Monday, July 2, 2007

Polisi yang Membuat Rasa Aman

Marwan Mas

Coreng hitam wajah Kepolisian Negara Indonesia sering lebih menonjol diungkap ke ruang publik ketimbang berbagai keberhasilannya.

Mengapa? Karena polisi adalah lembaga vital yang mengayomi, melindungi, sekaligus menegakkan hukum. Memang bukan masalah mudah memberi rasa aman kepada masyarakat. Selain butuh kualitas sumber daya, juga dibarengi etos kerja yang andal.

Meningkatnya rasa tidak aman bisa memicu reaksi untuk menolong diri sendiri. Jika ini yang menonjol, akan terjadi "main hakim sendiri" sebagai reaksi kelambanan polisi bertindak.

Kasus bunuh diri polisi atau menembak mati atasan, seperti terjadi di Semarang (14/3/2007), adalah bukti lemahnya pembinaan. Sepanjang Januari-Mei 2007, minimal ada enam kasus kekerasan senjata yang menewaskan polisi. Hal itu menambah panjang sejarah kelam lembaga kepolisian. Kekerasan itu tidak lepas dari pola rekrutmen, kenaikan pangkat, atau promosi jabatan yang koruptif.

Diskresi polisi

Profesi polisi di era peradaban modern begitu unik, sekaligus berat. Polisi harus berada selangkah di depan masyarakat.

Berbagai ancaman dan bentuk kejahatan yang dihadapi tidak selamanya persis seperti teori di buku. Karena itu, polisi butuh pragmatisme hukum dalam menjalankan tugas.

Polisi diberi wewenang "diskresi" sebagai parameter kebijakan untuk menyeimbangkan dua kepentingan berbeda dalam kehidupan masyarakat. Diskresi demi kepentingan umum dapat dilakukan pada saat berdinas dan di luar jam dinas dengan pendekatan akuntabilitas, integritas, dan tetap dalam bingkai hukum.

Agar masyarakat merasa aman, tidak boleh ada konflik yang lepas dari pantauan polisi dan persoalan kecil tidak boleh berkembang menjadi besar. Setiap personel polisi berwenang mengambil keputusan sendiri yang tidak boleh ditunda-tunda.

Itulah yang membedakan aparat hukum dengan yang lain dalam menjalankan tugas. Seorang jaksa punya waktu luang mempelajari perkara sebelum melakukan penuntutan. Hakim selalu ada ruang dan waktu yang cukup untuk memeriksa dan memutus perkara. Begitu pula pengacara, cukup waktu menelaah perkara untuk membela klien.

Diskresi juga bisa lahir saat seorang diri menghadapi masalah kamtibmas yang butuh pengambilan keputusan cepat. Misalnya, saat berada di pertokoan, tiba-tiba ada yang berteriak kecopetan atau disandera penjahat.

Dalam kondisi demikian, dia harus segera bertindak tanpa harus berembuk atau meminta pendapat atasannya. Waktu antara pengambilan keputusan dan bertindak amat sempit agar pelaku tidak kabur atau menimbulkan korban.

Begitulah keunikan profesi polisi yang kadang seperti mengarungi hutan belantara. Malah ada ungkapan polisi, "kaki kanan di kuburan, kaki kiri di penjara". Lambat mengambil keputusan, siap-siaplah menjadi korban atau tugas gagal yang berakibat korban jatuh dari kalangan masyarakat. Untuk itu, diskresi yang dilakukan harus mengarah pada pemenuhan rasa aman bagi kehidupan masyarakat.

Membangun citra

Kritik dan kecaman tidak boleh meruntuhkan semangat dan motivasi polisi untuk terus berkarya. Demi citra yang baik, polisi harus meyakinkan rakyat dengan kerja profesional.

Pelayanan dan perlindungan yang diberikan tidak boleh didasarkan senang atau tidak senang, tetapi pada profesionalitas. Mungkin saja persepsi demikian berkembang dalam masyarakat, tetapi pelayanan polisi hendaknya tidak dipolakan seperti itu.

Rasa tidak senang juga sering dialami aparat kepolisian yang acap dipengaruhi image masyarakat atas kinerjanya. Karena itu, setiap personel polisi harus pandai-pandai membangun image. Sekali image rusak, butuh waktu lama memulihkannya.

Profesionalitas, kemandirian, dan kemampuan meyakinkan masyarakat merupakan modal dasar untuk membangun citra. Ketertiban dan penegakan hukum tidak mudah ditata bersamaan di masyarakat yang kompleks, apalagi menggunakan upaya paksa.

Unsur subyektif lebih sering menonjol dalam menilai kerja polisi. Dapat dilihat upaya Detasemen Khusus 88 saat menangkap Abu Dujana, tertuduh salah satu gembong teroris. Malah DPR mengirim surat protes kepada Kepala Polri karena penangkapan dengan menembak kaki Abu Dujana dinilai menyalahi prosedur.

Salah prosedur harus diproses, tetapi kecaman berlebihan merupakan sikap ambigu di tengah ketakutan publik atas aksi-aksi teroris. Jika bom meluluhlantakkan gedung dan menewaskan orang tak berdosa, polisi didesak untuk segera mengungkap dan menangkap pelaku.

Upaya membangun citra bukan hanya dilandasi profesionalitas yang tinggi, tetapi juga menjadikan masyarakat sebagai mitra. Meski demikian, ini masih sulit dicapai karena profesionalisme butuh standar normatif, seperti penggajian, perlengkapan kerja, jumlah personel, rekrutmen yang baik, integritas, dan pembinaan personel.

Prinsip "senyum, sapa, dan salam" saat melayani masyarakat perlu terus digelorakan. Karena selain menumbuhkan rasa aman, juga dapat mempererat hubungan diametral antara polisi dan masyarakat yang dilayani dan ditertibkan. Dirgahayu Kepolisian Negara Indonesia!

Marwan Mas Analis Hukum dan Direktur Pascasarjana Universitas 45, Makassar

No comments:

A r s i p