Wednesday, July 4, 2007

Budaya Birokrasi dan Politik

Oleh :

Yon Machmudi
Dosen Program Studi Arab Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia

Birokrasi di Indonesia hingga saat ini belum efektif. Para birokrat di mata publik memiliki citra buruk dan cenderung korup. Mereka tidak dapat mengikuti situasi ekonomi, sosial, dan politik yang sedang berkembang yang menuntut adanya sikap dinamis dan terbuka. Waktu dan biaya yang tidak terukur adalah cermin tidak profesionalnya kerja penopang birokrasi. Mereka masih melestarikan budaya birokrasi kolonial. Inilah budaya birokrasi kita saat ini yang jauh dari kesan melayani masyarakat. Perubahan kepemimpinan yang terjadi di tingkat nasional maupun daerah ternyata tidak mampu mendorong reformasi yang terarah dalam memperbaiki citra birokrat dan sistem birokrasi kita.

Para pejabat politik baru pun harus berkonflik atau berkolusi dengan aparat birokrasi di bawahnya karena dominasi mereka yang begitu kuat. Sejarah memang membuktikan bahwa birokrasi kita sejak lama dijadikan alat mobilisasi politik bagi partai penguasa untuk melanggengkan kekuasaan. Karenanya di era reformasi ini, perubahan pejabat politik di level nasional maupun daerah yang dimotori oleh partai politik baru, dengan minimnya jaringan birokrasi, pasti selalu mengalami resistensi tinggi.

Kemenangan PKS di Kota Depok yang berhasil menempatkan kadernya, Nurmahmudi Ismail sebagai wali kota menjadi studi kasus yang sangat menarik tentang konflik dan kolusi antara pejabat politik dan pejabat birokrat. Penggantian kepala-kepala dinas yang dilakukan oleh Nurmahmudi, misalnya, tidak lagi dipandang sebagai usaha melakukan reformasi birokrasi tetapi dianggap sebagai move untuk menggeser para birokrat dan menggantinya dengan kader-kader partai. Apalagi mereka yang ada di jajaran birokrasi sendiri sudah terbiasa memainkan peluang-peluang politik itu.

Reformasi birokrasi pada akhirnya menjadi program yang paling sulit dilakukan. Karenanya, perlu dilakukan inovasi dalam penciptaan budaya (cultural innovation and invention) dalam birokrasi. Mengingat perubahan dari dalam yang tidak bisa diharapkan, maka harus diciptakan juga pendekatan struktural yang mampu mengubah budaya birokrasi kita. Namun demikian, perubahan-perubahan budaya organisasi pemerintahan secara eksternal ini diharapkan tidak hanya berorientasi pada program rasionalisasi birokrasi yang sering mendapat perlawanan, tetapi juga harus diarahkan pada penciptaan budaya baru birokrasi yang lebih terbuka.

Rasionalisasi birokrasi
Jumlah pegawai pemerintah yang menopang aktivitas-aktivitas birokrasi di Indonesia ternyata telah mencapai 4 juta. Namun jumlah yang besar itu belumlah secara optimal dapat memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Melihat kondisi kinerja para birokrat yang belum efektif dan efisien serta masih jauh dari kesan memuaskan, salah satu langkah yang sering dilakukan oleh pejabat politik yang menduduki kepemimpinan di level nasional maupun di daerah-daerah adalah rasionalisasi. Langkah ini dilakukan dengan memfokuskan pada perombakan besar-besaran terhadap formasi birokrat. Mutasi juga dilakukan terhadap para aparat yang yang dianggap memiliki kinerja buruk. Langkah semacam ini tentu saja menjadi semacam terapi kejut yang dapat memicu ketegangan hubungan antara pemimpin departemen atau pemerintah daerah yang dipegang pejabat poliik dan aparat birokrasi di bawahnya beserta kepentingan politik lainnya.

