Thursday, January 31, 2008

Pilkada Inkonstitusional?


Selasa, 22 januari 2008 | 02:55 WIB

YOHANES USFUNAN

Pilkada yang dilakukan tanpa menghadirkan calon perseorangan atau calon independen dianggap ilegal atau inkonstitusional.

Alasannya, dalam putusan 23 Juli, Mahkamah Konstitusi (MK) mengamanatkan dimungkinkannya calon perseorangan ikut pemilihan (Kompas, 17/12/2007).

Inkonstitusional?

Untuk menyukseskan pilkada secara demokratis, KPUD harus menolak calon independen yang spekulatif mendaftarkan diri sebagai kandidat, sebelum revisi terbatas perihal calon independen dalam UU No 32/2004 tentang Pemda diberlakukan. Maka, inkonstitusionalkah pilkada yang tidak melibatkan calon independen pascaputusan MK?

UU No 32/2004 memang diskriminatif karena hanya memberi kesempatan kepada parpol/gabungan parpol mengajukan pasangan calon. Padahal, Pasal 28 I Ayat (2) UUD 1945 melarang diskriminasi. Meski diskriminasi telah dicabut, putusan MK No 5/PUU-V/2007 tidak bisa dijabarkan dalam keputusan KPU. Putusan MK yang membatalkan sejumlah pasal UU No 32/2004, terkait perlunya calon independen, pengaturannya harus dengan UU.

Pandangan bahwa pilkada tanpa calon independen inkonstitusional berlawanan dengan logika hukum.

Pertama, mereka yang menghendaki penyelenggaraan pilkada melibatkan calon independen cukup menggunakan keputusan KPU/KPUD meski keputusan seperti itu tidak mungkin menjabarkan perintah putusan MK.

Pasal 7 Ayat (4) UU No 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menentukan, jenis peraturan perundangan selain seperti dimaksud Ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan mengikat sepanjang diperintahkan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Menurut ketentuan Ayat (1) hierarki peraturan perundang-undangan meliputi UUD 1945, UU/perpu, peraturan pemerintah, perpres, dan perda.

Kedua, KPU/KPUD hanya menerima wewenang delegasi menyelenggarakan pilkada/pemilu. Sementara pengaturan calon independen terkait penggunaan wewenang atribusi (asli) dimiliki pembentuk UU, yaitu DPR dan Presiden.

Pascaputusan MK, pilkada di sejumlah daerah belum melibatkan calon independen, seperti di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Bojonegoro, dan Cimahi. Kalaupun revisi UU No 32/2004 terkait calon independen dilakukan, hal itu belum akan disahkan dan diberlakukan tahun ini, dan ini berlaku pada pilkada gubernur Bali, NTT, dan bupati/wali kota di daerah lain.

Secara sosiologis masyarakat berharap calon independen terlibat. Namun, bila persyaratan yuridis tidak terpenuhi, harapan akan terhambat mengingat keberlakuan hukum yang ideal harus memenuhi syarat filosofis, yuridis, dan sosiologis.

Secara filosofis, pilkada dengan melibatkan calon independen lebih idealistik karena, pertama, meningkatkan kualitas kompetisi dan demokratisasi penjaringan calon yang bersih dan berkualitas karena selama ini kepala daerah dari parpol banyak yang gagal.

Kedua, konsekuensi politik uang menyebabkan kepala daerah terpilih cenderung mengabaikan janji untuk memajukan pembangunan, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan kesejahteraan. Mereka lebih berkonsentrasi mengembalikan ”utang” pilkada.

Putusan hakim merupakan salah satu sumber hukum yang bisa dijadikan referensi bagi hakim dalam memutus perkara dan referensi akademik. Indonesia menganut sistem hukum Eropa kontinental yang mengedepankan kodifikasi dalam membentuk peraturan perundang-undangan. Maka, tidak diterapkan asas preseden seperti negara-negara dengan sistem hukum common law yang mewajibkan hakim mengikuti jurisprudensi dalam memutus perkara.

Putusan hakim selain deklaratif terkait pengenaan sanksi hukum juga konstitutif dengan membentuk norma hukum baru sebagai penemuan hukum (rechtsvinding). Penemuan norma hukum itu harus dirumuskan sebagai legitimasi dalam peraturan perundang-undangan oleh lembaga berwenang sesuai asas distribution of power agar mempunyai kekuatan mengikat. Karena, jurisprudensi bukan sebagai salah satu jenis dalam hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia, putusan MK harus dijabarkan dalam revisi UU No 32/2004 agar pilkada yang melibatkan calon independen konstitusional.

YOHANES USFUNAN Guru Besar Hukum Tata Negara; Universitas Udayana, Denpasar, Bali

No comments:

A r s i p