Tuesday, July 10, 2007

Membenahi Partai Politik Cetak E-mail
Oleh: A M Fatwa

Sebuah negara disebut demokratis apabila di dalamnya dilaksanakan pemilihan umum secara periodik dan berkala. Pemilu menjadi keniscayaan dalam sistem demokrasi untuk menjamin terjadinya sirkulasi elite politik agar tidak berlaku kekuasaan yang bersifat tak tergantikan dan absolut.

Melalui pemilu, rakyat dapat melakukan penilaian apakah elite politik yang berkuasa sudah memenuhi keinginan rakyat dan karena itu layak dipertahankan, ataukah sebaliknya tidak mampu memenuhi keinginan rakyat dan karena itu harus diganti oleh elite politik baru yang lebih memberikan harapan perbaikan kehidupan rakyat. Dalam konteks ini, demokrasi meniscayakan meritokrasi, yakni prestasi pejabat politik dalam membuat struktur negara menjadi bergerak dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan dan menyejahterakan rakyat.

Partai politik merupakan salah satu pilar utama demokrasi karena partai politik adalah kontestan di dalam pemilu. Dengan fungsi-fungsi yang dimiliki, partai politik menjadi sarana yang sangat penting bagi pemberdayaan demos. Demokrasi akan sehat dan berkualitas jika partai politik juga sehat dan berkualitas dalam arti dapat menjalankan fungsi-fungsinya secara optimal. Sebaliknya, demokrasi akan sakit jika partai politik tidak mampu menjalankan fungsi-fungsinya itu. Sayangnya, kondisi partai-partai politik saat ini sangat memprihatinkan.

Partai politik mengidap penyakit sangat parah dan bahkan kronis sehingga tidak mampu tampil dengan performance menarik di mata rakyat. Partai politik seringkali tampil dengan wajah buruk yang membuat rakyat menjadi sinis dan antipati yang tampak sekali dari sikap di kalangan masyarakat akar rumput yang semakin apatis terhadap proses-proses politik yang di dalamnya partai politik terlibat, keinginan yang semakin besar di kalangan masyarakat bawah kepada calon independen, dan tidak efektifnya kerja mesin partai politik dalam pemilihan kepala daerah untuk memobilisasikan dukungan kepada calon yang diusung.

Apatisme rakyat dalam pilkada tampak dari persentase partisipasi mereka yang merosot cukup tajam. Faktor terbesar yang membuat buruk performance partai politik adalah praktik politik uang (money politic). Dulu, kehidupan politik kepartaian dirusak oleh nepotisme dan sekarang partai politik dirusak oleh uang. Tak bisa disembunyikan dan ditutupi lagi fakta bahwa para elite partai dengan berbagai alasan telah ”menyewakan” atau bahkan ”menjual” partai politik kepada orang-orang yang berkeinginan untuk merebut jabatan politik.

Proses-proses politik menjelang pelaksanaan pilkada DKI Jakarta memperjelas sinyalemen adanya praktik ”jual-beli” partai politik tersebut. Sebelumnya, praktik politik uang mungkin hanya dianggap isu yang sangat sulit dibuktikan. Tetapi, dengan adanya para kandidat yang gagal maju kemudian buka suara dan membeberkan praktik politik uang yang telah terjadi secara terus terang, keyakinan masyarakat tentang adanya praktik ”jual-beli” partai tersebut menjadi semakin kuat,walaupun masih tetap sulit untuk dibuktikan secara hukum.

Dalam kondisi politik seperti itu, meritokrasi tak lagi dijunjung tinggi sehingga yang lahir dan berkembang adalah plutokrasi, kaum kayalah yang berkuasa. Kaum pemilik kapital besar dapat berkuasa tanpa perlu bersusah payah membangun partai politik. Mereka cukup hanya datang dengan uang, lalu ”menyewa” atau ”membeli” partai, kemudian menggunakannya sebagai ”perahu” untuk maju dalam perebutan kekuasaan di segala level struktur kekuasaan. Arena pengambilan kebijakan tertinggi partai politik, baik bernama kongres, muktamar, dan sebutan-sebutan lain yang semacamnya, juga tak pernah luput dari aroma uang. Praktik-praktik seperti inilah yang menyebabkan demokrasi prosedural hanya menjadi sarana bagi kaum pemilik kapital untuk meraih kekuasaan.

Perlu Pembenahan

Karena kekuasaan diraih dengan mengeluarkan sejumlah besar uang, maka tentu saja yang akan terjadi adalah kekuasaan itu nantinya bukan digunakan sebagai sarana untuk menyejahterakan rakyat, akan tetapi digunakan untuk mengembalikan kapital yang telah dikeluarkan, atau bahkan meningkatkan jumlah kapital yang dimiliki oleh penguasa yang bersangkutan. Akibatnya, politik, kekuasaan, dan kekayaan menjadi trinitas yang kemudian berjalin berkelindan; antara yang satu dan yang lain saling menguatkan. Dalam konteks seperti ini, secara prosedural demokrasi memang telah berjalan, tetapi demokrasi substansial tidak terwujud.

Sebagai pilar demokrasi, keadaan partai politik yang demikian itu tak bisa dan tak boleh dibiarkan. Harus dilakukan pembenahan agar demokrasi bisa tetap berjalan baik secara prosedural maupun substansial. Mekanisme internal partai politik perlu ditata dan dirapikan agar mekanisme pengambilan keputusannya dapat dilakukan secara kolektif kolegial. Dengan demikian, partai politik menjadi lembaga yang bersifat impersonal sehingga relatif terjaga dari praktik penyelewengan kekuasaan oleh para elitenya, terutama elite puncaknya.

Selain itu, garis perjuangan partai politik perlu diperjelas dalam bentuk artikulasi politik dalam tataran praktis. Dalam praktik politik keseharian, partai- partai politik yang lahir pascareformasi harus menunjukkan konsistensi perjuangan sesuai dengan basis ideologi yang digunakan. Partai yang menggunakan Islam sebagai dasar formal pendiriannya harus konsisten mempraktikkan dan memperjuangkan nilai-nilai dan etika Islam. Partai yang mengklaim diri sebagai partai nasionalis harus menunjukkan sikap dan perilaku politik yang tegas untuk menahan kemauan dan tekanan asing. Partai terbuka harus mempraktikkan perilaku politik keterbukaan, pluralis, dan dialogis. Konsistensi antara gagasan dan perilaku politik harus benar-benar ditunjukkan agar partai politik benar-benar mampu menyelesaikan berbagai belitan persoalan-persoalan yang saat ini dialami bangsa Indonesia. Wallahu a’lam. (*)

A M Fatwa Wakil Ketua MPR RI

No comments:

A r s i p