Monday, July 30, 2007

Pascakeputusan MK

Kegembiraan dan harapan kelompok massa mengambang, sikap menahan diri dari pengurus Komisi Pemilihan Umum Daerah atau KPUD, dan kegamangan partai politik di sejumlah daerah bertemu. Arus yang amat berbeda itu mengalir bersamaan menyusul Keputusan Mahkamah Konstitusi pada 23 Juli 2007 yang membenarkan perseorangan mengajukan diri sebagai calon kepala daerah.

Arus pertama antara lain terlihat di Maluku Utara, provinsi yang akan memestakan pemilihan gubernur pada 25 Oktober mendatang. Kegembiraan dan harapan tercermin dari obrolan kelompok mahasiswa dan warga di sejumlah warung kopi di Ternate, pekan lalu, tentang kemungkinan hadirnya calon perseorangan.

Keinginan mendaftarkan calon perseorangan untuk Pilkada Maluku Utara pun mulai santer meski jadwal pendaftaran sudah ditutup. Toh argumentasi untuk mengetuk pintu masih ada, seperti yang diuraikan Husen Alting, dosen Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate.

Menurut dia, pendaftaran tetap mungkin karena KPUD masih memverifikasi, belum menetapkan pasangan calon peserta pilkada. Adapun persoalan administrasi seperti formulir tidak bisa menggugurkan hak konstitusional seseorang.

Semangat mendukung putusan MK juga meruap di Sulawesi Selatan (bahkan sebelum MK mengetuk palu fatwa). Rektor Universitas Hasanuddin Makassar Idrus Paturusi, misalnya, mendorong dosen-dosen berpengalaman manajerial dan visioner untuk maju dalam pilkada. Sulsel yang bakal menggelar pemilihan gubernur pada 5 November 2007 bahkan telah "memiliki" satu pasangan calon independen, yaitu Sahel Abdullah dan Ari Lantara.

Waktu yang sempit antara putusan MK dan hari pencoblosan tidak mematahkan semangat Sahel. Menurut Sahel, ia ingin mengubah paradigma berpikir masyarakat bahwa tidak hanya dengan parpol seorang kandidat bisa maju dalam pilkada.

Berbeda dari sebagian massa yang hangat bersemangat, pengurus KPUD menanggapi keputusan tentang calon independen dengan dingin. Sebagai contoh, pengurus KPUD di Maluku Utara, Sulsel, dan Kalimantan Barat yang sibuk menyiapkan puncak pilkada pada tiga-empat bulan ke depan lebih bersikap pragmatis.

Bagi KPUD, yang terpenting adalah ada tidaknya aturan pelaksana dari keputusan MK tersebut. Aturan seperti itulah yang bakal menjadi patokan KPUD untuk mengakomodasi calon independen atau sebaliknya.

“Problem kami sebagai penyelenggara adalah regulasi teknis. Kalau ada aturan teknis yang memberi peluang calon independen mendaftar, kenapa tidak? Kami akan menerima," ujar Ketua KPU Maluku Utara Rahmi Husen.

Sikap senada diutarakan anggota KPU Kalbar Nazirin. Kalbar akan menggelar pemilihan gubernur pada 15 November 2007.

Di Makassar, Ketua KPU Sulsel Mappinawang juga mengakui adanya kekosongan hukum untuk mengejawantahkan putusan MK. "KPU juga tidak memiliki kewenangan untuk membuat peraturan soal calon independen karena kelembagaan KPU tidak jelas," tuturnya.

Secara pribadi, dia menilai putusan MK membuka keran demokrasi menjadi lebih deras. KPU Sulsel tetap membuka peluang bagi calon independen, tetapi mereka tetap harus mengikuti jadwal tahapan.

Hanya saja, karena belum ada undang-undang atau perpu pengganti Pasal 5 Ayat 1 yang dihapus oleh MK, Mappinawang menilai peluang calon independen untuk terus mengikuti tahapan pilkada akan sulit.

Kritis

Dalam kutub yang berseberangan, kalangan partai politik bersikap kritis terhadap keputusan MK. Sebagai contoh, Sekretaris Umum Dewan Pimpinan Wilayah Partai Keadilan Sejahtera Jawa Barat Yudi Widiana mengakui akan timbul semacam delegitimasi partai dalam konteks politik.

Namun, Yudi menjamin DPW PKS Jabar tetap menghormati keputusan MK. "Kami tidak menjadikan wadah partai melulu hanya untuk kekuasaan. Kami ingin menekankan pada aktivitas masyarakat." katanya.

Pernyataan lebih lugas disampaikan Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar Syamsul Ma’arif. Menurut dia, keputusan MK tentang calon perseorangan tidak relevan karena MK hanya memakai pilkada di Nanggroe Aceh Darussalam sebagai referensi.

"Di NAD, pemilihan kepala daerah yang membolehkan calon perseorangan terjadi karena situasi politik di NAD mendukung. Dan, itu hanya untuk satu kali pelaksanaan pemilihan kepala daerah," kata Syamsul,.

Menurut dia, keputusan MK akhirnya hanya akan didukung oleh masyarakat yang selama ini tidak bergabung dalam parpol atau golput.

"Kami menilai keputusan MK tidak terlalu relevan sehingga Partai Golkar akan melakukan pengkajian kembali atas keputusan MK itu," kata Syamsul.

(BAY/HLN/ANG/WHY/NAR/DOE)

No comments:

A r s i p