Sunday, July 1, 2007


Absurditas Politik Indonesia

Oleh :

Amich Alhumami Peneliti Sosial, Research Institute for Culture and Development, Jakarta

Pertemuan dan silaturahmi politik sebagai awal pembentukan koalisi kebangsaan jilid II (?) antara Partai Golkar dan PDIP, yang diselenggarakan di Medan jelas menggambarkan gejala politik yang ganjil. Ini menunjukkan bahwa praktik politik di Indonesia tidak memiliki pakem yang baku, sehingga fenomena tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk absurditas politik. Istilah ini lazim digunakan untuk menjelaskan perilaku politisi dan partai politik yang di luar nalar publik dan tak sesuai dengan kaidah-kaidah dalam berpolitik.

Gejala absurditas politik ini bukan sesuatu yang baru sama sekali. Hal serupa dalam bentuk lain pernah terjadi menjelang pemilihan presiden oleh MPR tahun 1999. Ketika itu, PPP mengeluarkan fatwa politik haram memilih presiden wanita, untuk membendung langkah Megawati meraih jabatan presiden. Namun, pada Sidang Istimewa MPR tahun 2001, ketua umum PPP waktu itu, Hamzah Haz, justru dengan suka cita menerima jabatan wakil presiden mendampingi Megawati, yang diangkat menjadi presiden menggantikan Abdurrahman Wahid.

Setelah gagal mengantarkan Megawati menjadi presiden dalam Pemilu 2004, PDIP mengusung retorika oposisional dan menegaskan diri sebagai partai oposisi. Setelah koalisi dengan Partai Golkar putus-prematur karena Akbar Tandjung gagal mempertahankan jabatan ketua umum, PDIP memutuskan sendirian menjadi partai oposisi sehingga menjadi kelompok oposisi yang kese

Di bawah kepemimpinan Jusuf Kalla, Partai Golkar kemudian menjadi penyokong penuh pemerintahan Presiden Yudhoyono. Maka, muncul pertanyaan sederhana: bagaimana mungkin suatu partai yang membuat klaim sebagai kelompok oposisi bisa menjalin koalisi dengan partai pendukung pemerintah? Tentu, kita tak akan menemukan jawaban atas pertanyaan ini dalam literatur politik atau handbook of political science mana pun. Bahkan, tak ada nalar politik yang bisa menjelaskan gejala yang melampaui pemahaman paling sederhana sekalipun mengenai perilaku partai politik.

Motif kekuasaan
Mencermati perkembangan politik mutakhir, ada beberapa catatan penting yang perlu dikemukakan. Pertama, secara umum koalisi politik yang dibangun oleh partai-partai di Indonesia sama sekali tak mempertimbangkan preferensi politik, apalagi orientasi ideologi. Sebab, koalisi politik ternyata menghimpun partai-partai yang memiliki basis ideologi beragam, sehingga yang terbangun adalah rainbow coalition. Koalisi pelangi macam ini terlihat nyata dalam proses pemilihan kepala daerah di berbagai wilayah. Di tingkat nasional, PDIP yang beroposisi pada pemerintah, ternyata untuk kepentingan pilkada bisa menjalin koalisi dengan Partai Golkar dan Partai Demokrat, yang menjadi tulang punggung pemerintah. Bahkan persilangan koalisi itu tampak sangat ekstrem ketika PKS dan PDS menjalin aliansi taktis untuk mengusung calon yang sama dalam pilkada di wilayah Sulawesi Utara dan Papua.

Kedua, dengan karakteristik bangunan koalisi yang demikian itu, motivasi paling utama yang mendasari jalinan koalisi semata-mata adalah upaya untuk meraih kekuasaan dan menggenggamnya dengan erat agar dapat bertahan lebih lama. Dalam konteks demikian, kesamaan visi dan ideologi yang diangkat pada tataran wacana tak lebih sekadar retorika politik belaka. Bangunan koalisi semacam ini jelas mengabaikan platform, agenda, dan program masing-masing partai. Padahal, sinergi ketiga hal tersebut sangat penting dan menentukan daya tahan jalinan koalisi yang diperlukan untuk mendukung pemerintah berkuasa dalam pengambilan keputusan politik dan kebijakan publik. Maka, jangan heran bila partai-partai sesama anggota koalisi di parlemen justru sering berseberangan dengan pemerintah.

