Monday, July 23, 2007

Rumitnya Memilih Wakil Rakyat

  • Oleh: J Kristiadi

DEMOKRASI modern adalah demokrasi perwakilan. Artinya, rakyat Indonesia sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, yang jumlahnya lebih dari 200 juta hanya diwakili oleh 550 orang anggota DPR dan sekitar 120-an anggota DPD. Oleh sebab itu, kehidupan demokrasi akan selalu diwarnai oleh perdebatan yang tidak akan pernah berakhir mengenai sistem pemilu yang dianggap paling cocok bagi suatu negara.

Dewasa ini perdebatan itu mulai memanas menjelang Pemilu 2009. Hal itu dipicu oleh kekecewaan rakyat yang meluas terhadap performance (kinerja) lembaga perwakilan rakyat (DPR dan DPRD).

Pada umumnya rakyat menggangap bahwa anggota parlemen lebih mementingkan kekuasan dari pada bekerja keras untuk rakyat yang telah menunggu hasil konkrit dari reformasi politik.

Kebijakan publik mulai dari tingkat pusat sampai daerah banyak yang tidak nyambung secara langsung dengan perbaikan hidup rakyat. Oleh karena itu, menjelang dilakukannya pembahasan UU Politik, sangat tepat dilakukan public discourse untuk menawarkan gagasan-gagasan yang dapat digunakan untuk menyempurnakan UU Politik.

Salah satu isu penting dalam sistem pemilu yang perlu disempurnakan adalah praktik sistem proporsional terbuka setengah hati yang dipraktikkan pada Pemilu 2004. Penerapan sistem tersebut dianggap oleh masyarakat belum dapat menghasilkan anggota lembaga perwakilan yang akuntabel, kompeten, serta mempunyai legilitimasi yang kuat.

Oleh sebab itu, muncul gagasan untuk menyempurnakan UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum dengan menerapkan prinsip one person, one vote, one value (OPOVOV) atau Sistem Proporsional Terbuka Murni (SPTM).

Namun benarkah penerapan sistem tersebut dapat mengakomodasi harapan masyarakat? Sebab, berdasarkan berbagai kajian tentang sistem pemilu yang dipraktikkan di negara-negara lain, tidak ada sistem pemilu yang sempurna.

Demikian pula STPM, andaikata dipraktikkan juga mempunyai beberapa kontroversi sebagai berikut. Pertama, penerapan prinsip OPOVOV diterapkan secara murni memang pemilih adalah penentu yang mutlak untuk menentukan anggota lembaga perwakilan rakyat.

Oleh sebab itu, anggota legislatif lebih independen (tidak tergantung kepada parpol) dan memiliki legitimasi yang sangat kuat. Selain itu sistem ini memang mempunyai kelebihan, antara lain kandidat lebih dikenal dan lebih dekat dengan pemlih.

Tetapi kekuranganya akan terjadi kompetisi internal yang sengit dalam internal partai, dan kalau budaya politik partai belum matang akan terjadi konflik yang berkepanjangan dan berakhir perpecahan partai.

Kedua, dikhawatirkan hanya kader yang populer yang akan menang. Dan, popularitas tidak menjamin para kualifikasi, bahkan partai dapat kebanjiran orang-orang di luar partai yang hanya kuat memberikan sumbangan kepada oknum-oknum politik yang bersangkutan. Hal tersebut akan mengakibatkan kemacetan dalam proses perekrutan dan dan menafikan pengkaderan partai politik.

Bahkan secara hipotetis partai politik dapat dijadikan tempat bersembunyi para tersangka koruptor yang sudah terlanjur mempunyai uang yang jumlahnya kadang-kadang sangat mencengangkan.

Untuk mencegah hal semacam itu, partai politik menentukan kandidat-kandidat yang mempunyai persyaratan internal partai, terutama yang dianggap sebagai kader partai yang andal. Tetapi dapat juga bahwa alasan tersebut hanya untuk menutupi praktik KKN dan oligarki partai yang dewasa ini mendapatkan banyak kritikan masyarakat.

Namun gagasan STPM sebenarnya justru harus merupakan cambuk bagi partai politik untuk mendidik kadernya, sehingga tidak kalah bersaing dengan calon di luar parpol.

