Tuesday, July 3, 2007

Rakyat yang Tak Pernah Punya Hak

Oleh Rien Kuntari

Ironi kehidupan rupanya belum hendak beranjak dari Bumi Indonesia. Sebagai bangsa agraris, negeri subur makmur nan luas ini ternyata hanya mengalokasikan tanah persawahan seluas 7,8 juta hektar. Itu pun tak seluruhnya menjadi hak milik petani. Untuk itu, tak ada kata penyelesaian lain kecuali menunggu keseriusan pemerintah....

Ada perasaan gundah dan gemas ketika tiba-tiba mata ini dihadapkan pada sekumpulan petani yang merintih sedih menangisi tanah garapannya. Ada kemarahan luar biasa ketika melihat seseorang harus terluka, bahkan mati, di hadapan aparat militer di tanahnya sendiri. Satu pertanyaan pun muncul, tak ada lagikah hak untuk rakyat sehingga bisa hidup di tanahnya sendiri?

Bagaimanapun, kasus tanah yang berujung pada persengketaan antara negara dan rakyatnya sendiri menjadi sebuah cermin buruk. Tak salah jika persoalan ini kemudian dianggap sebagai masalah paling krusial.

Apalagi, belakangan kasus itu semakin marak, meluas, dan cenderung mengeras. Sebut saja kasus warga Meruya Selatan (Jakarta), Pasuruan (Jatim), Lengkong (Sukabumi, Jabar), Fatumnasi (NTT), hingga Kotawaringin (Kalteng).

Masalah warisan kolonial ini kenyataannya berkembang subur sejak Indonesia merdeka, era Orde Baru, bahkan hingga saat ini. Tak heran jika masalah ini kemudian diibaratkan sebagai bayi yang baru lahir. Ia terus tumbuh dan tumbuh.

Pada era reformasi, setidaknya tercatat 1.500 kasus. Tahun 2007 saja, tepatnya sebelum soal Pasuruan mencuat, telah terekam 13 kasus. Angka itu tentu menakjubkan. Sebab, jika ditarik ke belakang, pada rentang waktu dari tahun 1970 hingga 2001, "hanya" tercatat 1.753 kasus.

Semakin tertepikan

Meningkatnya persoalan itu tak bisa dilepaskan dari kenyataan arah pembangunan yang lebih mengutamakan kepentingan ekonomi. Artinya, kebijakan itu diimplementasikan dengan semakin menepikan hak rakyat atas tanah dan kekayaan lain.

"Konflik ini adalah warisan politik eksploitasi tanah dari zaman Belanda hingga zaman merdeka atau warisan kolonial yang diteruskan. Nah, sekarang diperparah dengan berbagai kebijakan yang kian masif dan menyingkirkan hak petani atas tanah," kata Herlambang Perdana, dosen Hukum Tata Negara dan HAM Universitas Airlangga, Surabaya.

Kondisi sekarang ini, lanjut Herlambang, semakin parah dengan munculnya paradigma ekonomi yang lebih mengutamakan kepentingan modal, bukan kepentingan bangsa yang pada dasarnya berbudaya agraris.

"Jadi, yang ada di otak para teknokrat Indonesia, kapitalisme yang didukung dengan sistem neoliberal," tegasnya. Ia menunjuk UU Pasar Modal dan Hak Guna Usaha yang berlaku lebih dari 100 tahun sebagai lebih parah daripada zaman kolonial. "Di zaman kolonial hanya 75 tahun," katanya.

Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Usep Setiawan menegaskan, UU Perkebunan, UU Sumber Daya Air, UU Kehutanan, UU Pertambangan, dan Perpres 65/2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, serta UU PMA I/1967 jelas-jelas membuka peluang tindak kekerasan kepada petani.

"Karena yang berada di belakang semua itu sebenarnya adalah untuk kepentingan investasi dalam skala besar untuk infrastruktur," kata Usep. "Nah, itu dengan cara mengambil tanah yang menjadi hak rakyat dengan dalih untuk kepentingan umum," lanjutnya.

Syaiful Bahari, mantan Wakil Direktur Sekretariat Bina Desa yang kini aktif sebagai penggiat Gerakan Reforma Agraria, memperjelas dengan mengatakan, penyediaan tanah secara besar-besaran untuk kepentingan investasi justru membawa kembali pada era praktik domein Verklaring.

"Ini masalah utama yang mendasari seluruh konflik dan sengketa tanah hingga sekarang ini. Terutama asas yang mengatakan, tanah yang tidak bisa dibuktikan kepemilikannya menjadi tanah negara," tegasnya.

Dalam hal redistribusi tanah kepada rakyat, Indonesia berada pada titik terendah. Redistribusi di Korsel mencapai 80 persen, Jepang dan Taiwan 100 persen, dan Indonesia 6,8 persen. Di bidang alokasi hijau, Indonesia mengalokasikan areal untuk kehutanan seluas 90 juta hektar, perkebunan 15 juta hektar.

Namun, untuk 42 juta keluarga petani atau sekitar 124 juta jiwa, Indonesia hanya mengalokasikan tanah seluas 7,8 juta hektar untuk pertanian. Atas dasar kenyataan itu, baik Syaiful maupun Usep menekankan adanya ketimpangan mencolok antara tanah milik rakyat dan kepentingan kekuasaan. Dalam arti, status kepemilikan tanah terkait erat dengan kekuatan politik dan ekonomi.

Kondisi ini pada akhirnya menyebabkan para petani desa sama sekali tidak memiliki kekuasaan dan hak atas tanah. Lebih parah lagi, hingga saat ini, masalah itu masih dilihat secara parsial. Akibatnya, setiap konflik diselesaikan kasus per kasus, bukan dalam skala nasional dan menyeluruh.

Keseriusan pemerintah

Syaiful, Usep, maupun Herlambang mengakui, bukan berarti tak ada yang dilakukan pada era ini. Secara serempak ketiganya merujuk pada Pidato Kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang disampaikan tanggal 31 Januari 2007, terutama dalam hal Program Pembaruan Agraria Nasional.

Ketiganya juga sepakat menggarisbawahi pentingnya menunggu keseriusan pemerintah untuk benar-benar melaksanakan keinginan tersebut. "Sebenarnya serius enggak sih," kata Syaiful. "Kalau pemerintah serius, seharusnya ya dibikin seterang mungkin," lanjut Usep.

Misalnya, jika waktu itu sempat disebutkan akan ada redistribusi lahan untuk petani miskin seluas 8,15 juta hektar, dari awal lokasi lahan itu harus dipertegas, diperjelas, dan dipastikan.

Selain itu, juga harus segera dibuat definisi petani miskin tersebut. Dalam arti, apakah buruh tani, tani penggarap, atau tani gurem.

Lebih dari itu, Syaiful, Usep, maupun Herlambang menekanan perlunya komitmen politik dan jaminan keterlibatan komunitas petani dalam penyelesaian dari awal hingga akhir. Terutama karena Reforma Agraria tak akan pernah bisa dijalankan Badan Pertanahan Nasional sendirian.

Diharapkan langkah itu bisa membawa ke penyelesaian sengketa tanah secara menyeluruh. Tentu, persoalan ini bukan sekadar bagi-bagi tanah, melainkan upaya mengembalikan hak rakyat yang telah terampas.

No comments:

A r s i p