Saturday, January 26, 2008

Demokrasi Telah Dibajak




Sanur, Kompas - Demokrasi masih belum mampu mengangkat Indonesia keluar dari keterpurukan meski negara ini sudah 10 tahun meninggalkan rezim otoriter Soeharto. Ini disebabkan kekuatan lama sebenarnya hanya berubah wajah. Mereka telah membajak demokrasi dan membuat lembaga demokrasi ataupun lembaga antikorupsi tidak efektif.

Hal itu disampaikan kandidat profesor National University of Singapore, Vedi R Haviz, dalam acara Forum Publik Antikorupsi di Sanur, Bali, Kamis (24/1). Forum Publik Antikorupsi ini diselenggarakan sebagai pertemuan masyarakat sipil menjelang Konferensi Internasional Negara Para Pihak Penanda Tangan Konvensi PBB Antikorupsi (UNCAC), 28 Januari-1 Februari 2008, di Bali.

Selain Vedi, hakim Dolores Espanol dari Filipina dan Direktur Eksekutif Kemitraan untuk Indonesia Mohammad Sobary memberi pidato pembukaan.

Menurut Vedi, ada pertanyaan besar mengapa setelah 10 tahun Indonesia memasuki masa reformasi ternyata korupsi masih marak.

”Demokrasi di Indonesia ini bukan seperti demokrasi yang diidealisasikan demokrasi liberal, tetapi demokrasi yang lebih mirip dengan yang terjadi di Filipina, Thailand, dan Rusia,” kata Vedi.

Vedi menambahkan, pembajakan demokrasi dan program antikorupsi oleh kekuatan-kekuatan lama yang disebutnya sebagai kelompok predatoris itu akibat kalangan reformis sewaktu reformasi 1998 tak berhasil menghilangkan kekuatan-kekuatan predatoris tersebut.

Yang ia maksud dengan kekuatan predatoris adalah kekuatan yang memiliki kepentingan untuk menguasai sumber daya publik demi kepentingan akumulasi kapital privat.

”Kelompok predatoris adalah kelompok-kelompok yang merupakan hasil binaan Orde Baru, seperti Golkar dan seluruh onderbouw-nya. Sekarang coba lihat siapa yang menguasai partai politik, DPR, eksekutif, dan institusi peradilan. Coba tanyakan kepada mereka apa yang mereka lakukan 10 tahun lalu pada rezim Soeharto?” kata Vedi.

Menurut Vedi, kalangan reformis gagal mengeluarkan kepentingan-kepentingan pribadi kekuatan lama yang predatoris tersebut. Kalangan reformis justru telah memberikan kepada mereka kesempatan untuk mengambil alih demokrasi Indonesia. ”Jadi tidak heran kalau Indonesia tetap pada ranking teratas korupsi,” katanya.

Hakim Dolores Espanol mengatakan, ada kegagalan hukum di Filipina dalam menangani perkara mantan Presiden Filipina Marcos.

”Ini menjadi tantangan Presiden Arroyo yang juga dianggap presiden yang paling banyak melakukan korupsi. Filipina sangat lambat dalam menangani korupsi Marcos dan kroni-kroninya,” kata Dolores. (VIN)

No comments:

A r s i p