Wednesday, January 9, 2008

Analisis Partai


PPP dan Eksistensi yang Kian Tergerus

SULTANI

Penetrasi kekuatan politik Partai Persatuan Pembangunan atau PPP yang cenderung terkonsentrasi di wilayah-wilayah dengan karakteristik pedesaan, pertanian, serta mengandalkan loyalitas etnik lokal dan kalangan berpendidikan rendah harus diubah jika partai ini ingin tetap eksis.

PPP dibentuk melalui fusi Partai NU, Partai Muslimin Indonesia, Partai Sarikat Islam Indonesia, dan Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Kebijakan fusi diambil Soeharto untuk menyederhanakan jumlah partai politik dari 10 menjadi dua, ditambah Golongan Karya. PPP terbentuk pada 5 Januari 1973. Hingga kini, PPP sudah berkiprah 35 tahun dalam percaturan politik Indonesia.

Sejak tahun 1973, PPP sangat "diuntungkan" dengan eksklusivisme Islam yang melekat pada dirinya. Hampir semua kemenangan PPP dalam setiap pemilu disokong bagian massa Islam yang cenderung mengidentifikasikan identitas politik mereka dengan PPP. Hingga Pemilu 1997—pemilu terakhir rezim Orde Baru—PPP masih bisa mengumpulkan suara hingga 22,43 persen dari 113 juta pemilih.

Tergerusnya suara PPP mulai terasa ketika komponen-komponen pembentuk PPP selama ini keluar dan membentuk partai sendiri. Paling terasa adalah ketika sejumlah tokoh Nahdlatul Ulama (NU)—yang selama ini menjadi saka guru PPP—membentuk Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). PPP kehilangan kekuatannya. Dalam Pemilu 1999, PPP hanya mendapat 10,71 persen suara, berkurang lebih dari separuh perolehan pada Pemilu 1997. Bahkan, pada Pemilu 2004 PPP kembali harus rela kehilangan suara sebesar 2 persen dari pemilu sebelumnya.

Mengacu pada Pemilu 1999, PPP berhasil mendapatkan kursi dari 24 provinsi dari 27 provinsi. Provinsi yang tidak memberikan kursi bagi PPP antara lain Bali, Irian Jaya, dan Timor Timur. Dari ke-24 provinsi itu, beberapa provinsi secara signifikan memenangkan PPP di tingkat kabupaten atau kota.

Aceh, yang selama ini terkenal sebagai basis PPP, tetap konsisten memenangkan partai berlambang Kabah ini meski makin banyak partai Islam yang muncul. Dari provinsi ini, tercatat Kabupaten Aceh Besar, Aceh Selatan, Aceh Barat, Aceh Tengah, dan Simeulue menjadi basis PPP. Dari Sumatera Utara, Kabupaten Mandailing Natal merupakan kantong terbesar PPP. Pada Pemilu 1999 daerah ini menjadikan PPP sebagai partai pemenang nomor satu. Sementara di Sumatera Barat, Kabupaten Lima Puluh Koto dan Padang Pariaman tercatat juga sebagai basis PPP.

Di Pulau Jawa, basis PPP tetap bertumpu di kawasan barat, tengah, dan timur. Di Jawa Barat, Kabupaten Tasikmalaya merupakan primadona bagi PPP. Begitu juga dengan Jepara di Jawa Tengah dan Pamekasan di Jawa Timur. Ketiga kabupaten itu berhasil mengangkat pamor PPP dengan menempatkan partai ini di puncak kemenangan dalam provinsinya masing-masing. Pada Pemilu 1999, PPP menang di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan.

Pergeseran di Pemilu 2004

Pemilu 2004 melahirkan beberapa partai baru yang cukup kuat menarik suara dari partai- partai lama. Partai-partai itu kebanyakan merupakan partai yang pertama kali ikut Pemilu 1999. Sebut saja PKB, PAN, dan PKS. Pada Pemilu 2004 kehadiran mereka cukup signifikan menggeser peta kekuatan PPP. Terbukti, Pemilu 2004 mencatat penurunan suara di hampir semua daerah basis PPP pada Pemilu 1999.

Di Aceh, dari lima kabupaten, hanya Aceh Besar yang tetap konsisten mempertahankan posisi PPP di puncak kemenangan dengan jumlah suara 31.945. Padahal, pemilu sebelumnya daerah ini mencatat kemenangan hingga 58.694 suara. Kabupaten Aceh Selatan, Aceh Barat, Aceh Tengah, dan Simeulue bergeser posisi ke urutan kedua dan ketiga dengan kemerosotan suara yang signifikan.

