Thursday, January 31, 2008

NU dan Politik Kebangsaan


Pada usia yang ke-82,NU sebagai jamiah makin memiliki peran penting bagi kelangsungan hidup bangsa ke depan. Corak keagamaannya yang adaptif dan estetik; dengan jumlah pengikut yang besar, kehadiran NU bisa menjadi penjaga ketahanan budaya (culture containment).

NU adalah buffer dalam menghadapi penetrasi globalisme dan lokalisme dengan berbagai anasir radikalisme dan eksklusivismenya. Paling tidak ada dua hal penting yang perlu dikemukakan ketika kita bicara mengenai keterlibatan NU dalam membentuk nilai-nilai kebangsaan.

Pertama, soal loyalitas mereka terhadap perjuangan kemerdekaan dan dukungan pada pendirian bapak bangsa untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa modern, di mana agama (Islam) tidak menjadi dasar berdirinya bangsa ini.Kedua,sebagai sebuah komunitas, NU adalah representasi autentik karakter bangsa Indonesia yang toleran terhadap kebudayaan luar sejauh tidak merusak tatanan budaya yang tersedia.

Tentang hal pertama, kita hampirhampir tidak bisa menafikan bahwa sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa ini tak lepas dari peran para ulama dengan latar pesantren yang kemudian menjadi basis inti dalam komunitas NU. Laskar Hizbullah dan Sabilillah (1945-1949) adalah tempat bagi komunitas NU berjuang untuk bangsa ini.

Namun sayang, seperti yang pernah diungkap Van Bruinessen, sumbangan besar itu tidak selalu berbanding lurus dengan pembagian partisipasi kekuasaan yang mereka terima. Dalam kontrol kekuasaan, mereka kerap menjadi kelompok yang terlempar. Alasan sebagai kelompok terbelakang yang hanya mengandalkan jumlah massa bisa menjadi penjelasan mengapa mereka tidak turut serta dalam pengaturan negara.

Dibanding kelompok lain yang memperoleh pendidikan modern ala barat, masyarakat NU masih dianggap gagap dalam menghadapi kemodernan. NU dibutuhkan hanya untuk kepentingan mobilisasi massa. Selain itu, Van Bruinessen juga mencatat bahwa rendahnya partisipasi mereka karena "para kiai di daerah tidak pernah punya ambisi mengurusi negara,membuat undangundang, atau memengaruhi kebijaksanaan sosial dan ekonomi".

Bagi mereka, mengurus pesantren dan mendidik para santri lebih penting daripada mengurus negara dengan segala kelengkapannya. Mungkin alasan ini tidak sepenuhnya benar karena NU dalam Pemilu 1955 mendirikan partai NU yang turut berkompetisi dengan partai lain, PNI,PKI dan Masyumi.Keikutsertaan mereka untuk menjadi partai politik tersendiri sebenarnya menjelaskan bahwa mereka juga ingin terlibat dalam pengaturan kekuasaan di negeri ini.

Aspirasi mereka sebagai komunitas Islam tradisional kerap tidak terakomodasi karena tergerus oleh kelompok Islam yang lebih modern. Terlepas dari pasang surut keterlibatan NU dalam kancah politik, peran NU sebagai pilar penting kelangsungan bangsa Indonesia sulit diragukan.

Seperti yang dikatakan Douglas E Ramage, NU sudah memberikan kontribusi yang sangat besar dalam pembentukan identitas kebangsaan yang religius tetapi tidak terjebak dalam bingkai negara agama. Kerelaan umat Islam untuk tidak memaksakan dasar negara Islam menjadi starting point yang memuluskan kita sebagai sebuah bangsa majemuk untuk hidup bersama secara setara.

Hal kedua, karakter Islam yang berakar pada tradisi lokal dan bersikap akomodatif terhadap kebudayaan baru yang dianggap lebih baik,membuat NU sulit dibayangkan menjadi ancaman bagi ikatan kebangsaan kita. Dalam interpretasi NU, Islam yang dihayati tidak harus menggeser tradisi lama tanpa terjebak pada sikap antipati dengan nilai-nilai baru.

Sikap keagamaan seperti ini seakan melahirkan sebuah varian Islam Indonesia yang memiliki ciri pada sikap moderat, toleran, dan akomodatif pada kebudayaan lokal. Pembentukan wajah Islam Indonesia yang moderat dan damai kian relevan terlebih pada saat masyarakat dunia menyaksikan serangan 9/11 atas Amerika Serikat. NU menjadi juru bicara utama bersama Muhammadiyah dalam representasinya sebagai Islam moderat.

Keberhasilan NU dalam menjaga keutuhan kita sebagai sebuah bangsa adalah sumbangan besar bagi bangsa ini. Dalam memelihara masa depan kebangsaan kita,NU dihadapkan pada tantangan yang membuat mereka harus bertarung dengan komunitasnya sendiri.Menguatnya radikalisme Islam di Indonesia adalah ancaman yang dapat mengoyak kesatuan bangsa ini.

Komitmen untuk tetap mempertahankan kemajemukan dan kesetaraan warga di hadapan negara adalah garansi yang harus tetap dijaga. Radikalisme tidak hanya mengancam kesatuan kita sebagai sebuah bangsa, tetapi juga masa depan umat Islam secara keseluruhan. Sekali dia berkembang, maka ikutan dari nilai yang antikemanusiaan ini akan menjebak kita pada friksi berkepanjangan.

NU telah menegaskan bahwa nilai-nilai yang ditanamkan dalam pesantren, tempat yang sempat dicurigai menjadi persemaian Islam radikal, adalah nilai-nilai Islam yang selalu menjaga kehidupan dan kedamaian. Tantangan kedua adalah fenomena peraturan daerah syariah di beberapa daerah pascapelaksanaan otonomi daerah.

Bukan soal keputusan itu diambil oleh mayoritas legislatif daerah, melainkan masalah jaminan bahwa negara ini tidak mungkin melegalkan satu aturan yang hanya bicara pada satu kelompok agama tertentu, terlebih bila itu menyangkut soal moral. Setiap masyarakat di negeri ini selalu diisi oleh keragaman yang memiliki nilainya sendiri.

Untuk menjadi negara yang memiliki komitmen pada kesetaraan dan keadilan, kita tidak mungkin meloloskan undang-undang atau peraturan daerah yang hanya bicara pada kelompok tertentu. Kiranya hal ini cukup disadari oleh NU.Upaya untuk menangkal itu,NU, dengan keragaman paham dan sikap yang ada di dalam tubuhnya, juga dihiasi oleh munculnya kelompok muda yang progresif.

Kemunculan mereka pada sekitar dua dekade terakhir mampu mengimbangi kekuatan Islam konservatif yang dapat mengancam keutuhan bangsa. Kemampuan NU untuk memelihara keseimbangan ragam pemikiran yang ada serta komitmen pada pluralitas kebangsaan perlu diperteguh oleh perhatian pada masalah keadilan dan kesejahteraan masyarakat.

Karena pengalamanbangsa-bangsamenunjukkan bahwa moderasi kultural memerlukan "moderasi" kesenjangan sosial.Meluasnya kelas menengah bisa menjadi moderating force yang bisa melunakkan bentrokan identitas. Itulah tantangan NU di masa depan!(*)

Dr Yudi Latif
Kepala Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta

No comments:

A r s i p