Monday, July 2, 2007

Ada "Hantu" di Pilkada Kita

Muhammad Qodari

Kosa kata dalam politik Indonesia diramaikan dengan istilah "pemilih hantu" atau ghost voter. Istilah pemilih hantu sebenarnya sudah muncul sejak pemilu legislatif dan pemilu presiden tahun 2004. Namun, istilah ini baru populer melalui Pilkada DKI Jakarta.

Istilah pemilih hantu mengacu pada nama-nama pemilih yang menurut daftar pemilih yang dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) berhak untuk memilih, tetapi setelah dicek ternyata tidak memenuhi syarat sebagai pemilih karena aneka alasan.

Dalam Pilkada DKI Jakarta, audit daftar pemilih pilkada yang dilakukan LP3ES dan NDI pada 13-17 Juni 2007, misalnya, menemukan, 20,8 persen pemilih di daftar pemilih sementara (DPS) yang dikeluarkan KPU DKI Jakarta tidak memenuhi syarat sebagai pemilih.

Mengapa tidak memenuhi syarat sebagai pemilih? Alasannya antara lain, pemilih telah pindah alamat (46,3 persen), nama tidak dikenal warga sekitar (33,9 persen), dan alamat tidak dikenal (15 persen). Sementara 2,9 persen pemilih terdaftar sudah meninggal, dan 1,9 persen tidak berhak memilih.

Angka 20,8 persen ini, jika benar dan diproyeksikan pada total pemilih DKI Jakarta yang sementara berjumlah 5,6 juta, tentulah amat signifikan. Implikasi pertama terkait warga DKI yang bisa kehilangan hak pilihnya karena tidak terdaftar dengan benar.

Implikasi kedua, akan ada sekitar 1,1 juta lebih surat suara (20,8 persen dari 5,6 juta surat suara) yang dicetak KPUD yang tidak ada orangnya.

Surat suara sebanyak 1,1 juta ini selain pemborosan dana logistik pemilu, juga rawan terhadap kemungkinan manipulasi atau kecurangan pilkada. Jika ada salah satu calon yang memiliki akses terhadap surat suara tak bertuan ini, surat suara itu bisa dicoblos untuk calon. Kecurangan semacam ini akan amat menentukan pemenang pilkada, apalagi jika selisih suara antara calon yang berkompetisi tidak terlalu jauh satu sama lain.

Nilai politis

Sebenarnya, persoalan pemilih hantu dalam proses pendataan dan pendaftaran pemilih pada pemilu dan pilkada bukan hal baru. Masalah ini sudah lama diidentifikasi oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan pengamat pemilu sebagai salah satu kelemahan dan persoalan mendasar yang belum ditemukan solusi komprehensifnya dalam pelaksanaan pilkada secara nasional.

Persoalan ini baru terasa gaungnya pada Pilkada DKI, mengingat tingginya nilai politis provinsi DKI Jakarta dan adanya riset oleh lembaga independen, seperti National Democratic Institute (NDI) dan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Tidak banyak tempat yang memiliki "kemewahan" untuk mendapatkan audit pemilih oleh lembaga semacam LP3ES dan NDI sehingga bisa dijadikan dasar untuk mempersoalkannya secara empiris.

Mungkin KPUD DKI benar telah melaksanakan semua tahapan pendaftaran pemilih yang diatur UU No 32/2003 dan PP No 6/2005 sebagai aturan pelaksanaan pilkada secara nasional. Persoalan 20,8 persen pemilih hantu dan adanya 22,2 persen orang yang berhak memilih, tetapi tidak tercantum dalam DPS (ini temuan lain dari audit LP3ES dan NDI) lebih disebabkan oleh aturan pendaftaran dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2005 yang kurang sempurna.

Pasal 19 dari PP itu mengatur, daftar pemilih yang digunakan untuk pilkada, berasal dari daftar pemilih pemilu terakhir yang dimutakhirkan dan divalidasi, ditambah daftar pemilih tambahan untuk dijadikan bahan penyusunan daftar pemilih sementara. Dari pasal ini terlihat masalah, semakin jauh pilkada di satu daerah dari pemilu terakhir, semakin besar dan rumit upaya pemutakhiran, validasi, dan penambahan karena perubahan penduduk kian besar, apalagi untuk kota besar seperti Jakarta yang mobilitas penduduknya tinggi.

KPUD atau Dukcapil?

Persoalannya yang sesungguhnya baru tampak jika kita mencermati praktik pemutakhiran dan validasi yang dilakukan terhadap daftar pemilih Pemilu 2004. Pada kenyataannya, yang melakukan ini bukan KPUD sendiri, tetapi Dinas/Badan Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil). Problem bisa muncul tergantung cara dan implementasi pemutakhiran dan validasi oleh Dukcapil yang merupakan bagian dari pemerintah daerah.

Saya tidak tahu persis apa yang dilakukan Dukcapil DKI, namun salah seorang teman yang kebetulan menjadi ketua KPUD bercerita, yang dimaksud dengan pemutakhiran oleh Dukcapil itu tidak terlalu mendalam dan bukan verifikasi (sensus) ulang terhadap data pemilih di lapangan. Dukcapil hanya memindahkan (switch) data pemilu terakhir yang dulu disiapkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dari format blok sensus ke format RT/RW. Data itu kemudian dicetak dan didistribusikan kepada camat dan kepala desa/kelurahan yang mengundang RT/RW untuk melakukan "cok-lit" (pencocokan dan penelitian) dengan data yang dipegang RT/RW.

Dengan ilustrasi itu, tampaknya problem pendataan pemilih akan selalu hadir di pilkada di mana pun di Indonesia selama metode pendataan pemilih masih berupa pemutakhiran serta validasi, bukan sensus yang turun ke lapangan dan mengumpulkan data penduduk secara cermat.

Kembali pada kasus di DKI Jakarta. KPUD memang serba salah. Di satu sisi ia merasa telah menjalankan semua tahapan menurut UU dan PP. Di sisi lain ia tidak bisa menutup mata bahwa DPS yang ada tidak akurat.

Persoalan ini harus diselesaikan dengan tuntas dan disepakati semua pihak, termasuk calon kepala daerah dan partai pendukung, sebelum tahapan pilkada berikutnya dilanjutkan. Jika tidak, hasil akhir pilkada bisa memunculkan masalah baru, misalnya kerusuhan, yang tentunya tidak kita inginkan.

Muhammad Qodari Direktur Eksekutif, Indo Barometer, Jakarta

No comments:

A r s i p