Thursday, January 31, 2008

Pilkada



Salah satu produk reformasi adalah ritual pemilihan kepala daerah (pilkada). Saya katakan ritual karena pelaksanaan yang rutin untuk setiap provinsi, kabupaten, dan kota.Pak JK bilang,pilkada itu menghabiskan dana sekitar Rp200 triliun setiap tahun.Jelas sekali pemborosan yang luar biasa.

Itu dari segi uang dan uang itu pada dasarnya menguap, meski sebagian dinikmati beberapa oknum pimpinan parpol. Yang lebih parah, justru bukan jumlah rupiah yang habis.Ada beberapa kerugian yang besar,sehingga tepat kalau saya sebut dengan self destruction( merusak diri sendiri atau bunuh diri-tahlukah).Kita perlu menengok negara lain untuk dijadikan contoh atau benchmark.Amerika Serikat (AS) biasanya disebut sebagai kampiunnya demokrasi.

Pemilu di AS

Hampir setiap hari kita membaca berita tentang pemilihan Presiden AS.Saat ini bintang beritanya adalah Hillary R Clinton yang bersaing ketat dengan Barack Obama. Keduanya dari partai Demokrat. Tampaknya, presiden yang akan datang milik Demokrat, setelah Bush kini sering terpojok dengan program-programnya yang malah dianggap merugikan kebanyakan orang AS sendiri.Jangan keliru, pemilu nanti bukan hanya pilpres, tetapi sekaligus pemilihan anggota DPR (Representatives) dan anggota Senat, DPRD provinsi dan kota (Alderman).

Begitu pun eksekutifnya, pemilihan gubernur,wali kota, juga pejabat publik yang lain. Sekali dalam empat (4) tahun diadakan pesta demokrasi untuk seluruh pejabat publik, baik sebagai wakil rakyat, pejabat eksekutif, maupun lainnya dari semua tingkatan. Dan setiap dua tahun ada pemilu antara, yaitu untuk mengganti mereka yang tidak dapat melanjutkan masa jabatan empat tahun. Sekali lagi ada pemilu antara secara langsung untuk pengganti antarwaktu, bukan atas dasar urutannya,bukan pula atas dasar kekuasaan pimpinan partainya. Efisien waktu, dana, dan segalanya,namun tetap tepat sasaran dan tepat dalam keterwakilannya.

Yang perlu dijadikan contoh lagi, di AS tidak ada kamus politik uang (money politics) atau uang sogokan untuk pemilih. Di sana, uang seperti ini adalah uang haram betulan dan malapetaka bagi mereka yang melakukannya. Pengumpulan dana yang besar-besaran kegunaannya untuk biaya kampanye yang bukan money politics tadi. Di sana juga masih berkembang teori etika deontologi yang merupakan kebalikan teleologi/utilitarianisme. Menurut teori ini, seseorang (katakanlah seorang calon) memberi sesuatu kepada anggota masyarakat (termasuk bantuan) karena ada pamrih agar mereka pada saatnya memilih dia, merupakan perbuatan tidak etis. Ada yang kaget kan?

Beberapa Kemudaratan Ritual Pilkada Kita

Praktik pilkada yang ada sekarang ini banyak mudaratnya. Pertama, menghabiskan banyak energi rakyat. Rakyat dituntut untuk memikirkan dan ikut terlibat dalam setiap pelaksanaan pilkada untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota, di samping memikirkan pemilu.Padahal,ketiganya bisa dikumpulkan menjadi sekali dalam lima tahun. Belum lagi, ada beberapa orang yang terlibat dalam pilkada daerah lain, baik provinsi atau kabupaten/kota. Energi terbuang untuk hal-hal yang tidak produktif.

Kedua, karena konsentrasi terpusat pada pilkada, banyak anggota masyarakat yang meninggalkan kegiatan-kegiatan produktif. Lebih parah lagi, jika kemudian tidak sedikit yang melakukan perjudian dalam pilkada. Padahal, untuk kemajuan masyarakat justru yang diperlukan kegiatan produktif: dari dagang atau apa saja yang mengarah pada perkembangan ekonomi untuk kesejahteraan rakyat.Ketiga, dampak negatif bentrok lebih sering dan lebih mengemuka beberapa kali dari sekian pilkada.Bentrok ini akan menjadi sangat berkurang jika dilakukan pemilu menyeluruh,mencakup pemilihan kepala daerah, DPR dan juga presiden.

Celakanya, undang-undang menjelaskan pilkada tidak tergolong pemilu. Ini yang harus diperbaiki. Lebih janggal (awkward) lagi, pelaksana pilkada adalah Komisi Pemilihan Umum Daerah. Keempat, masih merupakan pemborosan adalah biaya dan energi untuk menjaga keamanan. Kelima, mengurus sengketa. Dari itu semua yang paling mahal mungkin menganganya lubang akibat bentrok yang merusak persatuan dan kesatuan NKRI. Mengapa Tidak Sekaligus? Ada pertanyaan, mengapa tidak mau menjadikan AS sebagai benchmarksaja? Sekali pemilu untuk pemilihan presiden, pemilihan kepala daerah, dan seterusnya.Sebenarnya negara yang mempunyai sistem baru tinggal meniru sistem negara yang sudah ada.

Kalau toh akan modifikasi, ya tinggal sedikit saja, sekiranya menyangkut nilai-nilai budaya dan agama.Yang lain kan bisa meniru, mengapa tidak? Ini jauh lebih baik, lebih efisien, dan lebih efektif daripada membikin sistem sendiri yang belum tentu hasil baiknya, namun jelas borosnya. Toh model demokrasi dalam sebuah sistem perwakilan itu saja sudah berarti meniru. Bahkan "meniru" model, sistem kerja, dan inovasi teknologi sudah biasa dilakukan oleh negara yang kemudian lebih cepat maju. Ada beberapa kaidah yang menjadikan meniru itu bukan menjiplak, namun menjadi temuan baru sebagai pengembangan.

Pengembangan teknologi yang dilakukan Jepang pada umumnya dengan cara atau diawali dengan "meniru" yang sudah ada,ditambah dengan pengembangan. Dalam dunia ilmu pengetahuan, yang namanya temuan tidak harus semata-mata baru sama sekali. Pengembangan teori atau temuan yang sudah ada bisa disebut dengan temuan atau contribution of knowledge (sumbangan ilmu pengetahuan). Masih ada lagi anggapan umum (sudah menjadi konsensus) bahwa temuan yang sudah menjadi milik umum atau publik berarti sudah milik bersama dan yang memakainya tidak dianggap menjiplak.

Demokrasi dan segala macam sistemnya menurut saya sudah menjadi milik publik, sehingga siapa saja atau negara mana saja bisa atau berhak memakainya. Tidak ada property right untuk sebuah sistem demokrasi.Toh dalam praktik, tidak akan ada kadar persamaannya seratus persen, oleh karena tetap saja ada nilai dan tradisi yang tidak sama dengan yang ada di negara lain.Negara-negara maju pada umumnya menganut sistem demokrasi, namun masing-masing memiliki kekhasan, sesuai dengan tradisi atau budaya mereka.(*)

Prof A. Qodri Azizy Ph.D Penulis Buku "Change Management dalam
Reformasi Birokrasi

No comments:

A r s i p