Sunday, July 29, 2007

Manfaat Konflik Golkar

Jeffri Geovani

ORANG bijak berkata, pandai-pandailah mengambil hikmah dari setiap peristiwa. Ungkapan ini sangat pas apabila kita kaitkan, misalnya, dengan konflik yang terjadi di tubuh Partai Golkar.

Konflik di tubuh partai peraih suara terbesar dalam Pemilu 2004 ini sudah tampak di permukaan, terutama sejak munculnya upaya-upaya untuk membangun koalisi taktis antara Partai Golkar dengan PDI Perjuangan. Sebelumnya, konflik sudah ada namun tak tampak di permukaan.

Konflik yang terjadi sebenarnya tak bisa dilepaskan dari dinamika Munas Partai Golkar yang berlangsung di Bali akhir tahun 2004 silam. Di satu pihak ada Akbar Tandjung, Ketua Umum waktu itu, dengan sejumlah pendukungnya. Di pihak lain, ada Jusuf Kalla yang sudah menduduki jabatan Wakil Presiden dengan sejumlah mitra koalisinya.

Akbar Tandjung memang kalah dalam Munas, tetapi ia tetap memiliki pengaruh, terutama di kalangan kader-kader Golkar lama yang merasa senasib sepenanggungan dengan Akbar pada saat-saat kritis pasca reformasi. Waktu itu, Golkar, sebagai partai yang dianggap warisan Orde Baru, seolah menjadi “musuh bersama”. Tapi karena kegigihan Akbar Tandjung bersama kader-kadernya, partai ini tetap survive bahkan mampu meraih kembali kejayaannya.

Apa hikmah di balik konflik yang terjadi di tubuh Golkar? Setidaknya, pertama, loyalitas kader partai pada umumnya tak lagi pada individu, melainkan pada institusi. Kader-kader Golkar yang dulu sangat loyal pada Ketua Umum (waktu itu Akbar Tandjung) secara sadar akan mengalihkan loyalitasnya pada kebijakan-kebijakan partai, bukan lagi pada figur.

Kedua, sebagai konsekuensi logis dari adanya perbedaan pendapat, proses pengambilan keputusan partai tidak lagi melalui musyawarah untuk mufakat yang cenderung mematikan aspirasi individual. Maka, tak heran jika sebagai Ketua Fraksi Partai Gokkar di DPR, Priyo Budi Santoso, tidak ditunjuk langsung oleh Ketua Umum, melainkan melalui proses pemilihan (voting). Proses pemilihan Ketua Fraksi ini akan menjadi preseden yang sangat positif, yang menjadi salah satu keistimewaan Partai Golkar dibandingkan dengan partai-partai lain.

Oleh karena manfaatnya yang positif, menurut saya, konflik itu tak perlu ditutup-tutupi, apalagi dipandang sebagai aib. Karena pada dasarnya konflik merupakan dinamika internal yang apabila dikelola dengan baik akan menumbuhkan tradisi yang positif.

Konflik akan dengan sendirinya membuat partai berkembang secara dinamis. Pilihan-pilihan kebijakan yang diambilnya pun akan menjadi kaya nuansa, penuh warna, tidak monolitik.

Partai yang sudah terbiasa mengelola konflik secara internal, tentu akan lebih mudah ketika harus menghadapi konflik dengan kekuatan lain di luar partai, misalnya dalam proses pengambilan keputusan-keputusan politik kebangsaan yang melibatkan seluruh komponen partai politik di lembaga legislatif.***

No comments:

A r s i p