Monday, July 30, 2007

Senjakala Partai Politik?

Sidik Pramono

Kesempatan bagi calon perseorangan untuk maju dalam pemilihan kepala daerah serupa "gunting pemutus" dominasi tunggal partai politik dalam pencalonan pejabat politik. Sebelumnya, calon perseorangan hanya bisa maju dalam pemilihan kepala daerah di Nanggroe Aceh Darussalam dan itu pun berlaku hanya untuk sekali pilkada.

Namun, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 23 Juli lalu membuka era baru di mana calon perseorangan bisa maju di daerah mana pun dan tidak sebatas dalam sekali pilkada.

Boleh saja mantan Ketua Pansus RUU Pemerintahan Aceh Ferry Mursyidan Baldan (Fraksi Partai Golkar, Jawa Barat II) menyebutkan bahwa dibukanya calon perseorangan di Aceh dikonstruksikan sebagai bagian dari reintegrasi pascakonflik. Kesempatan bagi calon perseorangan di Aceh diberikan karena partai politik lokal belum efektif.

Faktanya, MK berpendapat bahwa pengaturan pilkada seperti dipraktikkan di Aceh telah melahirkan realitas baru dalam dinamika ketatanegaraan yang menimbulkan dampak kesadaran konstitusi secara nasional.

Tata cara pilkada di Aceh tidak termasuk sebagai keistimewaan pemerintahan Aceh, bukan dilakukan karena keadaan darurat ketatanegaraan yang terpaksa harus dilakukan. Kesempatan bagi calon perseorangan dibuka oleh pembentuk undang-undang agar pilkada lebih demokratis. Jadilah, kesempatan serupa di daerah lain mesti dibuka agar tidak terjadi dualisme.

Nasib

Yang menjadi salah satu soal, bagaimana nasib parpol ketika jalur pencalonan yang selama ini mutlak dikuasai harus dibagi bersama para calon perseorangan? Benarkah putusan MK membuka kesempatan bagi calon perseorangan itu bisa benar- benar memberi tantangan ideal bagi parpol untuk semakin mendekati publik?

Mengutip pengajar Universitas Indonesia (UI) Andrinof A Chaniago, kecaman berlebihan atas putusan MK justru akan meningkatkan antipati masyarakat terhadap parpol berikut elitenya. Temuan Survei Nasional Lembaga Survei Indonesia (LSI) Juli 2007, kekecewaan terhadap pelaksanaan demokrasi memperkuat dukungan terhadap gagasan calon perseorangan. Demikian pula halnya rendahnya tingkat kepercayaan publik kepada parpol meningkatkan pula gagasan munculnya calon perseorangan. Hal itu tidak akan muncul apabila parpol selama ini dirasakan cukup mampu memperjuangkan aspirasi konstituennya.

Kalangan parpol pun seperti terbelah, antara yang mendukung dan tidak, antara yang menyambut gembira dan yang mengkhawatirkannya. Kedua kubu ini sama-sama punya argumen kuat.

Yang khawatir antara lain mengingatkan bahwa demokrasi butuh institusionalisasi dan parpol sebagai salah satu pilar demokrasi tidak bisa ditepikan begitu saja. Pengajar politik UI Maswadi Rauf berpendapat putusan MK itu secara langsung memang tak merugikan parpol. Hanya saja, ruang gerak parpol dalam pilkada akan lebih kecil.

Dibukanya calon perseorangan berarti juga akan menghasilkan tokoh-tokoh lokal yang tidak berkaitan dengan parpol. Ketika proses membangun parpol baru dilakukan dalam delapan tahun terakhir, putusan untuk memberi kesempatan calon perseorangan dalam pilkada ini berarti juga makin menyulitkan parpol dalam membentuk kadernya.

Sementara yang mengapresiasi positif menilai bahwa putusan MK justru menantang parpol untuk berbenah diri. Bahkan, lebih dari itu, dibukanya jalur calon perseorangan bisa menjadi kanal alternatif jika upaya sejumlah parpol untuk memaksakan multipartai sederhana tanpa lewat proses alamiah.

Lepas dari pro-kontra yang mengiringi keluarnya putusan MK tadi, publik secara umum punya aspirasi yang sejalan. Hasil survei LSI, sebanyak 80 persen responden mendukung kehadiran calon perseorangan.

