Thursday, January 31, 2008

Tempe dan Pembangunan

Semoga menghilang dan mahalnya tempe akibat lonjakan harga kedelai baru-baru ini mampu melahirkan terobosan bagi perbaikan pembangunan pedesaan.Belajar dari pengalaman masa lalu, pemerintah selayaknya tidak membiarkan petani bertarung sendirian menghadapi pasar global.

Caranya, antara lain dengan memberikanjaminanhargabagipetani sehingga gairah menanam produk bahan makanan pokok akan (kembali) bergelora. Menggairahkan petani, tidak hanya memantapkan ketahanan pangan,tetapijugamembuatbangsaini tidak "didikte"oleh negara lain. Saat ini,mayoritas orang miskin, yang berjumlah sekitar 40-60 juta jiwa, hidup di pedesaan.

Sebagian besar dari mereka berstatus petani gurem atau buruh tani. Bagi World Food Programme (WPF,2005) mereka yang miskin dan kekurangan gizi di Indonesia dipastikan sulit keluar dari belenggu kemiskinan tanpa perubahan kebijakan yang signifikan. Tercapainya target pengurangan separuh orang miskin pada 2015 sesuai Millennium Development Goals (MDGs), misalnya, amat tergantung pada keberhasilan pembangunan pedesaan.

Pertanian "Bemper" Industrialisasi

Theodore W Schulz dalam buku Transforming Traditional Agriculture menerangkan konsep pertanian subsistens di negara berkembang yang "rasional karena meminimalisasi risiko." Schulz menuntut peningkatan produktivitas lewat teknologi baru yang kemudian menjadi pemicu bagi perkembangan apa yang disebut high yielding varieties (HYV), yang kemudian menjadi landasan penerapan Revolusi Hijau. Dampaknya, terutama di Asia pada 1960-an dan 1970- an, adalah terjadinya peningkatan produktivitas yang signifikan dan "lompatan besar" persediaan pangan yang nyaris seiring pertumbuhan penduduk.

Namun sejak 1981 Amartya Sen (Poverty and Famines) mengungkapkan, persyaratan bagi pengamanan pangan masyarakat,bukan pengadaan bahan pangan semata, tetapi aksesibilitas pada pangan bagi mereka yang lapar (entitlement approach). Ketimpangan distribusi dan bahayanya dalam sebuah pertumbuhan ekonomi yang sering jauh dari harapan di negara berkembang sudah jauh hari disadari. Simon Kuznets (1995) dan Gunnar Myrdal (1956) mengingatkan dan menunjukkan bahwa kesenjangan penghasilan trickle-down effect seperti yang diimpikan pendukungnya,sulit dicapai. Pada 1970-an muncul strategi pemerangan kemiskinan dalam bentuk "strategi kebutuhan pokok" atau konsep growth-withequity.

Untuk itu, pengembangan pertanian dikaitkan dengan sektor sosial seperti pendidikan, kesehatan, dan pemenuhan kebutuhan terhadap air bersih. Integrated rural development (IRD) adalah slogan yang didengungkan. Orientasinya pemerataan dan multisektoral. Akhir 1980-an, sebuah laporan yang disponsori Bank Dunia (Black Wood, 1988) mengevaluasi konsep IRD sebagai "tidak matang", "tidak memadainya persyaratan kondisional"," metode perencanaan yang kaku", "teknik pemecahan masalah yang tidak tepat guna",serta "pekerja lapangan yang kurang berorientasi pada pemecahan kemiskinan

".Kesimpulan umum dari laporan itu,"IRD terlalu kompleks dan tidak kompatibel dengan kapasitas manajemen di negara berkembang." Di banyak negara berkembang,termasuk Indonesia, berbarengan dengan pengalaman itu, diberlakukan sebuah sistem kontrol oleh negara atas sektor pertanian dengan tujuan mengamankan keterjangkauan harga produk pertanian bagi penduduk kota yang kian meningkat,dan mendulang devisa dari pasar ekspor.