Ketiga, kesulitan dalam menentukan pergantian antarwaktu (PAW). Misalnya salah seorang dari calon partai B meninggal (berhalangan tetap), dan urutan perolehan jumlah suara dalam pemilu adalah dari partai C, apakah kemudian anggota dari partai B diganti oleh kader dari partai C tersebut.

Hipotesa tersebut nampaknya terlalu lemah, sebab meskipun sistem pemilu terbuka, tetapi partai masih mempunyai kesempatan untuk menentukan nomor urut. Dan oleh sebab itu, seandainya ada anggota legislatif yang berhenti di tengah jalan, maka yang menggantikan adalah calon dari partai yang sama dan jumlah perolehannya persis di bawah anggota legilatif tersebut, dan bukan dari luar partai lain.

Keempat, persoalan lain berkaitan dengan magnitude (besaran) daerah pemilihan. Penerapan sistem ini secara penuh menuntut daerah pemilihan harus lebih diperkecil sehingga jumlah calon pun menjadi lebih sedikit.

Tujuannya agar tidak terjadi disproporsionalitas. Artinya, kalau besaran daerah pemilihan tetap besar dan jumlah calon juga besar akan menyebabkan banyak sisa suara terbuang.

Akibatnya jumlah anggota DPR yang memenuhi bilangan pembagi pemilih (BPP) akan lebih kecil dibandingkan dengan anggota lembaga perwakilan yang memperoleh jumlah kursi dari gabungan sisa suara.

Sejumlah kontroversi tersebut telah menimbulkan gagasan untuk mengkompromikan antara kedua sistem tersebut. Misalnya Partai Golkar mengusulkan hanya kandidat yang memperoleh 25 persen dari BPP yang akan lolos menjadi anggota legislatif.

BPP dalam konteks ini adalah angka yang diperoleh dengan membagi jumlah pemilih dengan jumlah kursi di sebuah daerah pemilihan.

Misalnya, kalau di suatu daerah pemilihan untuk anggota DPR jumlah pemilihnya satu juta dan jumlah kursi yang diperebutkan 10 kursi, maka BPP di daerah pemilihan tersebut adalah 100.000.

Kalau Golkar menentukan 25% dari BPP di dapil tersebut berarti hanya mereka yang memperoleh 25% dari 100.000 atau 25.000 pemilih yang langsung mendapatkan kursi.

Namun sekadar menentukan batas 25% juga dianggap masih kurang adil, mengingat harga kursi di satu daerah pemilihan dengan daerah lain bisa sangat timpang, misalnya, harga kursi di Jawa dan luar Jawa.

Pemikiran lain yang berkembang adalah melakukkan kombinasi sebagai berikut. Misalnya, kursi pertama (1) dipilih dari nomor urut, selanjutnya kursi kedua dari perolehan suara terbanyak.

Dengan demikian, dewasa ini di parlemen telah terjadi kristalisasi sebagai berikut. Pertama, partai yang ingin mempertahankan sistem pemilu proporsional seperti pada Pemilu 2004. Kedua, mereka yang menginginkan sistem proporsional murni, dan ketiga, mereka yang menginginkan ambang batas perolehan kandidat sebesar 5% dari jumlah pemilih di daerah pemilihan.

Sementara itu para pejuang perempuan dan perempuan pejuang menginginkan agar sistem terbuka penuh dapat diterapkan sehingga terjadi kompetisi yang sehat dalam pemilihan umum yang akan datang.

Sebuah kajian dari LIPI menunjukkan kalau sistem tersebut diterapkan, jumlah anggota legislatif perempuan akan bertambah dari hasil Pemilu 2004 yang jumlahnya hanya 62 orang. Selain itu para calon perempuan juga akan berjuang lebih keras dan sengit dalam menghadapi kompetisi tersebut.

Dari semua perdebatan tersebut dapat dipetik pelajaran bahwa tidak ada sistem pemilu yang ideal bagi negara mana pun. Oleh sebab itu setiap bangsa yang ingin membangun demokrasi, tidak boleh hanya terpaku kepada pemilihan sistemnya, tetapi juga harus melakukan pendidikan kader-kader politik yang handal.

Selain itu tentu membangun lembaga-lembaga politik yang kuat serta kultur demokrasi yang sehat.(60)

- J Kristiadi adalah peneliti CSIS, Jakarta

No comments:

A r s i p