Wednesday, January 9, 2008

Politik Jalan Baru


Fuad Bawazier
Mantan Menteri Keuangan

Demi kelancaran dan efisiensi dalam menjalankan roda pemerintahan di negeri jajahannya yang kala itu disebut Hindia Belanda (Indonesia), pemerintah Belanda mendidik sedikit anak-anak pribumi. Tujuannya agar mereka dapat dipekerjakan sebagai pegawai negeri rendahan (clerk) yang bisa baca, tulis, dan berhitung.

Sang tuan (pemerintah penjajah saat itu) sangat mengharapkan kesetiaan pribumi yang telah diberi kesempatan menikmati pendidikan modern dan dipekerjakan sebagai pegawai pemerintah. Dalam perjalanannya, seperti kita ketahui dari sejarah sebagian dari pribumi ini memang lebih setia kepada tuannya daripada kepada bangsanya sendiri, tetapi sebagian lagi justru tumbuh berkembang sebagai para pejuang yang menyadarkan bangsanya melawan penjajah untuk merdeka.

Meski telah merekrut tenaga lokal (pribumi) untuk dipekerjakan dalam pemerintahannya, pemerintah penjajah tetap memonitor mereka dan hasil kerjaannya. Konon untuk memudahkan monitoring itu ada ciri-ciri khusus yang diajarkan pada pribumi sejak duduk di bangku sekolah sehingga sang bos seketika mengetahui siapa yang mengerjakan, pegawai pribumi atau pegawai Belanda.

Dalam menulis angka tujuh misalnya, pribumi menambahkan "sabuk atau garis" pada kaki angka tujuh. Padahal bila diperhatikan, "sabuk" tersebut tidak terdapat pada angka tujuh yang ada di mesin ketik, kalkulator, maupun komputer. Orang bule, orang India, maupun orang Timur Tengah juga tidak menambah sabuk pada angka tujuh mereka.

Ciri lain misalnya, pribumi dalam menuliskan angka ribuan ke atas akan menempatkan tanda baca "titik" mendahului "koma", padahal lazimnya koma mendahului "titik". Untuk jelasnya pribumi akan menuliskan sejuta rupiah lima puluh sen dengan Rp 1.000.000,50 yaitu dua titik mendahului koma. Orang bule atau internasional akan menulis sejuta dolar lima puluh sen dengan $ 1,000,000.50 yaitu koma dahulu baru titik. Para ahli sejarah dan bahasa mungkin mampu menjelaskan hal ihwal atau kebenaran atas fakta-fakta di atas, wallahualam bisawab.

Setelah Indonesia merdeka, melalui berbagai jalur dan sumber pembiayaan, pemuda Indonesia juga belajar di luar negeri mengambil gelar S1, S2, S3 atau hanya program sertifikat nongelar. Sepertinya sejarah berulang, sepulang dari belajar di luar negeri mereka pun kembali terpecah dua, yaitu mereka yang merasa nyaman dalam ketiak asing dan berkedok internasional dan mereka yang menginginkan bangsa Indonesia berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan bangsa lain.

Kelompok pertama yang pro-elite dan asing ini cenderung berpendapat bahwa kita tidak mampu dan perlu bantuan asing sementara kelompok kedua menekankan perlunya semangat percaya diri dan kemandirian bangsa. Aliran pertama ini berargumentasi uluran tangan asing amat menguntungkan Indonesia sedangkan aliran kedua berpendapat no free lunch dan intervensi asing justru merugikan serta melemahkan Indonesia.

Kelompok pertama membangun mitos bahwa tanpa restu kelompok Washington Anda tidak bisa berbuat atau menjadi apa-apa dan karena itu baik secara diam-diam ataupun terang-terangan mereka lebih menjaga kepentingan asing dari pada kepentingan nasional. Sikap seperti ini menjadi amat menonjol sejak Indonesia terkena ''krismon''. Atau ketika Indonesia terkena tsunami Desember 2004 dan dunia sedang amat bersimpati pada penderitaan Indonesia sehingga terbuka peluang besar atau tawaran internasional untuk mendapatkan keringanan atas beban utang luar negeri, justru kelompok pertama di pemerintah yang sibuk berargumentasi menolak peluang tersebut dengan alasan merugikan Indonesia. Di balik itu--saya yakin--mereka bersikap aneh menolak keringanan internasional karena khawatir mengecewakan atau mengganggu kepentingan kreditor asing tempat mereka sebenarnya menggantungkan nasibnya.

Sesungguhnya banyak tokoh asing seperti Joseph Stiglitz dan John Perkins yang prihatin dengan sikap pemerintah Indonesia yang kurang membela kepentingan nasionalnya. Penjualan Indosat hanya satu dari amat banyak contoh. Keprihatinan itu kini lebih mengkhawatirkan lagi karena mereka yang siap jadi komprador bukan saja yang duduk di pemerintahan tetapi sudah meluas ke kalangan swasta/LSM (tidak semua LSM), dengan berbagai baju dan kedoknya. Kemiskinan, pengangguran, dan keinginan hidup layak telah mendorong mereka memusuhi negerinya sendiri dengan menerima penugasan (upah) dari asing.

Kepatuhan mereka terhadap perintah majikannya (sponsor luar negeri) menentukan besarnya dana (nafkah) yang diterima. Pengakuan dosa dari pelaku-pelaku dalam negeri yang telah bertobat, kecewa, ataupun karena konflik internal sebenarnya tidak berbeda dengan pertobatan John Perkins yang menyesal telah menjalankan misi perusakan di Indonesia. Meski sama-sama komprador, mereka yang duduk di dalam pemerintahan sering dibenturkan dengan yang di luar (swasta/LSM) karena perbedaan kepentingan atau persaingan dari sang majikan di luar negeri yang acap kali juga berbeda.

Berdasarkan fakta dan pengalaman sejarah yang kita miliki baik sebelum maupun sesudah merdeka, pengungkapan dan pertobatan oleh berbagai kalangan dan ahli terutama di luar negeri sesungguhnya sesama anak bangsa kita masih diadu domba dan kekayaan nasional tetap dijarah elite asing dan dalam negeri. Bedanya kini dalam pemerintahan yang katanya merdeka dan dengan payung demokrasi. Untuk membebaskannya tidak sekadar dengan slogan perubahan tetapi benar-benar dibutuhkan politik jalan baru.

No comments:

A r s i p