Sunday, July 15, 2007

Sejarah Tuturan Kekejaman Rezim Fundamentalis

Rusdi Marpaung

Phnom Penh awal November 2006 itu sungguh gerah. Terik matahari menyambut semua yang sibuk lalu lalang. Di penjara S-21, yang terletak di pusat ibu kota Kamboja itu, sekumpulan orang antre di loket untuk menyaksikan salah satu artefak kekejaman rezim Pol Pot. Pemandu wisata berulang kali mengatakan kepada para tamu agar tidak gaduh atau bersenda gurau karena akan mengganggu ketenteraman arwah ribuan penghuni penjara yang tewas sekitar 30 tahun silam.

Saya ingat, saya tidak bisa tidur semalaman setelah memotret gundukan tengkorak, ruang penyiksaan, tumpukan pakaian, sepatu, bahkan mainan para korban. Ingatan saya tentang cerita kekejaman rezim Khmer Merah makin terang ketika membaca terjemahan memoar Pin Yathay, Pertahankan Hidupmu Anakku.

Ia berhasil selamat dari ladang pembantaian yang menelan korban sedikitnya 1,4 juta jiwa. Seluruh keluarga besar insinyur sipil lulusan Kanada ini, termasuk tiga anak dan istrinya, ikut tewas. Penuturannya yang halus dan penuh perasaan tak hanya amat mengharukan, tetapi juga mampu mengungkap dengan jernih situasi di Kamboja pada masa transisi kekuasaan (1975-1979).

Khmer Merah berkuasa

April 1975 pasukan Khmer Merah menguasai Phnom Penh setelah 20 tahun lebih berjuang di bawah tanah melawan rezim otoriter Lon Nol yang pro-Amerika. Kekuasaan berganti, situasi berbalik 180 derajat. Segera setelah berkuasa, Khmer Merah secara sistematis menyingkirkan nyaris segala simbol peradaban: mata uang, pasar, sekolah, kantor, lembaga peradilan, lembaga keagamaan, juga seluruh hak milik pribadi seperti rumah, mobil, perhiasan, hingga buku dan majalah.

Para pemimpin Khmer Merah, penganut fanatik Marxisme-Leninisme, rupanya punya rencana besar. Mereka berambisi untuk menciptakan tatanan sosial baru yang lebih adil dalam waktu sesingkat-singkatnya. Caranya antara lain dengan membagi masyarakat dalam dua golongan besar: Rakyat Lama dan Rakyat Baru.

Yang pertama, kelompok bagi rakyat tani yang proletar. Sementara yang kedua untuk warga kota terpelajar yang borjuis. Menurut anggapan mereka, kaum borjuis harus "dimurnikan" dan "dididik", malah bila perlu disingkirkan. Rezim Khmer Merah juga ingin mencapai kemakmuran tanpa bantuan asing, antara lain dengan segera melipat tiga hasil pertanian nasional. Untuk itu, seluruh kekuatan rakyat perlu dikerahkan dan dikendalikan secara ketat.

Pada awalnya rencana itu sama sekali tidak diketahui rakyat Kamboja. Sebagian besar rakyat, termasuk Yathay, percaya bahwa tentara berseragam bersahaja serba hitam, bersandal karet ban, dan berperilaku sopan itu adalah pasukan penyelamat.

Rakyat Kamboja memang sudah muak dengan pemerintahan otoriter dan korup rezim Lon Nol yang berkuasa sejak 1970. Itu sebabnya ketika Angkar Padevat (Organisasi Revolusioner)—begitu Khmer Merah menyebut diri mereka—memerintahkan untuk segera mengosongkan ibu kota pada 17 April 1975, warga Phnom Penh yang berjumlah sekitar dua juta jiwa masih tenang. Mereka umumnya percaya pada informasi Angkar bahwa hal itu dilakukan untuk menghindari serangan bom Amerika dan dalam waktu tiga hari akan kembali ke rumah masing-masing. Hal serupa terjadi juga di berbagai kota lain.

Kehilangan istri

Pengungsian besar-besaran pun terjadi. Yathay bersama keluarga besarnya yang berjumlah 18 orang—tiga orang berusia lanjut, delapan orang dewasa, dan tujuh anak-anak—bergerak menuju ke selatan menggunakan mobil, motor, dan sepeda. Kendati situasi tidak menentu, waktu itu Yathay masih optimistis. Bila anak-anak dan keponakannya mulai bertanya gelisah, ia menjawab bahwa mereka hanya akan "liburan beberapa hari...".

