Monday, July 30, 2007

Kepala Daerah Perseorangan


Denny Indrayana

Mahkamah Konstitusi membuka pintu monopoli pencalonan kepala daerah. Putusan MK, yang memungkinkan perseorangan maju sebagai calon kepala daerah, patut diapresiasi.

Majunya calon perseorangan, selain calon dari partai politik, akan meningkatkan kompetisi pemilihan kepala daerah. Kompetisi yang fair akan mendorong demokratisasi, termasuk dalam partai sendiri.

Monopoli partai politik (parpol) dalam perekrutan kepemimpinan nasional memang merisaukan. Monopoli ini berpotensi menggairahkan korupsi. Rumus sederhananya, korupsi adalah kewenangan yang monopolistik, tanpa keterbukaan (corruption is authority plus monopoly minus transparency). Salah satu penyebab maraknya politik uang di banyak pilihan kepala daerah adalah monopoli pencalonan kepala daerah oleh parpol. Padahal, kinerja parpol sendiri masih jauh dari semangat antikorupsi. Jajak pendapat Transparansi Internasional Indonesia menegaskan, parpol sebagai salah satu institusi paling korup di Tanah Air.

Semangat memperbesar kompetisi serta transparansi antikorupsi itulah pesan terobosan konstitusional terpenting dari putusan MK tentang calon kepala daerah perseorangan. Meski demikian, terobosan MK itu masih menyisakan masalah.

Calon presiden perseorangan?

MK tetap memiliki keterbatasan. Meski berhasil membuka kunci monopoli pencalonan kepala daerah oleh parpol, MK hanya dapat menguji konstitusionalitas undang-undang atas Undang-Undang Dasar. MK tidak dapat menyoal problematika dalam konstitusi itu sendiri. Maka, monopoli pencalonan presiden oleh parpol, yang diatur Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945, tidak dapat ditembus MK, kecuali pasal itu diubah MPR. Maka, peluang calon presiden perseorangan tetap tertutup. Meski demikian, dengan konsistensi logika, terbukanya calon perseorangan untuk kepala daerah dapat menjadi amunisi tambahan untuk mendorong advokasi pencalonan presiden perseorangan.

Persyaratan

Problematika kedua terkait syarat dan rincian pencalonan kepala daerah perseorangan. Mandat konstitusional MK hanya menguji konstitusionalitas undang-undang. MK bukan legislatif yang dapat menambah kata-kata ke dalam undang-undang. Maka, dengan membuka pintu calon kepala daerah perseorangan, ada rincian persyaratan calon perseorangan yang belum terselesaikan.

Untuk mengisi kekosongan hukum itu ada tiga pilihan. Pertama, legislative review, yaitu mengubah UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya yang terkait dengan syarat calon kepala daerah perseorangan. Namun, cara ini mempunyai dua kelemahan, yaitu memakan waktu lebih lama dan potensi tingginya resistansi parpol di DPR atas putusan MK.

Kedua, dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu). Cara ini terbilang moderat, terutama karena problem justifikasi hadirnya "kegentingan yang memaksa" sebagai syarat tunggal konstitusional lahirnya perpu. MK pernah memutuskan kriteria kegentingan memaksa amat tergantung dari subyektivitas presiden. Alternatif ini mungkin paling cepat dari sisi waktu, tetapi berpotensi tertolak ketika dimintakan persetujuan kepada DPR.

Ketiga, melalui peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU), untuk mengatasi keterdesakan waktu dan mandat konstitusional. MK sendiri (paragraf 3.15.22 pada putusannya) menyarankan KPU mengambil inisiatif itu, terutama untuk menghindari kekosongan hukum. Dasar hukum bagi KPU termuat dalam Pasal 8 Ayat (3) Huruf a dan Huruf f juncto Pasal 117 UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum yang memberi kewenangan bagi KPU untuk membuat pengaturan atau regulasi dalam rangka penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Secara teori, alternatif peraturan KPU ini sejalan dengan konsep komisi sebagai lembaga negara independen, yang salah satu ciri utamanya berwenang mengeluarkan aturan sendiri terkait dengan tugas dan kewenangan konstitusionalnya (self regulatory body).

Apa pun baju hukum yang dipilih, substansi rincian calon kepala daerah perseorangan dapat mengacu Pasal 68 Ayat (1) UU Pemerintahan Aceh. Pasal itu mengatur, calon perseorangan didukung "sekurang-kurangnya 3 persen dari jumlah penduduk tersebar di sekurang-kurangnya 50 persen dari jumlah kabupaten/kota untuk pemilihan gubernur/wakil gubernur dan 50 persen dari jumlah kecamatan untuk pemilihan bupati/wakil bupati atau wali kota/wakil wali kota". Sebagai perbandingan, dukungan dan populasi jumlah penduduk itu pula yang menjadi dasar pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah, yang maju sebagai anggota parlemen dari unsur perseorangan.

Relasi eksekutif-legislatif

Masalah lain yang akan dihadapi calon perseorangan adalah efektivitas pemerintahan saat menjadi kepala daerah. Meski bukan dari unsur parpol, calon kepala daerah perseorangan tetap membutuhkan dukungan parpol jika ingin efektif melaksanakan program kerja pemerintahan. Maka, akomodasi dan kompromi politik akan menjadi keseharian relasi DPRD dengan kepala daerah perseorangan. Rakyat pemilih mungkin melihat kompromi ini sebagai bentuk pengkhianatan atas independensi dari kepala daerah perseorangan. Inilah dilema yang akan dihadapi kepala daerah perseorangan terpilih: menjamin efektivitas pemerintahan, tanpa kehilangan mandat independensi perseorangan.

Karena itu, pada masa depan, makna independensi calon kepala daerah harus diredefinisi. Dari makna lawan tanding dari calon parpol menjadi kemandirian dari segala bentuk intervensi yang berjarak dengan mandat kesejahteraan rakyat. Ini seiring upaya revolusioner demokratisasi parpol, definisi independensi tidak hanya monopoli calon perseorangan, tetapi juga milik calon parpol. Bukankah calon perseorangan maupun parpol seharusnya sama-sama berkiprah untuk mewujudkan Indonesia lebih sejahtera?

Denny Indrayana Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

No comments:

A r s i p