Wednesday, January 9, 2008

Kiprah Parpol


PPP, Bertahan di Empasan Samudra

Imam Prihadiyoko

Gedung Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan atau DPP PPP di Jalan Diponegoro, Jakarta, tegak berdiri. Ia menjadi saksi perkembangan partai Islam terbesar saat ini. Paling tidak, dari perolehan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR, PPP masih membuktikan diri sebagai partai Islam yang mendapat kepercayaan terbesar dari umat Islam, meski dari sisi perolehan suara pada pemilu lalu lebih kecil daripada Partai Kebangkitan Bangsa.

Gedung DPP PPP ini juga menjadi saksi kegagalan dan sulitnya mewujudkan keinginan umat Islam Indonesia untuk mempunyai satu rumah besar yang nyaman bagi semua kelompok. Namanya juga partai politik, tentu tidak lepas dari kepentingan politik individu yang ada di dalamnya.

Namun, jika setiap kepentingan individual selalu dipaksakan dalam internal partai, pemisahan diri dianggap sebagai solusi. Ketidakpuasan dalam partai di era reformasi tampaknya melupakan impian besar tokoh dan aktivis Islam untuk memiliki satu rumah besar. Meski bayangan dan nostalgia tentang Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) sering kali membekas di hati politisi Islam, mereka sulit tinggal di satu rumah.

Pada awal reformasi bergulir, tokoh sekaliber KH Zainuddin MZ yang merasa punya dukungan besar memisahkan diri dari PPP, mendirikan PPP Reformasi, yang berubah menjadi Partai Bintang Reformasi (PBR). Meski setelah kalah dalam muktamar PBR di Bali Zainuddin tampaknya ingin kembali ke PPP, PBR yang kini dipimpin Bursah Zarnubi masih tetap eksis hingga sekarang.

Tantangan PPP bukan hanya pemisahan diri dan lahirnya partai baru yang berbasis massa Islam. PPP juga krisis tokoh dan ulama yang bisa dijadikan panutan bagi kadernya. Kembalinya Zainuddin MZ ke PPP tidak serta-merta menarik kembali masa pendukungnya. Di tengah kompetisi antarpartai Islam dan parpol yang penuh dengan wacana partai Islam harus menasional jika ingin meraih dukungan besar, PPP juga ingin mendapat dukungan dengan merekrut artis dan aktivis mahasiswa sebagai kader.

Partai gamang

Sebagai hasil fusi empat partai Islam peserta Pemilu 1971, yaitu Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Islam Perti, ternyata tidak mudah bagi PPP mewujudkan diri sebagai rumah besar bagi pemilih Muslim, yang menjadi komunitas terbesar di Indonesia. Meski tidak terlalu jelas lagi, jejak keempat partai Islam yang mendeklarasikan PPP pada 5 Januari 1973 itu masih bisa dilihat. Bahkan, meski kader PPP menolak adanya unsur dalam menentukan kepengurusan, pembagian itu masih terasa.

PPP tampaknya berada di persimpangan jalan. Di satu sisi ingin tetap mempertahankan asas Islam dengan segenap ciri khasnya. Bahkan, bendera partai pun memakai kembali gambar Kabah seperti PPP pada saat dideklarasikan, setelah sebelumnya sempat diubah dengan lambang bintang saat diberlakukan asas tunggal Pancasila.

Namun, secara praktis PPP harus bergeser menjadi partai pluralis, seperti yang sering diungkapkan Ketua Umum PPP Suryadharma Ali dalam berbagai kesempatan.

Terakhir, saat membuka Rapat Koordinasi Nasional Bidang Politik PPP, akhir tahun lalu, Suryadharma menegaskan lagi, PPP harus ke tengah atau menjadi pluralis jika ingin memperoleh kenaikan suara signifikan. Keinginan ini didukung dengan beragam survei yang memperlihatkan rakyat cenderung sekuler dalam politik. Tak heran, meski umat Islam mayoritas, perolehan suara partai berasas Islam lebih kecil dibandingkan dengan partai nasionalis.

Dalam konteks ini, menurut Suryadharma, dukungan partai terhadap penerapan syariat Islam tidak otomatis meningkatkan dukungan umat Islam pada partai itu.

Pandangan Suryadharma ini mungkin mendapat tantangan jika melihat perkembangan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang juga berasas Islam. PKS ternyata mampu meraih simpati pada pemilu lalu. Untuk menaikkan suara pada pemilu, PPP mungkin bisa belajar pada pencitraan yang dilakukan PKS.

Jika benchmark (yang ditiru)- nya adalah PKS, tampaknya PPP harus membenahi citra dan sistem pengaderannya. Problem diketahui semua elite partai, tetapi penggarapannya belum maksimal. Kalau ini yang menjadi masalah, tentu solusinya bukan menjadikan praktik politik PPP seperti partai nasionalis, melainkan melakukan pembenahan internal dalam pengaderan dan pencitraan.

Apalagi, data perolehan suara PPP terus menurun secara signifikan. Pada Pemilu 1977 PPP memperoleh dukungan 29,3 persen suara, turun tajam pada Pemilu 1999 menjadi 11, 14 persen. Pemilu 2004 hanya diraih 8,15 persen.

Sekretaris Jenderal PPP Irgan Chairul Mahfiz menegaskan, PPP sedang mengincar pemilih baru. Sebuah wacana yang didorong dengan kesadaran, PPP selama ini dikenal sebagai partai orang tua yang tak menarik bagi anak muda.

Merangkul mahasiswa

Tidak heran jika pada pertengahan November 2007, PPP melahirkan ormas kemahasiswaan dan pelajar, yaitu Gerakan Mahasiswa Islam Indonesia (GMII) dan Taruna Pembangunan Indonesia. Melalui GMII, PPP ingin merangkul mahasiswa dan kaum muda lain yang dinilai memiliki idealisme tinggi dalam memperjuangkan keadilan.

Secara tertulis, saat dideklarasikan, GMII didukung mahasiswa Islam dari 17 universitas dan sekolah tinggi, di antaranya mahasiswa Universitas Indonesia, Universitas Islam Negeri Jakarta, Universitas Asy-Syafiiyyah, Universitas Al-Azhar, Universitas Bina Nusantara, Universitas Jayabaya, Universitas Gunadharma, dan Sekolah Tinggi Manajemen Transportasi Trisakti.

GMII ini akan melengkapi tiga organisasi kepemudaan yang sudah dimiliki PPP, yaitu Generasi Muda Pembangunan Indonesia, Angkatan Muda Ka’bah, dan Gerakan Pemuda Ka’bah.

Pada saat yang sama, kepengurusan PPP di bawah Suryadharma dan Irgan juga ingin memperkuat basis tradisionalnya. Tidak heran juga jika PPP mencoba membangkitkan lagi semangat keislaman tradisional melalui Majelis Dzikir Diponegoro, yang juga baru dibentuk pada awal November lalu.

Tentang jaringan, menurut Irgan, sudah mencapai tingkat desa. Bahkan, di setiap desa sedang diusahakan minimal 25 orang kader. Dengan langkah praktis semacam inilah PPP berharap target 15 persen suara bisa diperoleh dalam pemilu nanti.

No comments:

A r s i p