Tuesday, July 3, 2007

Reformasi Tanpa Pikiran Besar

Sugeng Bahagijo

Benarkah 10 tahun reformasi di Indonesia hanya menjadi "sejarah tanpa perubahan"? Apa yang hilang dalam reformasi kita?

Memang, tidak semua "hilang" dalam 10 tahun reformasi. Sistem perpajakan dan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial diperbaiki. Desentralisasi merupakan keputusan politik dan kebijakan publik amat bernilai dari rezim reformasi. Pun banyak lahir pemimpin muda dan visioner di daerah, dari Wali Kota Makassar hingga Bupati Jembrana. Banyak pelayanan kepada publik telah diperbaiki.

Namun, banyak yang merasakan, 10 tahun reformasi, Indonesia masih tampak berat bagi warganya. Pendidikan dan kesehatan masih mahal. Harga sembako (minyak dan beras) masih terlalu tinggi.

Tajuk Kompas (29/6), "Menggugat Reformasi", lalu terasa penting. Dan yang diprihatinkan adalah mengapa politik kita hanya tertuju kepada kekuasaan dan hak istimewanya, lalu melupakan tanggung jawabnya kepada kemajuan bangsa, sementara kemiskinan dan pengangguran sebagai masalah utama tak terselesaikan.

Ini tidak kebetulan. Dua hari sebelumnya, dalam sambutan di depan Konferensi Kebijakan Sosial yang diselenggarakan Prakarsa, di Jakarta, Wapres Jusuf Kalla menyatakan, "Sepuluh tahun Indonesia tidak mengajukan pikiran besar." Wapres mengatakan, kita tidak membangun bidang-bidang yang amat diperlukan, seperti pengairan dan infrastruktur. Kita menghabiskan banyak waktu untuk berdebat dan politik.

Politik reformasi yang mandul

Mengapa politik Indonesia pascareformasi menjadi mandul?

Pertama, politik nasional pascareformasi masih ditawan beban masa lalu, tampak dari berbagai warisan utang yang berat (BLBI) dan terus diturunkan dari Presiden Habibie hingga SBY-JK. Kegagalan politik reformasi untuk membuat penyelesaian yang fair telah merugikan ekonomi dan anggaran masa kini serta masa depan. Elite politik tidak menyadari, kegagalan ini menyebabkan biaya fiskal yang berat, jauh lebih berat ketimbang biaya fiskal yang ditanggung Pemerintah AS pasca-Depresi Besar tahun 1930-an (Griffith-Jones dan Gottschalk, 2006).

Kedua, politik kita masih terlalu buta terhadap ekonomi internasional. Politik kita terlambat menyadari, ada yang disebut soft power atau productive power oleh berbagai lembaga keuangan internasional yang secara aktif memasok aneka kebijakan ekonomi nasional. Politik kita terlalu good boy tanpa daya menyeleksi mana yang baik bagi national interest kita. Akibatnya, politik kita mudah menyerahkan urusan kepada nasihat-nasihat kebijakan (policy advice) lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia, yang tidak selamanya cocok dengan kebutuhan nasional. Seharusnya, politik nasional mampu berunding, bernegosiasi, dan mencari konsesi terbesar. Ini berbeda dengan zaman awal Orde Baru saat pemerintah berhasil mendapat peringanan besar atas utang masa lalu melalui diplomasi ekonomi aktif Presiden Soeharto dan tim Widjojo ke negara-negara Barat.

Ketiga, banyak politisi kita terlalu bersukaria dengan kenikmatan sesaat kekuasaan dengan segala manfaat dan hak istimewa, lalu lupa diri dengan investasi politik berupa kebijakan teknis. Ini tampak dari tidak adanya analisis dan usulan kebijakan oleh berbagai litbang parpol, juga dari kualitas dialog dan debat di parlemen tentang APBN, pendidikan, kesehatan, dan lainnya. Elite dan parpol di negara mana pun umumnya tidak berhenti pada retorika, tetapi memahami dan menyusun aneka kebijakan publik. Di Inggris, Partai Buruh bangga karena mampu memperkenalkan dan menyusun sistem jaminan kesehatan nasional (NHS). Di Skandinavia, para politisi bangga karena dapat menyusun sistem kesejahteraan sosial (welfare state). Di Korea Selatan—pascakrisis ekonomi—Kim Dae-jung diakui sebagai pencipta sistem kesejahteraan sosial yang luas dan bagus di bawah DJ Welfarism.

Memang, faktor utama yang tidak menguntungkan para politisi kita pascareformasi adalah krisis ekonomi 1997. Peralihan politik membuat PR kaum reformis menjadi ganda, mengantar transisi sekaligus memulihkan ekonomi, sementara berbagai kepentingan keuangan internasional juga turut bermain.

Politik kesejahteraan

Bagaimana mengatasinya? Bagaimana memastikan politik pascareformasi menjadi produktif dan menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan?

Pertanyaan sulit dijawab meski tetap merupakan perkara yang kita semua perlu mencari jawabannya. Ada hal besar yang menjadi taruhan. Jika demokrasi kita gagal mengatasi kemiskinan dan pengangguran, legitimasi rezim reformasi akan menjadi pertanyaan dan gugatan. Seperti dikatakan Wapres, jika kita tidak berhasil mengatasi kemiskinan, rakyat akan marah, "buat apa berdemokrasi kalau tetap miskin".

Tampaknya, pada tingkat idea, politik dan demokrasi kita harus kembali menemukan visi dan tujuan yang lebih besar, yakni kemajuan bangsa (nation building) dan kemajuan warga negara (society welfare). Politik partisan hanya bisa diterima sejauh dia mengajukan pikiran-pikiran besar dalam upaya menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan umum.

Hans Antlov (2007), ahli politik Indonesia, menyarankan agar Indonesia menjadi negara-yang-kuat sekaligus negara-yang-demokratis. Negara kuat diperlukan guna menghadapi arus besar globalisasi dan pasar bebas. Negara demokratis diperlukan sebagai cara mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi (power tends to corrupt).

Pada tingkat praksis, elite politik kita harus diingatkan agar mereka menjadi elite yang sebenarnya. Dengan berbagai fasilitas yang elite, elite kita harus mampu memiliki gagasan dan usulan kebijakan.

Semestinya, elite politik kita mampu mengajukan berbagai data, informasi, dan analisis. Litbang-litbang parpol harus aktif dan hidup sebagai dapur kebijakan, dari hal makroekonomi hingga kebijakan sosial seperti Jamsostek dan Asuransi Kesehatan. Elite politik kita perlu tahu konsekuensi APBN yang defisit dan APBN yang surplus serta memahami mengapa pertumbuhan ekonomi dan belanja sosial sama-sama penting. Elite politik juga harus aktif merumuskan cara mengurangi utang dan menaikkan belanja sosial.

Dengan singkat, elite politik kita benar-benar harus bekerja keras untuk memahami dan menguasai hal-hal teknis kebijakan. Hanya dengan bekal itu, mereka layak menjadi elite, layak bersaing satu sama lain, dan mencapai konsensus kolektif tentang kebijakan publik. Hanya dengan jalan itu, politik pascareformasi dapat meraih kembali kepercayaan dan legitimasinya di mata rakyat dan pemilih.

Sugeng Bahagijo Associate Director Perkumpulan Prakarsa

No comments:

A r s i p