Perlawanan menjadi semakin tidak terkendali apabila diduga bahwa pejabat politik yang baru ternyata lebih suka memasukkan kader-kader politik ke birokrasi dan tidak berusaha mencari pejabat-pejabat birokrat terbaik di lingkungan kerja yang ada. Karenanya, reformasi birokrasi kemudian tidak lebih dari sekadar menyingkirkan lawan-lawan politik untuk mengokohkan peran partai politik baru dalam birokrasi. Akibatnya birokrasi kita tidak akan pernah dapat bekerja secara optimal dan profesional. Pada sisi lain, para birokrat ternyata juga berusaha melakukan kolusi dan pendekatan-pendekatan kepada para pejabat politik untuk mengamankan jabatan mereka. Di sinilah sebenarnya semangat untuk melakukan perubahan dalam birokrasi akan diuji. Apakah kompromi dan kepentingan politik atau kepentingan masyarakat akan pelayanan yang lebih baik menjadi landasan utama dalam reformasi birokrasi? Banyak kasus yang menunjukkan pada akhrinya para pejabat politik sering mengabaikan kepentingan rakyat dan memilih jalan pintas demi memenuhi ambisi politik pribadi.

Keterbukaan birokrasi
Pegawai yang profesional dan terbuka terhadap perubahan ekonomi, sosial, dan politik menjadi sebuah tuntutan. Selama ini, kecenderungan aparat birokrasi masih mewarisi budaya 'memerintah' dan menganggap bahwa jabatan adalah status sosial yang membedakan mereka dengan warga biasa. Melayani dan memenuhi kebutuhan warga negara dengan sebaik-baiknya belumlah menjadi paradigma para birokrat. Masyarakat pun masih menganggap bahwa keberadaan birokrasi bukanlah mempermudah urusan mereka tetapi malah menghambat layanan yang harus diterima.

Kenyataan di lapangan juga telah berkembang 'kebanggaan' berlebihan terhadap institusi di masing-masing lembaga birokrasi yang ada. Mereka tampil sebagai jago kandang dan berusaha membangun kerajaan-kerajaan sendiri. Sayangnya, sikap semacam ini sengaja diwariskan kepada para pegawai-pegawai baru melalui pola interaksi dan bahkan terlembaga dalam institusi pendidikan. Karenanya perlu dikembangkan sikap terbuka yang dapat menghilangkan sikap primordial dalam institusi atau departemen itu. Sekolah-sekolah kedinasan yang menanamkan budaya primordial juga harus ditiadakan. Kebutuhan rekruitmen pegawai departemen di tingkat nasional maupun daerah hendaknya dapat dipenuhi oleh perguruan tinggi umum yang memang menyediakan pola interaksi terbuka dengan pengalaman hidup yang heterogen. Bagaimana pun juga suasana pendidikan dan pelatihan yang tertutup dalam suatu lembaga pendidikan kedinasan telah menyuburkan praktik-praktik kekerasan dan kebanggaan berlebihan terhadap institusi. Akibatnya, sikap-sikap yang lahir dari tradisi kedinasan akan terbawa dalam lingkungan kerja.

Kepimpinan yang kokoh
Untuk mendorong perubahan budaya birokrasi ke arah yang lebih profesional serta menekan adanya kepentingan-kepentingan politik sesaat dari parpol-parpol yang berkuasa dibutuhkan figur pemimpin yang memiliki integritas kuat. Pemimpin yang kokoh dan memiliki komitmen terhadap reformasi birokrasi akan dapat melahirkan budaya baru dalam jajaran birokrat kita. Aparat birokrasi tidak lagi menjadi semacam mesin politik partai politik tetapi lebih sebagai sistem organisasi pemerintah yang profesional. Para pejabat politik diharapkan tidak sekadar berusaha menanamkan kepentingan partai, tetapi sebaliknya harus memulai iklim baru rekruitmen yang lebih terbuka. Birokrasi harusnya tetap solid tetapi dinamis dalam merespons perubahan. Walaupun telah terjadi perubahan kekuasaan dan kepemimpinan politik, tugas para birokrat untuk memberikan pelayanan terbaik kepada publik tidak pernah berubah.

Ikhtisar
- Pengaruh politik dalam dunia birokrasi masih sangat kental.
- Intervensi politik, terbukti telah membuat birokrasi tidak bisa berfungsi secara optimal dan profesional.
- Selain dengan menyingkirkan pengaruh kental politik, reformasi birokrasi juga harus dilakukan dengan menciptakan iklim terbuka di sektor tersebut.
- Aparat birokrasi harus bisa menjadi sistem organisasi pemerintah yang profesional

No comments:

A r s i p