Monday, July 2, 2007

nanoteknologi
Ancaman untuk Indonesia?

Oleh AHMAD ARIF

Ketika segenggam pasir bisa diubah menjadi komponen utama telepon genggam dan komputer dengan nilai 1.000 kali lipat, apa jadinya sebuah negara yang hanya mampu mengekspor pasir dan mengimpor produk berteknologi tinggi itu?

Paradigma pembangunan yang mengandalkan pendapatan negara dari eksploitasi sumber daya alam nyatanya sudah ditinggalkan. Banyak negara telah berpegang pada konsep pembangunan berbasis pengetahuan (knowledge).

"Tanpa menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memberi nilai tambah pada kekayaan sumber daya alam kita, Indonesia akan segera terpuruk dalam persaingan global," begitu dilontarkan Kepala Masyarakat Nanoteknologi Indonesia (MNI) Nurul Taufiqu Rochman.

Nanoteknologi, teknologi berbasis pengelolaan materi berukuran nano atau satu per miliar meter, merupakan lompatan teknologi untuk mengubah dunia materi menjadi jauh lebih berharga dari sebelumnya.

Dengan menciptakan zat hingga berukuran satu per miliar meter (nanometer), sifat dan fungsi zat tersebut bisa diubah sesuai dengan yang diinginkan.

"Misalnya, kita bisa menciptakan baja dengan kekuatan 10 kali lebih kuat dari yang ada, membuat pipa leding tahan karat, bahkan secara teori bisa membuat berlian dari karbon," kata Nurul, yang juga peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Kekuatan ikatan suatu senyawa logam menjadi lebih kuat antara lain karena partikel nano itu mampu mengisi rongga antarpartikel yang berukuran besar pada senyawa tersebut, sehingga logam itu menjadi jauh lebih padat.

Nurul Taufiqu Rochman mengutarakan, Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah, tetapi selama ini hanya mengekspor bahan mentah. Misalnya, zirkonia (Zr) yang banyak ditemui di Indonesia dan hanya dianggap produk sampingan dari pertambangan batu bara—biasa diekspor berupa pasir.

"Padahal, zirkonia ini sebenarnya memiliki nilai tambah 1.000 kali lipat jika dijadikan partikel berskala nano. Zirkonia bisa menjadi bahan keramik yang tahan terhadap panas tinggi dan cocok untuk semikonduktor yang menjadi komponen penting untuk telepon genggam dan komputer," ungkap Nurul.

Dalam setumpuk pasir memang bukan hanya unsur silika terkandung di dalamnya. Beberapa waktu lalu penelitian Dr Kris Tri Basuki APU, peneliti di Laboratorium Kimia Pemisahan Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Maju Badan Tenaga Nuklir Nasional, di dalam pasir terkandung unsur-unsur strategis yang mempunyai nilai ekonomis sangat tinggi.

Dalam pasir laut yang diekspor dari Riau ke Singapura, ungkap Kris, banyak mengandung logam langka seperti titanium, vanadium, paladium, yttrium, dan wolfram. Selain itu, kemungkinan juga terdapat logam tanah yang langka (Ce, Pr, Nd, Pm, Sm, Eu, Gd, Tb, Dy, Ho, Er, Tm, Yb, Ru) yang mempunyai nilai strategis bagi industri dan harganya sangat mahal.

Monasit di Bangka, misalnya, bisa berharga Rp 800.000 per ton, tetapi oksida cesium (Ce) yang terkandung di dalamnya dapat mencapai 25 hingga 100 dollar AS per kilogram. Selain itu, oksida zirkon (Zr) mencapai harga Rp 7,5 juta hingga Rp 10 juta per 25 kilogram.

Karena pasir laut mempunyai kandungan mineral strategis cukup besar dan bernilai ekonomis tinggi, menurut Kris, diperlukan kebijakan peraturan perundangan penambangan dan ekspor pasir, disinkronisasikan dengan kebijakan iptek, ekonomi, perdagangan dan perindustrian, pendidikan nasional, serta keamanan dan politik untuk kemajuan bangsa.

Kris juga mengusulkan perlunya ditindaklanjuti penelitian dan pengembangan yang terpadu pemisahan kimia bahan baku industri dari sumber daya alam terutama pasir laut Indonesia.

Di sisi lain, Indonesia—sebagai negara yang berpenduduk terpadat keempat di dunia—merupakan pasar yang sangat potensial bagi perkembangan ekonomi dan industri dunia. "Tanpa menguasai nanoteknologi, kita hanya akan menjadi bangsa yang mengimpor barang-barang industri, yang bahan bakunya bisa jadi dibeli murah dari kita sendiri," tutur Nurul.

Lompatan Nanoteknologi

Sejak tahun 1998, nanoteknologi telah menjadi daya tarik bagi negara-negara di dunia dan dipercaya sebagai kunci untuk memenangkan persaingan global. Investasi di bidang ini pun melonjak. Pada tahun 2004, Uni Eropa (UE) telah menginvestasikan dana 1,8 miliar dollar Amerika Serikat (AS) di bidang ini. AS sendiri berada di urutan kedua dengan investasi 961 juta dollar AS dan Jepang di urutan ketiga dengan nilai investasi 940 juta dollar AS.

Sedangkan Indonesia baru menginvestasikan dana 0,1 juta dollar AS di bidang nanoteknologi. Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, misalnya, Singapura yang menginvestasikan dana 9 juta dollar AS, Thailand 5 juta dollar AS, dan Malaysia 4 juta dollar AS. Bahkan, Indonesia masih kalah dibandingkan dengan Vietnam yang menginvestasikan 1 juta dollar AS.

Dalam Nature Nanotechnology 1 edisi 2006 disebutkan, ketika jumlah publikasi ilmiah mengenai nanoteknologi selama kurun 1999 hingga 2004 mencapai lebih dari 100.000 paper, belum satu pun yang berasal dari Indonesia. "Pengembangan nanoteknologi di Indonesia baru dimulai tahun 2004," kata Nurul, yang merintis pembentukan MNI pada April tahun 2005.

Walaupun masih sangat dini, dan terbatas dana serta fasilitas, perkembangan nanoteknologi di Indonesia yang dipelopori oleh MNI mulai beranjak maju. Lompatan nanoteknologi di Indonesia mulai menjanjikan ketika Nurul dan timnya kemudian menemukan alat pembuat material nano (ball mill) dari bahan-bahan lokal.

"Sekarang kita bisa membuat sendiri material berskala nano. Dengan demikian, lembaga penelitian dan universitas di Indonesia bisa menggunakan alat pembuat partikel nano ini," ungkapnya.

Sejumlah temuan teknologi berbasis nano pun mulai dirintis di Indonesia, di antaranya nanosilika yang dipatenkan Nurul pada tahun 2004. Bila dicampur dalam adonan semen, nanosilika ini dapat meningkatkan kekuatan beton hingga dua kali lipat.

Ia kini telah mengantongi delapan hak paten atas temuannya di bidang nanoteknologi, menulis 43 publikasi ilmiah di jurnal nasional, dan 43 publikasi di jurnal internasional yang membuat Indonesia mulai dikenal di kancah dunia.

No comments:

A r s i p