Thursday, July 19, 2007

DCA dan Posisi Yudhoyono

Tjipta Lesmana

Pasal 11 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen ke-4 menegaskan, "Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain".

Selanjutnya, Ayat (2) pasal sama (hasil amandemen ke-3) mengatakan, "Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat".

Presiden Yudhoyono dan staf semestinya memahami betul apa makna yang terkandung dalam Pasal 11 UUD 1945 itu. Ayat pertama mengamanatkan persetujuan DPR terhadap setiap perjanjian yang dibuat pemerintah dengan negara lain, terkait dengan peperangan atau perdamaian.

Ayat kedua secara eksplisit mengatakan, semua perjanjian internasional yang dibuat pemerintah mengharuskan persetujuan DPR, sepanjang perjanjian itu (a) dinilai akan menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat; (b) terkait beban keuangan negara; (c) perjanjian itu mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang.

Kasus DCA

Lalu, bagaimana dengan defence cooperation agreement (DCA) yang sudah ditandatangani oleh RI dan Singapura?

Jika pemerintah berpendapat perjanjian itu tidak memerlukan persetujuan DPR, jelas salah. Dan jika pemerintah tetap ngotot "jalan terus" karena DPR sudah menunjukkan sikap resistansinya, kedudukan Presiden Yudhoyono bisa berbahaya. DPR tidak akan mengalami kesulitan untuk menghimpun suara dua pertiga untuk membawa kasus ini ke Mahkamah Konstitusi. Dengan kata lain, DCA benar-benar bisa menjadi pintu masuk DPR untuk meng-impeach Presiden SBY.

Persoalan DCA dan Interpelasi Iran (dukungan pemerintah atas Resolusi Nomor 1747 Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa), secara substansial, amat berbeda.

Dalam kasus interpelasi, kedudukan DPR lemah.

Pertama, karena peraturan Tata Tertib DPR tidak mengharuskan Presiden datang sendiri untuk menjawab interpelasi. Bahkan, dulu Presiden Megawati pernah tidak datang dan mengutus SBY selaku Menteri Koordinator Politik dan Keamanan saat diinterpelasi DPR.

Kedua, kalaupun DPR menilai argumentasi pemerintah tidak kuat dalam mendukung Resolusi 1747, Presiden tetap tidak bisa di-impeach. Ini bagian politik bebas aktif Indonesia. Lagi pula, apa yang dirugikan di pihak kita? Apakah rakyat banyak dirugikan? Tidak.

Kasus DCA

Dalam kasus DCA, yang menjadi taruhan adalah, pertama, kedaulatan RI; kedua, keamanan RI; dan ketiga, kesejahteraan rakyat, khususnya penduduk di sejumlah wilayah yang bakal dijadikan tempat latihan perang antara RI dan Singapura.

Mereka yang berkelit DCA tidak melanggar kedaulatan RI sebaiknya membaca kembali arti "kedaulatan" dari buku-buku teks ilmu negara atau ilmu politik.

Jika dengan DCA Indonesia tidak diperbolehkan—selama perjanjian berlaku—mengelola sumber daya alamnya di perairan tempat latihan militer, apakah ini bukan pelanggaran kedaulatan?

Selama ini Area Bravo diketahui kaya minyak dan sumber daya alam lainnya. TNI AL pasti mengetahui hal itu. Oleh karena itu, Kepala Staf Angkatan Laut semula menentang keras DCA karena paling tahu isi perut di dasar laut Area Bravo.

Dari perspektif keamanan nasional, DCA juga tidak menguntungkan. Dengan kehadiran begitu banyak perlengkapan militer Singapura yang canggih, negara itu dengan mudah memonitor dan mendeteksi berbagai rahasia keamanan RI. Perlu diingat, Singapura memiliki hubungan dekat dengan Amerika dan Israel. Bahkan bukan rahasia lagi, Angkatan Perang Singapura—termasuk intelijennya—dibangun dengan bantuan militer Israel. Kalau mau curiga, bisa saja dua negara ini setiap saat memanfaatkan DCA untuk kepentingan militer mereka.

Dampak negatif

Tentu, implementasi DCA akan membawa berbagai dampak negatif bagi penduduk yang bermukim di sekitar tempat latihan. Para warga di Batujajar, Sumatera Selatan, misalnya, sudah menyuarakan kecemasan mereka. Paling tidak, ruang gerak akan dibatasi sehingga mereka akan kesulitan menggarap tanah yang menjadi sumber kehidupannya. Nelayan-nelayan di perairan Riau pasti juga akan kena getahnya. Wilayah tangkapan ikan mereka akan dibatasi saat latihan militer berlangsung.

Selama ini para petinggi TNI mengatakan, DCA menguntungkan Indonesia. Dengan DCA, TNI bisa belajar banyak dari militer Singapura yang canggih. Dan latihan-latihan personel TNI Angkatan Udara yang menelan biaya tidak kecil bisa diadakan secara "gratis". Singkatnya, di tengah keterbatasan anggaran TNI, DCA bisa membawa berkah.

Masalahnya, berapa harga yang harus kita bayar untuk mendapat berkah itu? Berapa harga politik dan martabat yang harus dibayar selain kehilangan kesempatan mengelola sumber daya alam. Tidak heran jika DCA tidak sepenuhnya didukung jajaran militer kita.

Presiden Yudhoyono kini dalam posisi terjepit. Jika DCA batal, ke mana muka pemerintah akan disembunyikan? Mengapa sejak awal DPR tidak dilibatkan. Bukankah konstitusi kita mengamanatkan adanya persetujuan dari DPR untuk perjanjian internasional yang membawa akibat luas bagi kehidupan bangsa? Apakah hanya untuk mendapatkan Perjanjian Ekstradisi dengan Singapura, kita harus berkorban begitu besar?

Kini kita menunggu. Adakah DPR, DPD, politisi, akademisi, pengamat, media, dan para purnawirawan jenderal bersatu melawan keputusan DCA? Jika Presiden Yudhoyono tetap memaksakan DCA, dampaknya bisa lebih runyam.

Tjipta Lesmana Mantan Anggota Komisi Konstitusi; Anggota Pokja Kewaspadaan Nasional Lembaga Ketahanan Nasional

No comments:

A r s i p