 1992 perolehan suara PPP meningkat dan di akhir periode ke-2 masa kepemimpinannya PPP pada pemilu 1997 berhasil memperoleh 25,340,028 suara (22,43 persen); 89 kursi DPR.

Di bawah kepemimpinan H Hamzah Haz, perolehan suara PPP kembali menurun walaupun saat itu PPP berhasil masuk di lembaga eksekutif, bahkan Ketua Umum PPP H Hamzah Haz sempat menjadi wakil presiden RI. Perolehan PPP pada Pemilu 1999 11,329,906 suara (10,8 persen); 58 kursi; penyebab utamanya banyaknya bermunculan partai-partai berbasiskan Islam. Pada Pemilu 2004, perolehan itu semakin menurun: 9,248,764 suara (8,15 persen), 58 kursi.

Momentum reformasi
Sebagai institusi politik, PPP-lah yang terlebih dahulu mengegongkan reformasi. Hal ini disampaikan oleh Ketua Umum DPP PPP H Ismail Hasan Metareum pada saat memperingati Harlah PPP yang ke-24 pada Januari 1997 menyerukan untuk penyelamatan bangsa perlu dilakukan reformasi. Dalam Sidang Umum MPR 4 Maret 1998, Fraksi PPP di MPR dengan juru bicaranya HM Alfian Dharmawan dan Hj Khofifah tampil ke podium persidangan dengan kepala tegak dan suara lantang menuntut perubahan mendasar, mengkritik pemerintah yang tidak hendak melakukan reformasi; menegaskan bahwa pemerintah Orde Baru syarat dengan praktik-praktik KKN.

Sejatinya PPP-lah yang harus memanfaatkan momentum reformasi. Tapi, justru PDIP-lah yang memanfaatkan momentum tersebut dengan baik, mengusung Megawati dan karisma bapaknya, Ir Sukarno sebagai simbol ketertindasan. Padahal PPP merupakan fusi partai-partai Islam yang tertindas sejak zaman Orde Lama hingga Orde Baru. Kelambanan merespons karena sebagian besar SDM PPP didominasi generasi yang tidak setangkas ketika mereka masih muda.

Upaya regenerasi terhalang perilaku oligarki yang dimainkan sekelompok elite partai sehingga muncul stigma negatif PPP sebagai partai tradisional, tua, dan oligarkis. Banyak bermunculan kader-kader jenggot yang menyuburkan pragmatisme di tubuh partai; PPP yang dibangun dengan pengorbanan harta, jiwa, cucuran keringat, darah, dan air mata umat dikotori dengan praktik-praktik money politics.

Muktamar VI PPP menuntaskan konsolidasi puncak di tubuh PPP dengan menghasilkan kepengurusan baru yang dinakhodai Drs H. Suryadharma Ali sebagai ketua umum dan Drs H Irgan Chairul Mahfiz sebagai sekjen. Dari sisi usia, terjadi peralihan generasi karena DPP PPP periode 2007-2012 didominasi kalangan muda. Mukernas I PPP menetapkan target 15 persen perolehan suara pada pemilu 2009, hampir dua kali lipat pencapaian pada pemilu 2004 sebesar 8,15 persen. Target itu bukan sesuatu yang mudah dicapai akan tetapi juga bukan sesuatu yang mustahil.

Untuk menuju pencapaian target tersebut ada tiga hal berkaitan dengan konsolidasi yang harus dituntaskan, yaitu konsolidasi struktural, konsolidasi personal/internal, dan konsolidasi program. Untuk yang pertama secara umum telah dilalui, sedangkan untuk yang kedua harus ditangani secara bijak karena imbas konsolidasi berjenjang serta imbas proses pilkada masih menyisakan persoalan dan berpotensi menjadi konflik internal.

PPP harus jeli melihat, merumuskan, dan mengimplementasikan program-program yang memiliki impak terhadap masyarakat pemilih. PPP memiliki modal dasar yang cukup besar, yaitu mereka yang menjadi pemilih fanatis PPP; secara historis mereka memiliki pengalaman romantis dan heroik dengan PPP masa lalu di mana mereka ikut menjadi korban ataupun saksi akan perlakuan rezim Orde Baru. Usia mereka rata-rata di atas 40 tahunan dengan latar belakang ekonomi dan pendidikan mayoritas rendah, akan tetapi mereka merupakan segmentasi pemilih loyal PPP.

No comments:

A r s i p