Lambat laun mulai terungkap bahwa pernyataan Angkar hanya tipuan belaka. Lewat tiga hari para pengungsi tidak diperbolehkan kembali ke rumah masing- masing dan terus dihalau menuju pedalaman. Semua barang bawaan mereka dirampas dengan dalih demi kepentingan Angkar.

Tidak ada lagi perbedaan antara yang kaya dan yang miskin. Warga kota yang tidak biasa kerja otot dipaksa menjadi buruh tani dan tinggal di kamp-kamp yang kondisinya buruk. Mereka yang membangkang akan disiksa atau malah dibunuh oleh kader-kader Khmer Merah. Hasilnya bisa diduga, panenan di seluruh negeri gagal total sehingga kelaparan pun merajalela. Dalam dua tahun di bawah kendali Angkar, negeri Kamboja berubah menjadi "neraka".

Yathay beserta rombongannya terus berupaya bertahan hidup bersama-sama. Mereka dipaksa pindah dari satu kamp ke kamp lain hingga akhirnya sampai di hutan pegunungan provinsi Pursat yang masih buas. Seperti kebanyakan yang lain, kondisi keluarga Yathay amat memprihatinkan. Kerja paksa yang kelewat batas, kondisi kesehatan dan gizi yang buruk, serta tekanan mental yang hebat membuat mereka satu per satu tumbang. Kurang dari dua tahun tinggal tiga orang yang hidup: Yathay, Any, istrinya, dan Nawath, yang baru berusia enam tahun.

Yathay terus berusaha bertahan di kamp hingga akhirnya ia memutuskan melarikan diri ketika dituduh sebagai kaum "borjuis". Ia terus teringat pesan terakhir ayahnya, "Hati-hati anakku, pergilah sekarang. Pertahankan hidupmu Anakku. Pertahankan hidupmu" (hal 186). Daripada dibunuh tentara Khmer, ia memilih menembus rimba-raya dan melintasi pegunungan menuju ke Thailand bersama istrinya, Any. Keputusan tersebut teramat berat karena mereka harus meninggalkan Nawath kepada seseorang yang baru mereka kenal.

Penderitaan Yathay belum tamat. Dalam pelariannya, ia harus kehilangan istrinya. Selama dua bulan ia sendirian menembus hutan belantara hingga akhirnya berhasil keluar di Mai Rut, Thailand, pada 22 Juni 1977. Ketika itu kondisi tubuhnya tinggal tulang berbalut kulit.

Pada 13 Oktober 1977 Yathay terbang ke Paris dan menjadi juru bicara untuk mewartakan keadaan sesungguhnya di Kamboja. Ia terus mengimbau masyarakat dunia bahwa "cita-cita indah mengenai keadilan dan kesetaraan derajat bisa diputarbalikkan oleh kaum fanatik menjadi penindasan paling bengis dan malapetaka umum".

Sejarah tuturan

Selain berhasil mengungkap salah satu sisi terkelam dalam peradaban manusia, buku ini memperkaya khazanah pendekatan sejarah tuturan (oral history), terutama sejarah kekejaman negara. Seperti ditulis David Chandler, ilmuwan politik Cornell University, karya Yathay tampil lebih santun, lebih kaya rasa, dan kurang bersifat hitam putih, dibanding sekian banyak memoar lain yang ditulis oleh segelintir keturunan elite Kamboja pada 1970-an (hal xvii).

Lalu, pelajaran apa yang bisa ditarik untuk konteks Indonesia? Ditegakkannya keadilan dan perjuangan melawan benteng impunitas, seperti yang disuarakan Yathay, saya rasa merupakan harapan bersama seluruh masyarakat di dunia, termasuk Indonesia. Pembantaian massal 1965 dan berbagai pelanggaran HAM berat lain di masa Orde Baru seperti terjadi di Aceh, Papua, Timor Leste, juga kasus pembunuhan politik pembela HAM, Munir, belum terungkap jelas. Barangkali buku-buku yang ditulis dengan jujur dan jernih oleh para korban kekerasan negara, seperti buku ini, bisa membantu menyingkap berbagai tabir misteri yang menyelimuti berbagai kasus tersebut.

Rusdi Marpaung Direktur Operasional The Indonesian Human Rights Monitor

No comments:

A r s i p