Thursday, January 31, 2008

Aktivis Kecewa pada Berita Soeharto


Kamis, 31 januari 2008 | 02:52 WIB

Jakarta, Kompas - Sejumlah aktivis pergerakan dari berbagai angkatan mengeluhkan tidak berimbangnya pemberitaan dan pencitraan mantan Presiden Soeharto di media massa, terutama televisi. Kondisi ini diduga akibat besarnya kekuatan kapital di belakang pencitraan Soeharto.

Aktivis angkatan 1977/1978 Rizal Ramli dalam pertemuan dialog nasional antargenerasi di Jakarta, Rabu (30/1), mengatakan, rekayasa opini publik tentang Soeharto selama masa sakit hingga meninggalnya sangat luar biasa.

”Soeharto memang memiliki peran dalam membangun bangsa, tetapi human cost, social cost, dan human right cost-nya tidak bisa diabaikan begitu saja,” katanya.

Rizal menilai pertumbuhan ekonomi di masa Soeharto memang baik. Namun, itu bukan hal luar biasa, terlebih dibandingkan dengan sejumlah negara Asia lainnya yang jauh lebih melesat pertumbuhan ekonominya.

Utang luar negeri yang ditinggalkan Soeharto saat lengser mencapai 150 miliar dollar AS. Sementara utang luar negeri saat Soekarno turun 2,5 miliar dollar AS.

Aktivis 1978 S Indro Tjahyono melalui pernyataan politiknya mengatakan publikasi tentang Soeharto yang fragmentaris berlawanan dengan hak publik untuk memperoleh informasi secara adil. Pengungkapan figur Soeharto seharusnya dilakukan berdasarkan sejarah sehingga tidak menjurus pada kultus individu.

Dengan demikian, penyingkiran lawan-lawan politik Soeharto dengan kekerasan perlu juga diungkap. Ini juga untuk memberikan keadilan bagi para korban politik Soeharto dalam berbagai kasus pelanggaran HAM.

Sementara itu, aktivis angkatan 1966 Sjahrir menilai, kuatnya pencitraan Soeharto secara berlebihan tidak terlepas dari pengaruh kekuatan kapital. Saat ini, sejumlah media massa dikuasai oleh anggota keluarga Cendana, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Kekuatan kapital ini pula yang membedakan pencitraan atas wafatnya Soekarno dengan Soeharto. Sejak krisis ekonomi dan turunnya Soeharto pada tahun 1998 hingga saat ini tidak terjadi perubahan pemegang kekuatan kapital di Indonesia. Bahkan, pemegang kapital yang sempat limbung saat konflik kini mulai berjaya kembali.

”Sikap elite saat Soekarno meninggal pada 1970 sangat tidak peduli, sedangkan saat Soeharto meninggal justru elitenya sangat peduli,” ujarnya.

Kemarin salah satu ketua Dewan Pengurus Pusat Partai Golkar Muladi menyatakan Partai Golkar tetap memelopori pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto. (MZW/HAR)

No comments:

A r s i p