Wednesday, January 2, 2008

Fragmentasi Kekuasaan


Yasraf Amir Piliang

Satu dekade reformasi menciptakan kondisi terbaginya kekuasaan politik ke dalam fragmen- fragmen kekuasaan secara "liar". Fragmentasi kekuasaan yang mencolok adalah "keterbelahan kekuasaan" (split of power) antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang cenderung dilihat oleh berbagai kalangan bukan sebagai sharing of power dalam mengurus negara, tetapi sebuah medan "pertarungan simbolik" dalam mendapatkan perhatian, simpati, dan penerimaan publik (public consent).

Melalui frekuensi penampilan di muka publik yang lebih tinggi; ucapan, komentar, dan opini publik yang lebih "keras"; perintah, koordinasi, dan pengaturan aneka urusan publik yang lebih "cekatan", serta pengusulan peraturan dan kebijakan publik yang lebih "ngotot", ada kesan umum bahwa wakil presiden tidak sekadar memosisikan dirinya "membantu" presiden, tetapi sedang membangun "kekuatan simbolik" (symbolic power) sebagai "bahan baku" dalam medan perebutan kekuasaan di dalam pemilu presiden mendatang.

Fragmentasi kekuasaan politik bahkan tidak hanya pada tingkat puncak kekuasaan, tetapi jauh menyebar ke dalam wilayah politik yang lebih luas dan kompleks. Angin kebebasan yang dibawa reformasi memberikan "adrenalin" pada diri setiap orang atau kelompok untuk menunjukkan "taring kekuasaan" pada tingkat politik mikro: daerah-daerah, kelompok suku, kelompok agama, aliran "kepercayaan", kelompok subkultur (punk, underground), mahasiswa, buruh, bahkan geng-geng motor.

Reformasi meninggalkan sebuah ruang kekuasaan yang di dalamnya bermunculan "bola liar kekuasaan", yang tanpa kendali. Tanpa pengelolaan struktural dan formal, kekuasaan-kekuasaan mikro itu berkembang menjadi fragmen-fragmen kekuasaan plural yang "mengelola dirinya sendiri" (self-organizing system). Dengan semakin susutnya ruang kekuasaan negara di dalam era otonomi dan globalisasi, berbagai fragmen kekuasaan itu (seperti suku, subkultur, aliran kepercayaan) berupaya memaksimalkan ruang kekuasaannya di dalam negara.

Fragmen-fragmen kekuasaan

Pandangan Hobbes, bahwa "kekuasaan itu tak terbagi" (power ough not to be divided), mungkin adalah pengalaman kelam bangsa ini di masa lalu ketika kekuasaan dipegang oleh rezim "totaliter". Akan tetapi, angin reformasi telah membawa perubahan radikal, yaitu ketika gelombang kebebasan berembus sangat kencang sehingga tidak saja kekuasaan terbagi seperti "liliput-liliput kekuasaan" sebagaimana dikatakan Rousseau, malahan berkembang biak bagai "bola liar kekuasaan", yang setiap orang ingin menjadi bagian dari kekuatan liarnya.

Reformasi menciptakan "bilik-bilik kekuasaan" berupa kekuasaan-kekuasaan mikro yang terbagi, terbelah, atau terpecah. Fragmentasi kekuasaan yang terbentuk adalah "fragmentasi berlapis" (stratified fragmentation). Pada tingkat makro ada fragmentasi kekuasaan menjadi kekuasaan-kekuasaan otonomi daerah yang plural dan desentralistik. Pada tingkat lebih mikro ada fragmentasi kekuasaan ke tangan para pemangku kekuasaan mikro (individu, kelompok, subkultur, kelas, golongan) yang mengembangkan ruang "kekuasaan" masing-masing.

