Wednesday, January 30, 2008

Parpol, Oligarki, dan Plutokrasi


Selasa, 22 januari 2008 | 02:55 WIB

Rachmad Bahari

Oligarki (kekuasaan di tangan segelintir orang) dan plutokrasi (pemerintahan oleh sekelompok orang kaya) adalah penumpang gelap berbahaya sistem demokrasi yang sering luput dari perhatian. Tanpa disadari, oligarki dan plutokrasi melekat pada sistem demokrasi, baik secara manifes maupun laten.

Orang sering tidak hirau terhadap pertumbuhan oligarki dan plutokrasi intraorganisasi atau malah dalam sistem negara yang berskala luas karena mekanisme pengisian pengurus atau pemimpin telah melalui proses pemilihan secara demokratis. Oligarki dan plutokrasi sering dimaknai sebagai ”jebakan demokrasi”.

Sindroma

Hingga kini tidak satu partai politik (parpol) pun di Indonesia—yang sudah mapan dan baru berdiri—terbebas dari sindroma oligarki dan plutokrasi. Disadari atau tidak, persekongkolan, kroniisme, dan nepotisme kini melanda hampir seluruh parpol. Orang-orang berduit juga berperan penting karena tidak satu parpol pun di Indonesia yang memiliki kemampuan keuangan mandiri dan hidup dari iuran anggota. Juga sudah menjadi rahasia umum bila parpol—utamanya yang ikut dalam pemerintahan—berupaya menempatkan orang-orangnya pada posisi ”basah” di lembaga pemerintahan dan BUMN guna menghimpun dana politik

Rapor merah parpol telah dimanfaatkan oleh mereka yang antipartai untuk mendesak pembolehan calon perseorangan dalam pemilu. Keberhasilan kelompok antipartai mengegolkan calon perseorangan sebagai peserta pemilu kepala daerah (pilkada) jika dicermati tidak memberi sumbangan bagi pengembangan sistem demokrasi, tetapi disadari atau tidak malah ikut mendorong tumbuhnya plutokrasi.

Dasar pembolehan perseorangan sebagai peserta pilkada ada pemenuhan hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih dalam pemilu. Munculnya tuduhan terhadap parpol yang loba kekuasaan seiring usulan yang membolehkan calon asal partai politik menjadi calon anggota DPD dalam pembahasan RUU Pemilu di DPR bisa dimaknai sebagai pandangan kurang tepat. Anggota parpol selaku warga negara juga memiliki hak konstitusional untuk memilih dan dipilih dalam sistem demokrasi.

Tanpa bermaksud membela parpol yang belum berkinerja baik bahwa labelisasi calon perseorangan pasti lebih baik mengandung sesat pikir. Pendapat itu perlu diluruskan karena tidak semua orang parpol memiliki kualitas dan kapabilitas lebih rendah ketimbang calon perseorangan . Sebaliknya, tidak semua calon perseorangan memiliki kapasitas dan kapabilitas lebih baik dari orang parpol.

Kesuburan pertumbuhan oligarki dan plutokrasi dapat dihambat dengan membangun sistem kepartaian yang sederhana dan tidak kompleks sehingga rakyat mudah mengawasinya. UU Parpol yang baru juga masih memberi peluang tumbuhnya oligarki dan plutokrasi. UU Parpol juga tidak secara spesifik mengatur transparansi dan akuntabilitas karena hal itu dianggap bagian kemandirian partai mengurus rumah tangganya sendiri.

Membesarnya batas sumbangan yang dapat diberikan perseorangan dan korporasi serta ringannya sanksi bagi pelanggaran terhadap UU menjadi petunjuk masih adanya celah bagi pemanfaatan kekuasaan untuk memperoleh keuntungan.

Keringat politik

Tidak adanya sanksi bagi parpol yang tidak menjalankan demokrasi internal organisasi menjadi petunjuk bahwa partai dapat digunakan sebagai alat kekuasaan oleh pengurusnya. Penerapan demokrasi internal partai diharapkan dapat menjamin peran dan fungsi utama parpol sebagai sarana pendidikan politik, komunikasi politik, dan rekrutmen politik, serta agregasi kepentingan.

Implementasi demokrasi internal partai diharapkan dapat melahirkan politisi dan pemimpin berkualitas. Demokrasi internal partai menjadi pendorong pengembangan kader dengan mempertimbangkan merit system. Artinya, partai dapat mengembangkan kader untuk menduduki posisi eksekutif, lembaga perwakilan, pekerja partai, atau sekadar administratur organisasi.

Maka, parpol dapat menempatkan kadernya secara tepat untuk mengisi jabatan publik sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya. Artinya, mereka dapat menempati posisinya sesuai ”keringat”, bukan karena kedekatan hubungan dengan petinggi partai atau karena kemampuan keuangan. Dengan demikian, orang yang ingin sekali lancung ke ujian tanpa ”berkeringat” tidak memiliki tempat di lingkungan parpol.

Dalam sistem negara demokrasi modern kemampuan para politis lebih menjadi ukuran ketimbang label partai karena partai hanya menjadi wadah bagi mereka yang kebetulan memiliki cita-cita, platform, dan ideologi yang sama. Para pemilih yang rasional akan memilih partai yang mencalonkan orang-orang berkualitas daripada yang sekadar mengandalkan karisma atau pesona pemimpinnya.

Dalam waktu dekat, kondisi ideal ini memang sulit terwujud. Untuk itu diperlukan kerja keras, utamanya dari kalangan parpol sendiri. Partai harus bersedia dikritik dan dikoreksi minimal oleh kalangan internal dan konstituennya. Jika hal itu dapat diwujudkan, label sebagai organisasi yang penuh penumpang gelap oligarki dan plutokrasi dapat berkurang meski tak dapat dihapus sama sekali. Parpol sejati adalah wadah bagi mereka yang mau memeras keringat, bukan yang hanya ongkang-ongkang saja.

Rachmad Bahari Peneliti pada Institute for Policy and Community Development Studies (IPCOS) Jakarta

No comments:

A r s i p