Apa pun parpol yang didukungnya, responden cenderung setuju dengan gagasan munculnya calon di luar jalur parpol. Semakin tinggi latar belakang pendidikan, kecenderungannya semakin tinggi pula dukungan kepada calon perseorangan. Bagi LSI, aspirasi ini semestinya dipahami sebagai tantangan bagi parpol.

Kesebandingan

Pertarungan berikutnya yang menarik ditunggu adalah soal syarat dukungan minimal bagi seseorang untuk maju mencalonkan diri. Tanpa "pengujian" akan keseriusan dan kemampuan kandidat, penyelenggara pemilu pasti akan dibanjiri bakal calon. Mengutip penelitian Local Governance Support Program pada September 2005, tidak ada standar baku mengenai mekanisme pencalonan. Selain syarat dukungan yang variatif banyaknya, juga ada kewajiban deposit dana yang diterapkan sebagai kombinasi dengan penerapan jumlah dukungan minimal yang diwajibkan.

MK sendiri dalam putusannya menyebutkan, syarat jumlah dukungan bagi calon perseorangan tidak boleh lebih berat daripada syarat parpol untuk dapat mengajukan pasangan calon.

Rujukan untuk syarat calon perseorangan itu adalah ketentuan UU No 11/2006 mengenai Pemerintahan Aceh yang menyebutkan kandidat dari jalur perseorangan mesti mengumpulkan dukungan minimal 3 persen dari jumlah penduduk dengan sebaran minimal 50 persen jumlah kabupaten/kota untuk pemilihan gubernur dan minimal 50 persen jumlah kecamatan untuk pemilihan bupati/wali kota.

Tentu saja, kelompok nonparpol menghendaki agar syarat dukungan seperti di Aceh yang diadopsi. Namun, kelompok parpol menghendaki bandingan yang sepadan dengan persyaratan parpol atau gabungan parpol mengajukan pasangan calon, yaitu minimal 15 persen kursi atau suara sah dalam pemilu anggota DPRD.

Mengutip Ketua Partai Demokrat Anas Urbaningrum, syarat dukungan bagi pasangan calon perseorangan mesti diatur secara serius untuk menghindari terjadinya inflasi politik dalam pencalonan pilkada.

Misalnya saja, kandidat perseorangan mesti didukung minimal 10 persen dari jumlah pemilih demi keseimbangan antara calon yang berangkat dari parpol dan yang berangkat dari jalur perseorangan. Syarat dukungan yang serius itu juga mengantisipasi munculnya terlalu banyak calon yang justru akan menyulitkan penyelenggaraan pilkada.

"Senjakala"?

Salah satu dalil yang diajukan anggota DPRD Lombok Tengah (Nusa Tenggara Barat) Lalu Ranggalawe untuk meminta pengujian UU No 32/2004 adalah ketidakpercayaan rakyat terhadap parpol. Lalu Ranggalawe menyebut, hal itu terjadi karena dalam mengusung kandidatnya, parpol sarat dengan transaksi politik dengan melakukan jual beli kendaraan politik bagi kandidat yang akan mengikuti suksesi.

Namun, mengutip hakim konstitusi Achmad Roestandi yang berpendapat berbeda dengan putusan MK, dipertanyakan apakah bisa dijamin bahwa calon kepala daerah yang maju lewat jalur perseorangan akan terbebas dari pemerasan yang dilakukan broker politik liar?

Calon perseorangan dibuka antara lain dimaksudkan sebagai "tamparan" bagi parpol. Akan riskan jika kemudian jalur ini dipakai para politisi lama yang tidak berumah lagi di parpolnya, orang yang ber-uang, "preman", atau tokoh yang semata-mata mengandalkan popularitas.

Di tengah potensi munculnya "penumpang gelap" di jalur calon perseorangan ini, semoga saja tujuan awal membangun demokrasi yang lebih baik itu bisa tercapai. Akan sangat berisiko jika kemudian rakyat dikecewakan lagi dengan hadirnya calon perseorangan, sementara kepercayaan kepada parpol belum pulih.

Jika itu sampai terjadi, bukan saja parpol, tetapi kita semua yang sedang menjemput senjakala: menunggu redup dan lantas tenggelam….

No comments:

A r s i p