Sebagaimana dikatakan Foucault di dalam Power/Knowledge (1980), bahwa "kekuasaan atas tubuh" (power over body) yang bersifat represif dan membungkam kini diambil alih oleh "kekuasaan dari tubuh" (power of body) yang subversif dan membebaskan, baik tubuh individu maupun tubuh sosial. Bila dulu kekuasaan merupakan sebuah metode represif dalam "pendisiplinan tubuh" (pikiran, kesadaran) yang menghasilkan tubuh yang patuh (docile body), kini kekuasaan-kekuasaan mikro (individu, kelompok, golongan) menjadi alat perlawanan terhadap segala bentuk pendisiplinan.

Akan tetapi, hasrat berlebihan menampakkan taring kekuasaan itu dapat menjadikan kuku kekuasaan itu kehilangan dimensi-dimensi sublimnya, yaitu dimensi-dimensi "kebaikan" (goodness), "keadilan" (justice), dan "kebajikan" (virtue), sebagaimana dilukiskan para pemikir politik klasik. Terbuai dalam pesona kekuasaan menjadikan orang melupakan "etika kekuasaan", yaitu pandangan baik/buruk atau pantas/tak pantas dari setiap tindak penggunaan kekuasaan. Kekuasaan menjadi cara untuk memuaskan ego dan melupakan orang akan fungsi sosial kekuasaan.

Mengelola kekuasaan

Ada sesat pikir yang tumbuh di kalangan masyarakat bahwa setelah berlangsung fragmentasi kekuasaan, setelah kue kekuasaan dibagi-bagi ke dalam fragmen-fragmen kekuasaan yang plural, maka proses demokratisasi dianggap telah selesai. Padahal, demokrasi bukan sekadar pembagian kekuasaan oleh penguasa pada demos, tetapi bagaimana mengelola fragmen- fragmen kekuasaan itu sehingga jelas teritorial, batas, dan otoritas di dalamnya. Membiarkan "fragmen-fragmen kekuasaan" tanpa batas sama artinya dengan "anarkisasi demokrasi".

Pengalaman pembagian kekuasaan pada tingkat puncak kekuasaan sejauh ini tidak menunjukkan hasil yang positif, konstruktif, dan produktif. Di dalam rezim Orde Baru, kekuasaan wakil presiden terbatas pada "mewakili presiden" dalam kondisi darurat, genting, atau berhalangan. Di dalam era Reformasi, wakil presiden semestinya diposisikan sebagai "mitra" presiden dalam mengurus negara. Akan tetapi, alih-alih menjadi mitra, kini ia cenderung menjadi "pesaing" presiden dalam hal penggunaan otoritas kekuasaan, pembentukan kekuatan simbolik, dan penggalangan penerimaan publik.

Pengelolaan kekuasaan di dalam era Reformasi menghadapkan bangsa ini pada sebuah situasi dilematis: bila kekuasaan dikembalikan sebagai "kekuasaan tak terbagi" sebagaimana dikatakan Hobbes, ketakutan akan taring "totalitarianisme baru" akan menghantui setiap orang. Sebaliknya, membiarkan kekuasaan menjadi medan "pertarungan bebas" akan membuka ruang bagi persaingan tak sehat, tak konstruktif, dan tak produktif karena jiwa demokratis "lebih mendahulukan kepentingan negara" (bukan ego dan golongan) itu belum kunjung terbangun.

Dalam kondisi belum adanya "kedewasaan demokrasi", ada baiknya konsep Hobbes tentang "kekuasaan tak terbagikan" dilirik kembali secara parsial, paling tidak pada tingkat pucuk pimpinan negara. Konkretnya, di dalam pemilu presiden mendatang, sebaiknya yang dipilih bukan lagi "pasangan presiden" (presiden dan wakil presiden), tetapi "hanya" presiden, yang setelah terpilih menunjuk wakilnya, yang dianggap cakap dan dapat diajak bekerja sama. Membagi kekuasaan pada presiden dan wakil presiden sejauh ini cenderung menjadikan kekuasaan menjadi "gadis rebutan".

Yasraf Amir Piliang Ketua Forum Studi Kebudayaan (FSK) FSRD-Institut Teknologi Bandung

No comments:

A r s i p