Friday, July 27, 2007

Kepemimpinan Nasional

Kepemimpinan Nasional
Lee Kuan Yew: Multipartai Itu Menyulitkan

Jakarta, Kompas - Mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew (84) mengakui tak mudah memerintah negara sebesar Indonesia. Apalagi, sistem multipartai yang dapat menempatkan mayoritas parlemen dikuasai partai yang tak sama dengan partai asal presiden menyulitkan pemerintah dalam melaksanakan kebijakannya.

Pengakuan Lee, yang kini menjabat Minister Mentor (Menteri Senior) Singapura, disampaikan dalam "Citibank Legacies of Leadership", Selasa (24/7) di Jakarta. Saat dialog, seorang peserta meminta saran Lee soal kepemimpinan di Indonesia. Lee pun menjawab dengan memosisikan dirinya sebagai pengamat.

Menurut Lee, posisi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang berasal dari partai bukan pemenang pemilu memang tidak mudah. Kebijakan yang dibuat bisa dipatahkan parlemen yang multipartai. Karena itu, untuk mengamankan jalannya pemerintahan, Presiden Yudhoyono pun mengakomodasi suara partai lain.

Kondisi ini berbeda dengan di Singapura atau Malaysia. Perdana Menteri Singapura atau Malaysia berasal dari partai yang mayoritas menguasai parlemen. Kebijakan pemerintah (eksekutif) bisa mudah dilaksanakan karena memperoleh dukungan parlemen.

Sulitnya posisi pemerintah digambarkan Lee dengan munculnya fenomena interpelasi di DPR. Ia secara khusus menyoroti pengajuan hak interpelasi terhadap dukungan Indonesia atas Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 1747 terkait penguatan sanksi terhadap Iran. Lee menilai interpelasi itu dilakukan bukan sepenuhnya untuk menekan Presiden Yudhoyono, tetapi lebih untuk menurunkan popularitas Presiden.

"Jika mungkin rating (popularitas) Presiden Yudhoyono yang mencapai 60 persen bisa tinggal 30 persen," kata Lee. Kalau popularitas Yudhoyono menurun, partai lain akan lebih mudah menyiapkan calon presidennya untuk Pemilu 2009.

Akses informasi

Lee mengakui, sistem pemilihan presiden di Indonesia mirip dengan sistem pemilihan presiden di Amerika Serikat dan Filipina, tetapi tingkat kesulitannya lebih tinggi. Selain wilayahnya yang luas dengan ribuan pulau, rakyat Indonesia juga tak dapat mengakses informasi seleluasa di AS. Rakyat Indonesia tak bisa memiliki informasi tentang calon presidennya selengkap rakyat AS, yang bisa mengakses informasi calon presidennya.

Dalam kondisi Indonesia seperti ini, calon yang populer yang kemungkinan besar akan memperoleh dukungan mayoritas dari rakyat. "Kini masih ada waktu sekitar dua tahun tiga bulan. Tak mudah memunculkan yang terbaik di sini," kata Lee lagi. Yang paling mungkin adalah membuat calon yang populer.

Pemimpin harus konsisten

Berbicara tentang dirinya yang dinilai sukses mengembangkan Singapura dan menjadi perdana menteri pada 1959 hingga 1990, ia mengatakan, kata kuncinya adalah konsisten pada apa yang diucapkan sebelumnya. "Saya perbuat apa yang saya katakan, berbuat yang terbaik atas apa yang pernah saya janjikan. Dalam lima tahun ke depan, rakyat percaya apa yang saya katakan adalah pemecahan dari masalah yang ada," ujarnya.

Selain konsisten, pemimpin juga harus dapat merebut kepercayaan dari bawahan atau pengikutnya. Kepercayaan ini dapat diraih jika pemimpin memiliki kemampuan meyakinkan pengikutnya bahwa yang diputuskan pemimpin adalah langkah yang tepat. Tanpa ada kepercayaan dari rakyat, seseorang tidak dapat dikatakan sebagai pemimpin.

"Seorang pemimpin juga harus dapat berkomunikasi dalam bahasa pengikutnya," tutur Lee. Pada awal pembentukan Singapura, ia mengalami kesulitan mengemukakan ide dan pikiran karena latar belakang bahasa yang berbeda di Singapura. Ia pun belajar berbagai bahasa "lokal" itu.

"Saya belajar bahasa Hokkian supaya warga keturunan China mengerti. Untuk kalangan yang terpelajar, saya menggunakan bahasa Mandarin. Tak mudah melakukan semua itu," kata Lee.

Tingkatkan investasi

Berbicara mengenai perekonomian, Lee mengatakan, dalam banyak hal Indonesia harus belajar dari China, India, bahkan Vietnam. Perkembangan ekonomi di negara tetangga itu tidak terlepas dari pembangunan infrastruktur.

"Infrastruktur yang baik tentu dapat menarik lebih banyak lagi penanaman modal asing langsung. Investasi ini dapat menciptakan lapangan pekerjaan lebih banyak lagi," ujar Lee.

Perusahaan di Vietnam, kata Lee, tampak lebih berani dan siap menghadapi pasar terbuka. China juga lebih terbuka setelah bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

"Untuk membangun ekonomi, pertama-tama diperlukan pendapatan. Dari pendapatan ini barulah dapat dibangun infrastruktur dan ekonomi akan bertumbuh. Singapura juga mencari pendapatan sehingga dapat menjadi seperti sekarang ini," katanya.

Lee juga mengingatkan Kawasan Ekonomi Khusus Indonesia di Batam, Bintan, dan Karimun, yang tak jauh dari Singapura, sebaiknya ditata dengan baik sehingga dapat menarik perhatian investor. (JOE/TRA)

No comments:

A r s i p