Monday, July 23, 2007

MK BUKA PELUANG CALON INDEPENDEN DALAM PILKADA

Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan sebagian pasal dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) yang hanya memberi kesempatan kepada partai politik atau gabungan partai politik dan menutup hak konstitusional calon perseorangan (independen) dalam Pilkada bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini dinyatakan dalam sidang pengucapan putusan perkara Nomor 5/PUU-V/2007 yang diajukan Lalu Ranggalawe, Senin (23/7).

Pasal-pasal yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tersebut antara lain: Pasal 56 ayat (2) yang berbunyi, ”Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik”; Pasal 59 ayat (1) sepanjang mengenai frasa “yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik”; Pasal 59 ayat (2) sepanjang mengenai frasa ”sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”; Pasal 59 ayat (3) sepanjang mengenai frasa “Partai politik atau gabungan partai politik wajib”, frasa ”yang seluas-luasnya”, dan frasa “dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud”.

Lalu Ranggalawe, anggota DPRD Kabupaten Lombok Tengah yang mengajukan permohonan ini, sebagaimana diungkapkannya dalam permohonan, menganggap UU Pemda khususnya Pasal 56 ayat (2), Pasal 59 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) huruf a, dan (5) huruf c, ayat (6) dan Pasal 60 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), telah menghilangkan makna demokrasi yang diamanatkan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.

Pasal-pasal tersebut menurut Lalu hanya memberikan hak kepada parpol atau gabungan parpol untuk mengusulkan/mengajukan pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dan sama sekali menutup peluang bagi pasangan calon independen. Lalu juga mengaitkan dengan dibolehkannya calon independen di daerah Nanggroe Aceh Darussalam [Pasal 67 ayat (1) huruf d UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU Pemerintahan Aceh)].

Menanggapi hal tersebut, dalam pertimbangan hukum putusan, MK menjelaskan bahwa ketentuan yang terdapat dalam Pasal 67 ayat (1) huruf d UU Pemerintahan Aceh yang membuka kesempatan bagi calon perseorangan dalam proses pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah memang tidak bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945.

Menurut MK, pemberian kesempatan kepada calon perseorangan bukan merupakan suatu perbuatan yang dilakukan karena keadaan darurat ketatanegaraan yang terpaksa harus dilakukan, tetapi lebih sebagai pemberian peluang oleh pembentuk undang-undang dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah agar lebih demokratis. Dengan kata lain, pembentuk undang-undang, baik dalam merumuskan Pasal 56 ayat (1) UU Pemda maupun Pasal 67 ayat (2) UU Pemerintahan Aceh tidak melakukan pelanggaran terhadap Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945.

Karenanya, MK berpendapat bahwa pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara perseorangan di luar Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam haruslah dibuka agar tidak terdapat adanya dualisme dalam melaksanakan ketentuan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 karena adanya dualisme tersebut dapat menimbulkan terlanggarnya hak warga negara yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945.

Akan tetapi, maksud dan tujuan tersebut tidaklah dapat dicapai dengan cara MK mengabulkan seluruh permohonan Pemohon. Karena cara demikian akan menimbulkan pengertian bahwa pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh parpol juga bertentangan dengan UUD 1945. Padahal, yang dimaksudkan adalah pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah selain melalui parpol, juga harus dibuka melalui pencalonan secara perseorangan.

Terkait dengan itu, MK pun menegaskan bahwa dirinya bukan pembentuk undang-undang yang dapat menambah ketentuan undang-undang dengan cara menambahkan rumusan kata-kata pada undang-undang yang diuji. Namun MK dapat menghilangkan kata-kata yang terdapat dalam sebuah ketentuan undang-undang supaya norma yang materinya terdapat dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tidak bertentangan lagi dengan UUD 1945. Sedangkan terhadap materi yang sama sekali baru yang harus ditambahkan dalam undang-undang merupakan tugas pembentuk undang-undang untuk merumuskannya.

Agar calon perseorangan tanpa melalui parpol atau gabungan parpol dimungkinkan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, maka menurut MK beberapa pasal UU Pemda yang dimohonkan pengujian harus dikabulkan sebagian dengan cara menghapuskan seluruh bunyi ayat atau bagian pasal sebagai berikut:

Pasal 56 ayat (2) berbunyi, ”Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik” dihapus seluruhnya, karena menjadi penghalang bagi calon perseorangan tanpa lewat parpol atau gabungan parpol. Sehingga, dengan hapusnya Pasal 56 ayat (2), Pasal 56 menjadi tanpa ayat dan berbunyi, ”Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”;

Pasal 59 ayat (1) dihapus pada frasa yang berbunyi, ”yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik”, karena akan menjadi penghalang bagi calon perseorangan tanpa lewat parpol atau gabungan parpol. Sehingga, Pasal 59 ayat (1) akan berbunyi, Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon”;

Pasal 59 ayat (2) dihapus pada frasa yang berbunyi, ”sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”, hal ini sebagai konsekuensi berubahnya bunyi Pasal 59 ayat (1), sehingga Pasal 59 ayat (2) akan berbunyi, ”Partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan”. Dengan demikian, Pasal 59 ayat (2) ini merupakan ketentuan yang memuat kewenangan parpol atau gabungan parpol dan sekaligus persyaratannya untuk mengajukan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam Pilkada;

Pasal 59 ayat (3) dihapuskan pada frasa yang berbunyi, ”Partai politik atau gabungan partai politik wajib”, frasa yang berbunyi, ”yang seluas-luasnya”, dan frasa yang berbunyi, ”dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud”, sehingga Pasal 59 ayat (3) akan berbunyi, ”Membuka kesempatan bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 melalui mekanisme yang demokratis dan transparan.” Dengan demikian, terbukalah kesempatan bagi calon perseorangan tanpa lewat parpol atau gabungan parpol.

Terhadap Putusan MK ini, terdapat tiga orang Hakim Konstitusi yang mengemukakan pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni H. Achmad Roestandi, I Dewa Gede Palguna, dan H.A.S. Natabaya. (Luthfi Widagdo Eddyono)


No comments:

A r s i p