Thursday, January 31, 2008

Pak Harto dan Reformasi



Mantan Presiden Soeharto dulu dipuji, tetapi kini "dibenci". Sosoknya sebagai penguasa otoriter di zamannya disegani dan ditakuti oleh kawan maupun lawan. Soeharto kini berbaring sakit untuk yang kesekian kalinya.

Setiap berita mengenainya selalu memunculkan pro dan kontra.Pihak yang pro berargumentasi dengan hukum positif, bahwa orang yang sakit tidak dapat diadili. Pihak yang kontra menanggapi upaya pengadilan dapat dilakukan karena persoalan Soeharto adalah persoalan politik,bukan semata-mata persoalan hukum.Dus,ada persoalan "dosa politik"di masa lalu. Lihat saja pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menegaskan bahwa silaturahminya ke RS Pertamina bukan untuk melindungi penguasa Orba,karena proses hukum, khususnya masalah perdata, akan terus berjalan.

Di lain pihak,Partai Golkar mengusulkan pengampunan Soeharto karena kondisi fisiknya yang tidak memungkinkan. Nasib Soeharto sebagai penguasa yang dulu disegani hampir mirip dengan nasib para pemimpin otoriter sezamannya,macam Ferdinand Marcos dan sejumlah pemimpin lain yang dianggap memiliki "dosa-dosa politik" akibat cara dan tindakan mereka selama berkuasa. Tetapi zaman telah berubah.Kesalahan Soeharto yang terus maju sebagai presiden pada detik-detik akhir rezimnya menyebabkan nasibnya "dikuyo- kuyo"

. Seandainya Soeharto memilih jalur damai dengan mundur sebelum puncak gerakan reformasi membesar dengan memilih Habibie sebagai penggantinya seperti yang dilakukan Perdana Menteri Mahatir Muhammad,mungkin ceritanya akan lain.Tetapi bukankah itu kesalahan Golkar dan para tokohnya yang terus memajukan Soeharto sebagai calon presiden tanpa pilihan? Golkar dalam hal ini turut berdosa karena telah memberikan rekomendasi yang salah, sehingga bukan saja nasib Soeharto yang dipertaruhkan, tetapi nasib seluruh rakyat Indonesia.

Ini adalah suatu konsekuensi perubahan politik yang lahir dari puncak kerusuhan sosial dan gerakan massa. Implikasinya tentu mudah ditebak, pemimpin yang dijatuhkan tidak lagi memiliki tiket atas perubahan yang terjadi.Namun,bila kita melihat arah perubahan politik di Indonesia, kita masih beradab ketimbang perubahan politik di Filipina maupun di Pakistan. Soeharto jatuh dan "hanya" menerima sanksi moral karena secara hukum dan politik kurang memungkinkan. Tetapi sanksi moral ini justru lebih kejam karena dapat menjadi dosa turun- temurun yang harus ditanggung oleh keluarganya.

Nasib Golkar agak lebih baik dibandingkan Soeharto, meski Golkarlah mesin politik utama Orde Baru. Golkar dapat bangkit kembali sebagai sebuah kekuatan politik setelah tuntutan pembubaran massa pasca- 1998 dan menjelang Pemilu 1999 berlalu. Saat Pemilu 1999 berlangsung, Golkar masih menduduki urutan kedua,setelah PDIP. Perubahan politik yang dilahirkan oleh reformasi melahirkan kualitas ganda para aktor politik baru. Di satu sisi mereka mengusung agenda reformasi, di sisi lain kekuatan rezim lama terus membayangi.

Salah satu dampak dari transisi yang bermodel kompromi antara kekuatan baru dengan kekuatan lama menyebabkan politik yang serbatidak pasti.Kegamangan para penguasa baru terus terjadi, salah satunya sebagai dampak dari masih bercokolnya aktor-aktor politik lama dalam bingkai politik baru yang disebut reformasi.

Kekuatan lama- baik jaringan politik Soeharto maupun Golkar-bagaimanapun, telah meracuni upaya penyelesaian masalah politik.Salah satunya mengenai diri Soeharto. Ada gejala politik di balik hukum dan hukum di balik politik. Alasanalasan hukum positif menyebabkan persoalan ini terus berlarut-larut. Pemimpin baru-yang rendah basis dukungan politiknya takut kekuasaannya terancam,dan nasibnya lebih buruk-akhirnya mencari celahcelah kebijakan yang bersifat pembiaran. Biarlah hal itu menjadi masalah hukum dan diserahkan sepenuhnya kepada para penegak hukum.

Pada saat yang sama, sudah menjadi rahasia umum lembaga hukum sudah terkontaminasi bukan saja oleh kepentingan, tetapi juga uang. Cara-cara semacam ini menyebabkan tiga dampak yang serius.Pertama, konsolidasi demokrasi sebagai salah satu mode politik untuk menyelesaikan krisis politik tersendat-sendat karena telah terkontaminasi rezim-rezim sebelumnya.Kedua,gagasan reformasi terdekonstruksi kenyataan sosialekonomi bahwa rezim lama ternyata lebih membawa kesejahteraan ketimbang mode politik transisi/demokrasi yang sedang dijalankan.

Hal ini tampak dari hampir 10 tahun reformasi/demokrasi yang telah berjalan.Kran perubahan politik, praktik demokrasi tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan kehidupan masyarakat.Tak pelak, penyakit transisi kambuh,anganangan kembali ke masa lalu, dulu lebih baik dan lebih enak.Pekerjaan mudah didapat, tidak perlu antre sembako,minyak tanah mudah diperoleh, harga BBM tidak selangit,dan sebagainya. Problem ketiga adalah problem ketakutan para pemimpin baru yang dilahirkan oleh reformasi dalam mengambil risiko politik.

Akibatnya, para politisi baru di masa reformasi berpikir dengan cara abu-abu (grey area), bukan berpikir secara hitam putih. Ada gejala mengalihkan tanggung jawab di balik proses-proses hukum kasus Soeharto.Cara berpikir ini tentu tidak pernah akan memberikan kepastian politik dan kepastian hukum. Lebih celaka lagi, ada gejala sebagian elite yang menggiring publik agar melupakan dosa-dosa politik di masa lalu.Wacana mengampuni Soeharto yang digagas Partai Golkar dapat dianggap sebagai mobilisasi wacana terhadap publik.

Cara-cara berpikir demikian adalah khas Indonesia, safety, ingin mencari selamat dan takut mengambil risiko yang lebih besar. Kegamangan demi kegamangan terus terjadi. Apakah ini suatu karma politik sehingga kita digiring untuk melupakan peristiwa dahsyat yang terjadi tanpa sanksi hukum dan politik yang jelas yang terkesan "diambangkan"? Bukankah ini akan menjadi bibit politik yang tidak baik, bila para pemimpin reformasi gagal menyelesaikan persoalan "dosa politik Soeharto" ini? Jangan-jangan mode yang sama akan terus terjadi sepanjang waktu sebagai karma politik yang terus berulang-ulang.(*)

MOCH. NURHASIM Peneliti pada Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

No comments:

A r s i p