Thursday, January 31, 2008

Kenangan Bersama Pak Harto


Sarwono KusumaAtmaja


Tulisan ini dimaksudkan semata-mata untuk mengenang Pak Harto sebagai pribadi, terutama dalam hubungan kerja saya sebagai Sekjen DPP Golkar 1983-1988, pada waktu Pak Harto menjabat Ketua Dewan Pembina Golkar. Saya tidak berselera ikut polemik masalah hukum menyangkut diri beliau. Saya yakin betul dengan berjalannya waktu beliau akan dikenang sebagai seorang tokoh besar yang memiliki banyak jasa.

Hukum perlu ditegakkan untuk memberi efek jera terhadap para pelaku korupsi, kolusi, dan nepotisme, siapa pun orangnya. Pak Harto adalah seorang yang berani. Andaikata beliau masih hidup dan sehat jasmani, beliau akan menaati apa pun keputusan hukum. Itulah yang beliau katakan kepada Jaksa Agung Andi Ghalib ketika masa kepresidenan BJ Habibie.

Saya juga ingat betul ketika zaman era Demokrasi Terpimpin berakhir. Caci maki terhadap Bung Karno bergelora ketika masa kepemimpinannya berakhir. Pada saat yang sama keadaan Bung Karno lemah dan tidak berdaya karena sakit. Sekarang Bung Karno telah kembali dihormati sebagaimana layaknya seorang pendiri bangsa dengan segala kelebihan dan kekurangan. Bangsa kita masih harus belajar bahwa menghargai seorang pemimpin tidak perlu dipertentangkan dengan penegakan hukum.

Pertama kali saya bertemu Pak Harto saat Musyawarah Nasional (Munas) Golkar 1983 berakhir. Munas ini menempatkan Pak Sudharmono sebagai ketua umum dan saya sebagai sekretaris jenderal (sekjen). Menjelang penetapan personalia DPP Golkar, saya adalah calon sekjen yang tidak diunggulkan dan hanya didukung oleh almarhum Jenderal Leonardus Benny Moerdani, Panglima ABRI pada waktu itu, dan beberapa teman seperti Jusuf Wanandi. Saya sendiri tidak merasa diunggulkan dan ketika pengumuman susunan DPP Golkar dibacakan, saya hanya memakai pakaian kerja lusuh yang saya gunakan seharian karena tidak menyangka saya akan menjadi sekjen. Tetapi saya kaget bukan alang-kepalang ketika Pak Benny mengatakan kepada saya bahwa dia melakukan "silent operation" untuk menjadikan saya sebagai sekjen perintah Pak Harto.

Ketika bertemu pertama kali dalam rapat gabungan Dewan Pembina dan DPP Golkar di Jalan Cendana, Pak Harto tidak menyinggung "sponsorship" beliau terhadap saya. Kami membicarakan perlunya Golkar mempunyai majalah yang diberi nama oleh beliau Media Karya, yang kemudian saya secara "ex officio" menjadi pemimpin redaksi. Selanjutnya perkembangan Media Karya beliau ikuti betul dengan berbagai komentar, kritik, dan usulan-usulan. Keberadaan saya yang seorang sipil (bukan dari militer seperti masa sebelumnya) sebagai sekjen adalah momen penting karena dalam berbagai kesempatan lain beliau mengatakan bahwa Golkar harus dipersiapkan sebagai organisasi politik sipil yang tidak tergantung dari militer maupun birokrasi, dan harus siap bersaing dalam eramultipartai. Program kerja DPP Golkar waktu itu yang disebut Tri Sukses adalah persiapan untuk era demokrasi hari ini dan di masa yang akan datang.

Yang menarik, dari mana beliau tahu tentang diri saya, Akbar Tandjung, Siswono Yudohusodo, Rahmat Witoelar, Jakob Tobing, Djoko Sudyatmiko, dan politisi sipil lain yang kemudian memegang peran di dalam politik, walaupun kami semua waktu itu tidak mengenal beliau secara pribadi. Ternyata, beliau mengikuti kiprah kami dari surat-surat kabar dari tokoh-tokoh Golkar dan dari laporan intelijen. Peran kami kaum muda waktu itu amat kontroversial karena sering tidak sejalan dengan para senior yang banyak diantaranya berlatar belakang militer. Tetapi berbagai sumber mengatakan kepada saya dan teman-teman bahwa pendirian Pak Harto tentang peran kaum muda tegas:sangat mendukung.

"Wajar kalau mereka berbeda dengan kita-kita para senior,"demikian kata Pak harto sebagaimana dikutip Pak Sugiharto, Ketua Fraksi Golkar di parlemen waktu itu."Mereka memikirkan masa depan bangsa pada waktu, saat kita-kita yang lebih tua tidak akan ada lagi di situ."

Banyak cerita yang patut diterangkan tentang beliau, dan saya memang sedang menyiapkan semacam memoar, di mana hal-hal yang menyangkut beliau akan saya tulis, siapa tahu ada gunanya bagi bekal pengetahuan bagi generasi muda. Bung Karno dan Pak Harto adalah tokoh besar, tentu jasa mereka besar. Tetapi karena memimpin bangsa dalam masa-masa sulit, tentu mereka kekeliruan besar. Bagaimanapun, harus diingat bahwa Indonesia adalah negara dan bangsa yang besar. Tidak mungkin kita tumbuh kuat dengan hanya menghadapi masalah-masalah kecil dan dipimpin oleh orang-orang biasa yang hanya mau mengambil risiko kecil. Ada saatnya kelak Indonesia akan tumbuh makmur dan berkeadilan dengan sistem politik yang mantap. Pada saat itulah Indonesia akan siap menerima orang biasa sebagai pemimpin. Tugas kita adalah untuk mempercepat masa transisi politik ke arah pematangan demokrasi dan tidak pernah melupakan para pendahulu kita.

Sekarang, kita juga harus membiasakan diri dengan berbagai wacana pro dan kontra terhadap Pak Harto. Kesempatan untuk berbeda pendapat memang tersedia luas dan mengecam seorang mantan pemimpin sekarang tidak memerlukan keberanian. Secara ironis, Pak Harto telah merintis jalan era reformasi, baik secara terencana seperti tadi saya uraikan, juga secara tidak diniatkan karena beliau dibiarkan berkuasa terlalu lama. Alhasil, momentum demokrasi dekian besar pun terbangun dan memberikan kita kesempatan menjalani masa transisi yang kompleks, tapi sekaligus merupakan bagian penting dari masa depan bangsa yang cerah di kemudian hari (*)

Sarwono Kusumaatmadja
Sekjen DPP Golkar 1983-1988
Anggota DPD RI

No comments:

A r s i p