Saturday, July 28, 2007

Menggugat Calon Independen

Menggugat Calon Independen

Oleh :Irgan Chairul Mahfiz

Sekjen DPP PPP

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan ketentuan pencalonan kepala daerah melalui partai politik atau gabungan partai politik bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menyatakannya tidak berkekuatan hukum, tidak sepenuhnya didasari keadilan.

Putusan itu pun menaikkan ketidakstabilan politik karena 15 provinsi akan menyelenggarakan pilkada sesudah putusan tersebut dikeluarkan, termasuk DKI Jakarta. Sekiranya pun pemerintah bersedia menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) sebelum DPR membuat ketentuan hukum baru, di hampir semua daerah akan terbentuk potensi konflik fisik. Massa pendukung pemilik modal yang ingin mencalonkan diri dalam pilkada akan memaksa segera terbitnya perppu dan ketentuan teknisnya, mengingat mengumpulkan tanda tangan dan fotokopi KTP sekian ribu warga memerlukan waktu dan energi. Padahal, di ujung terbarat dan tertimur Indonesia, masih ada ancaman separatisme.

Pada hampir semua daerah terlihat desentralisasi yang tidak efektif memakmurkan rakyat dan menciptakan keadilan. Rakyat juga kian terbebani biaya pendidikan, harga bahan pokok dan sebagainya. Padahal, pemerintah pusat dan DPR (partai politik) sedang dikejar waktu untuk persiapan pemilu dan pemilihan presiden tahun 2009, yang sisa waktunya justru lebih singkat dari persiapan Pemilu 2004.

Ketidakadilan dalam putusan MK tersebut sangat terasa. Mencermati kutipan Putusan MK RI dalam Pokok Permohonan butir 3.12 tentang keterangan para ahli dan saksi-saksi, sangat jelas semua pemberi keterangan/saksi adalah mereka yang tidak menyetujui proses pencalonan pilkada di partai, atau merasa menjadi korbannya. Sementara butir 3.12 dikutip lengkap untuk menguatkan argumentasi pembolehan calon perseorangan dan mendapat porsi identitas memadai, keterangan pemerintah dan DPR (butir 3.13 dan 3.14) hanya dikutip sekadarnya untuk menjelaskan pilkada di Aceh.

Tidak ada tempat untuk kesaksian wakil partai politik, yang menyelenggarakan proses pencalonan pilkada. Apakah ada tabayyun, atau cek ulang dan cek silang, terhadap partai-partai yang pernah didatangi saksi MK untuk pencalonan pilkada? Tidak pula dikutip keterangan DPR dan pemerintah untuk menjelaskan landasan politis, yuridis, dan sosiologis keputusan proses pencalonan harus melalui pintu partai atau gabungan partai.

Padahal, jika ada dua pihak bersengketa, maka keterangan keduanya harus didengarkan untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan pengambilan keputusan. Jika itu tidak ada dan tidak disengaja, maka setidaknya akan memunculkan kesan terburu-buru karena tidak menyediakan waktu dan ruang bagi kesaksian pengurus partai. Bisa pula karena agenda tertentu, seperti membuka jalan bagi pembolehan calon perseorangan dalam pemilihan presiden bagi kalangan politisi, hakim, dan kapitalis yang tidak memiliki partai saat ini.

Sebenarnya, ketidakadilan sudah muncul sejak pemunculan istilah calon independen, untuk menyebut mereka yang tidak berpartai. Padahal, semua calon yang disebut independen itu juga tidak sepenuhnya independen (bebas dan merdeka) dari kepentingan pribadi dan golongan, termasuk partai politik, bahkan politik uang (money politics) itu sendiri. Istilah itu pun mengandung contradictio in terminis (bertentangan dengan dirinya sendiri) karena tidak ada politisi atau tokoh yang benar-benar independen. Mereka mungkin tidak dicalonkan partai politik. Namun, bisa saja mereka termasuk elite partai yang berbeda sikap dengan pengambil keputusan di partai. Sinyalemen tadi terlihat pada konfigurasi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, yang meski resminya tidak dicalonkan partai, bahkan pengurus partai dilarang mencalonkan diri, ternyata banyak yang berafiliasi dengan partai politik.

Diakui, kinerja dan citra institusi politik tersebut masih jauh dari memuaskan, namun ada signifikansi keberadaan dan peran mereka bagi kesatuan dan kemajuan Indonesia. Sementara itu, meski partai adalah himpunan manusia yang pasti pernah berdosa dan tidak pernah akan sempurna, mereka pun terbukti mampu menjaga ideologi dan idealisme. Bahkan, MK sendiri mustahil terbentuk bila visi kenegarawanan partai politik tidak ada. Lewat wakilnya di MPR/DPR, MK terbentuk, dan partai tidak merasa dikebiri kekuasaannya karena ada penyeimbang atau penguji undang-undang. Masalahnya, saat ini kekuatan pasar mendominasi proses pengambilan keputusan di bidang politik, hukum, dan ekonomi. Yang paling berpeluang menjadi calon non-partai adalah yang mampu mengakumulasi dana dan modal, serta memiliki jaringan distribusinya. Padahal, suap-menyuap, korupsi, dan sejenisnya juga bisa terjadi pada siapa saja.

Sulit menghukum
Akibatnya, jangkauan partai/ parlemen untuk mengontrol dan meluruskannya kian sulit. Rakyat juga jauh lebih susah mengawasi kepala daerah dari calon perseorangan ketimbang partai. Bila dia korup, rakyat tidak punya kekuatan politik yang konstitusional dan sistemik untuk meluruskannya.

Berbeda dengan calon partai, rakyat bisa menghukum partai yang calonnya korup dengan tidak memilihnya dalam pemilu. Selain itu, kepala daerah atau pemerintahan dari kader partai masih harus menghadapi sistem muhasabah (pengawasan) di partai, selain mekanisme kontrol di DPR/ DPRD.

Sebagai pimpinan partai, penulis mengakui politik uang di partai belum dapat dihilangkan sepenuhnya. Namun, kasus-kasus itu seyogiayanya tidak digeneralisasi untuk menciptakan delegitimasi partai dan bahkan, deparporlisasi dalam semua aspek kehidupan. Apalagi, di sisi lain mekanisme pencalonan lewat partai juga bisa menghasilkan kepala daerah yang baik. Misal, pilkada Sumatera Barat.

Pada negara yang korup dan tidak ada perubahan mendasar, memperbanyak kemungkinan calon pejabat lewat perbanyakan jalur politik misalnya, hanya akan memperbanyak calon penerima suap. Menurut klasifikasi Susan Rose-Ackerman (2006) dalam Corruption and Government, negara itu berstatus suap kompetitif/korupsi bersaing (jika banyak penyuap). Korupsi bersaing, terdesentralisasi, dan berurat berakar akan menghambat perubahan.

No comments:

A r s i p