Wednesday, January 16, 2008

Memaafkan Pak Harto


Mantan Ketua MPR Amien Rais meminta proses hukum mantan Presiden Soeharto dihentikan. Pemerintah secara resmi memaafkan Pak Harto.

Dengan pemerintah secara resmi melakukan itu, menurut Amien Rais, masyarakat dapat pula memaafkan Pak Harto. Kepastian itu sangat penting untuk membuat bangsa ini tidak terombang-ambing oleh masalah Pak Harto, yang sedang terbaring sakit dan kritis.

Penjelasan yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengenai Pak Harto akhir pekan lalu multi-arti. Presiden mengatakan, bukan saatnya untuk membicarakan kasus hukum Pak Harto karena mantan presiden itu sedang terbaring sakit. Namun, di sisi lain kita lihat, kasus perdata Pak Harto tetap berjalan. Jaksa Agung bahkan sempat membicarakan kemungkinan penyelesaian di luar pengadilan pada saat Pak Harto sedang berjuang antara hidup dan mati.

Kita memahami bahwa pilihan yang dihadapi tidaklah mudah. Namun, dalam politik, pilihan yang kita hadapi sering kali bukan antara baik dan buruk, tetapi antara yang buruk dan kurang buruk. Pada satu titik putusan itu harus diambil dan dalam kasus Pak Harto putusan itu harus diambil sekarang ini ketika Pak Harto masih ada.

Sungguh sayang, pada saat pemimpin bangsa-bangsa lain memberikan penghormatan tinggi kepada Pak Harto, kita belum juga bisa satu kata untuk memutuskan sikap kita terhadap Pak Harto. Meski sudah berlangsung hampir 10 tahun, kita masih terus berkutat pada kontroversi yang tidak berujung.

Mantan PM Singapura Lee Kuan Yew sesudah menjenguk Pak Harto di Rumah Sakit Pusat Pertamina menyampaikan keprihatinan atas perlakuan bangsa Indonesia kepada Pak Harto. Menurut dia, seakan hanya praktik KKN saja yang ditinggalkan Pak Harto. Padahal, jika dilihat bagaimana kondisi ekonomi Indonesia 40 tahun yang lalu dan dibandingkan dengan sekarang ini, akan terasa betapa besarnya karya Pak Harto. Kontribusi besar Pak Harto tidak hanya terbatas untuk Indonesia, tetapi juga bagi kemajuan ASEAN.

Memang tidak mudah bagi sebuah bangsa untuk menghormati pemimpinnya, apalagi pada saat-saat akhir kekuasaannya bukan catatan besar yang ditinggalkan. Pengalaman seperti itu pernah dihadapi bangsa China ketika mereka diminta untuk menentukan sikap kepada pemimpin besar mereka Mao Zedong. Menyusul keterpurukan ekonomi China, banyak yang berpikiran untuk tidak menghormati Mao.

Di tengah pro-kontra yang tajam, pemimpin baru China, Deng Xiaoping, lalu berpidato di Lapangan Tiananmen. Deng mengatakan, selama hidupnya Mao memang telah membuat tiga dosa besar, tetapi selama hidupnya Mao juga telah membuat tujuh jasa besar bagi China. Deng lalu mengajak bangsa China untuk mengubur sedalam-dalamnya tiga dosa besar Mao dan mengenang selama-lamanya tujuh jasa besarnya.

Mampukah kita melakukan hal yang sama? Inilah tantangan yang kita hadapi sebagai bangsa dan kita membutuhkan pemimpin yang berani untuk membawa bangsa ini mengakhiri kontroversi.

No comments:

A r s i p