Ketiga, dalam partai politik tak ada pemain tunggal yang sepenuhnya dapat mengontrol political game, sehingga setiap tokoh secara leluasa melakukan manuver politik untuk kepentingan sendiri. Juga, tak ada pemegang otoritas tunggal yang menguasai sumber daya politik dan menjadi muara bagi kepemimpinan partai. Dalam kasus silaturahmi politik di Medan, sangat jelas betapa faksionalisme dalam tubuh Partai Golkar tetap bersemi sekalipun dalam bentuk lain. Di zaman Orde Baru, faksionalisme terbentuk berdasarkan unsur militer, birokrasi, dan politisi profesional (jalur ABG). Sedangkan faksionalisme era sekarang bermuara pada figur perorangan yang membangun political patronage, dengan basis kapital yang cukup kuat.

Secara sederhana, faksionalisme dalam tubuh Golkar mengerucut pada tiga figur sentral: Jusuf Kalla, Agung Laksono, dan Surya Paloh. Sangat jelas, ketiga figur ini sedang berupaya melakukan kapitalisasi politik dengan membawa agenda masing-masing untuk kepentingan Pemilu 2009. Sebagai saudagar-politisi, ketiga tokoh politik tersebut sedang melakukan power exercise dengan memanfaatkan instrumen politik yang mereka kuasai. Mengingat masing-masing figur memiliki basis modal yang relatif kuat, political game yang mereka mainkan kemungkinan akan berlangsung lama.

Keempat, sifat koalisi yang terbangun selama ini sangat longgar, terbuka, dan elastis, sehingga tak heran bila politik praktis tak ubahnya seperti pasar bebas di mana masing-masing pelaku pasar secara leluasa melakukan transaksi dan membuat deal politik sepanjang para pihak bersepakat soal harga dan kompensasi. Koalisi jenis ini sangat jauh dari gagasan ideal membangun persekutuan politik untuk kepentingan memuluskan agenda dan program kerja dalam suatu administrasi pemerintahan.

Belum beranjak
Bandingkan dengan pola koalisi yang dibangun Christian Democrat Union Party (CDU) pimpinan Angela Merkel, Kanselir Jerman, dengan Social Democratic Party (SPD), dan Christian Social Union (CSU) yang mengusung agenda reformasi ekonomi propasar, liberalisasi perdagangan, dan insentif pemotongan pajak yang dibarengi agenda kesejahteraan sosial. Jadi, yang mendasari bangunan koalisi adalah kesamaan dan kesepakatan mengenai agenda dan program kerja yang akan dilaksanakan oleh pemegang administrasi pemerintahan, dan bukan semata-mata urusan posisi politik, jabatan, atau kekuasaan.

Demikianlah, praktik politik di Indonesia tampaknya belum juga bergerak ke arah yang lebih baik. Para politisi mengumbar retorika bernada populis, namun praksis lapangan berlawanan dengan pesan-pesan retoris yang nyaring dikumandangkan. Partai politik yang seharusnya menjalankan fungsi agregasi dan artikulasi kepentingan publik, justru sekadar menjadi alat penopang mobilitas vertikal individu (politisi) yang bukan saja tak paham mengenai public affairs, melainkan juga berjarak dari konstituen yang menjadi sandaran politiknya. Politisi seperti ini bukan saja rapuh dari segi basis dukungan politik, tetapi juga tak punya padangan visioner. Tak heran, koalisi yang dibangun pun sekadar bertujuan menggapai kekuasaan dan membagi pos/jabatan politik layaknya sebuah firma keluarga. n Ikhtisar

- Langkah awal menuju koalisi Golkar-PDIP lewat pertemuan Medan merupakan gejala politik yang sangat ganjil.
- PDIP secara tegas telah menyatakan diri sebagai partai opisisi, tapi kemudian mau bergabung dengan Golkar yang menjadi partai berkuasa.
- Berdasar perjalanan politik yang terjadi selama ini, koalisi yang kerap terjadi lebih banyak dilakukan untuk kepentingan meraih kekuasaan, ketimbang memperjuangkan kepentingan masyarakat luas.
- Kondisi tersebut menggambarkan bahwa dinamika politik di Indonesia saat ini belum banyak mengalami kemajuan.

No comments:

A r s i p