Pada dekade 1990-an, kritik yang mengemukakan atas "kesalahan struktural" itu mengajukan alternatif structural adjustment program yang oleh IMF dijadikan persyaratan mutlak pemberian bantuan dan utang kepada negara berkembang.Brandt (2000) menyebut program ini utamanya sebagai "masalah makropolitik, yaitu keharusan mundurnya negara dari sektor dan jasa pertanian serta liberalisasi kebijakan harga, pasar, dan perdagangan pertanian." Sejak itu, sektor pedesaan menjadi bagian makro-ekonomi yang paling menderita akibat penyunatan berbagai subsidi negara. Penyesuaian struktural, menurut Brandt, merupakan akhir dari pembangunan pedesaan.

Contoh Keberhasilan

Dilatari berbagai cerita kegagalan pengembangan pedesaan itu, ada baiknya kita menengok keberhasilan Korea Selatan,Thailand,Taiwan,Malaysia, dan (sejak 1978) China, yang menjadikan sektor pertanian sebagai "motor"pengembangan sektor lain. Strategi yang dijalankan mencakup beberapa hal penting,yaitu dukungan pada perusahaan keluarga kecil menengah, menghindari sistem kredit bersubsidi,membangun infrastruktur pedesaan, mendukung pengembangan dan penyebaran teknologi yang bermanfaat bagi petani kecil serta menghindari diskriminasi langsung dan tidak langsung terhadap sektor pertanian (Binswanger, 1998:298).

Berkat kebijakan itu terjadi lonjakan pertumbuhan di sektor pertanian, peningkatan produksi dan produktivitas, modernisasi teknologi pertanian, dan pengurangan tingkat kemiskinan di pedesaan.Meski beberapa negara itu pernah mengalami krisis moneter,namun berkat peningkatan daya beli masyarakat pedesaan pertumbuhan ekonomi pun kembali terpacu. Structural adjustment program (SAP) seperti yang dianjurkan IMF bagi sektor pertanian boleh diartikan sebagai liberalisasi berbagai institusi ekonomi pertanian dan privatisasi pasar pertanian.

Kebijakan neo-liberal ini berasumsi, dalam sebuah pasar yang berfungsi,penawaran akan disesuaikan pada permintaan. Tetapi meski tak disangkal adanya kebutuhan, pemenuhan kebutuhan orang miskin tidak terpenuhkan akibat lemahnya daya beli. Selain Amartya Sen (1981, 1999), cukup banyak pengamat yang mengingatkan masalah akut ketahanan pangan. Wolfgang Hein (1996:22) misalnya,menuntut perlunya integrated political approach.

Di satu sisi perlu memprioritaskan pembangunan pedesaan dengan perhatian pada pengentasan kemiskinan,di sisi lain selalu memperhatikan pentingnya pemerataan baik di pedesaan maupun di perkotaan. Beberapa perbaikan dan modifikasi kebijakan, juga dianjurkan Gabriele Geier (1996:119-124). Pertama, perlunya koreksi price bias yang terlalu percaya pada pengaturan produksi lewat harga pasar yang diperlukan sebenarnya adalah perbaikan struktur pertanian dan dukungan pada inovasi pertanian.

Kedua, agar mengubah kebijakan income bias yang percaya pada perbaikan pendapatan petani lewat mekanisme pasar, menjadi kebijakan stabilisasi basic subsistence dan jaminan tidak digusur. Ketiga,mengoreksi kebijakan male biasdemi memperkuat status sosialekonomi perempuan. Keberhasil "Grameen Bank" yang mengantar Muhammad Yunus memperoleh penghargaan Nobel tahun lalu, mengajarkan kita tentang "kekuatan" perempuan dalam mengelola keuangan dan usaha

(*) Dr. Ivan A. Hadar Koordinator Nasional Target MDGs (Bappenas/UNDP)

No comments:

A r s i p