Pemilu 2004 juga mencatat kemenangan PPP di Pidie dengan perolehan 46.452 suara yang mendongkrak posisi PPP ke posisi pertama. Sebelumnya, pada Pemilu 1999 posisi PPP di Pidie berada di urutan ketiga dengan memperoleh 1.336 suara. Selain itu, PPP juga berhasil meraih kemenangan di Aceh Utara dan Aceh Jaya yang mengalami pemekaran pasca-Pemilu 1999.

Cerita tentang kekalahan PPP juga terjadi di Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Kabupaten Mandailing Natal yang menjadi basis PPP ternyata goyah pada Pemilu 2004.

Posisi PPP di daerah ini turun ke nomor dua dengan perolehan 17.814 suara. Padahal, pada Pemilu 1999 Mandailing Natal bisa mendulang suara untuk PPP hingga 47.231 suara.

Basis PPP di Jawa pun mengalami pergeseran yang cukup berarti. Di Kabupaten Tasikmalaya, banyak pemilih PPP pada Pemilu 1999 yang meninggalkan partai ini. Akibatnya, perolehan suara PPP di kabupaten ini berkurang dari 297.964 suara (Pemilu 1999) menjadi 236.790 suara (Pemilu 2004). Untungnya, di Kota Tasikmalaya (hasil pemekaran) kekuatan PPP masih dominan.

Di Jepara, Pamekasan, dan Hulu Sungai Utara, dominasi PPP masih kuat meski secara kuantitas jumlah suara yang diperoleh menurun.

Fenomena berkurangnya suara PPP di kantong-kantong massanya memperlihatkan bahwa partai berlambang Kabah ini makin banyak ditinggalkan pemilihnya. Dari 12 kabupaten yang bisa dimenangi PPP pada Pemilu 1999, hanya separuh yang bisa mempertahankan posisi PPP sebagai pemenang pada Pemilu 2004. Meskipun demikian, kekuatan PPP juga bertambah di Pidie, Aceh Utara, Aceh Jaya, dan Tasikmalaya.

Dari keenam daerah yang konsisten memenangkan PPP selama dua kali pemilu, terlihat bahwa daerah-daerah tersebut memiliki kesamaan karakter, terutama dari agama, etnis, pekerjaan, dan tingkat pendidikan.

Sensus penduduk tahun 2000 menunjukkan, daerah-daerah yang menjadi kantong PPP pada Pemilu 2004 selain mayoritas penduduknya beragama Islam, dari segi etnis basis-basis PPP didominasi oleh etnis lokal daerah tersebut. Di Aceh, misalnya, Kabupaten Aceh besar didominasi etnis Aceh. Kecenderungan ini juga bisa dilihat di basis PPP pada Pemilu 1999. Aceh Barat, misalnya, mayoritas penduduknya beragama Islam dan beretnis Aceh. Aceh Tengah didominasi etnis Gayo Lut, Simeulue dengan mayoritas penduduknya beretnis Simeulue. Basis PPP di Sumatera Barat pun didominasi penduduk beretnis Minang.

Di Jawa, etnis Sunda mendominasi basis PPP di Tasikmalaya. Etnis Jawa menjadi mayoritas di Jepara. Etnis Madura menjadi tuan rumah di Pamekasan. Dominasi etnis Banjar di Kalimantan Selatan terefleksikan di Kabupaten Hulu Sungai Utara yang mayoritas penduduknya beretnis Banjar.

Secara ekonomis, daerah-daerah basis PPP mayoritas penduduknya menjalankan usaha mereka pada bidang pertanian, seperti pertanian tanaman pangan, perkebunan, dan pertanian lainnya. Lapangan usaha perdagangan, jasa, dan industri pengolahan kurang begitu menonjol di daerah-daerah yang dimenangi PPP.

Dari segi pendidikan, partai ini justru menonjol di daerah- daerah yang didominasi penduduk dengan tingkat pendidikan rendah. Dari 12 kabupaten basis PPP pada Pemilu 1999 dan sembilan kabupaten yang memenangkan PPP pada Pemilu 2004, pendidikan rendah (SD) mendominasi struktur masyarakatnya.

Ke depan, mungkin partai hijau ini perlu mengubah strategi politiknya agar mampu merengkuh wilayah-wilayah perkotaan dan tetap bisa mempertahankan eksistensinya di dalam struktur masyarakat di segala lapisan pendidikan. Terlebih, modernisasi yang selain cenderung mengubah struktur pendidikan, juga berdampak pada proses urbanisasi.

Jika makin banyak komposisi pendatang di wilayah-wilayah basis PPP, bisa jadi komposisi etnis akan berubah dan dengan demikian penetrasi partai ini akan makin sulit.(LITBANG KOMPAS)

No comments:

A r s i p