Monday, July 23, 2007

Kerja sama pertahanan
Kedaulatan dalam Dunia yang Berubah

Harmen Batubara

Secara sederhana, DCA sebenarnya tak lebih dari suatu upaya strategis Departemen Pertahanan dalam memberikan payung hukum bagi kerja sama militer kedua negara, serta upaya lebih mengoptimalkan sarana serta dinamika latihan dan sama sekali tidak membuat perubahan substansial di atasnya. Namun, sulit bagi siapa pun untuk menyampaikan pendapatnya kalau masing-masing pihak tak memakai platform dasar pemikiran yang sama.

Pertama, yang dilihat adalah bahwa kedua negara yang terikat kerja sama ASEAN serta telah ditakdirkan menjadi negara bertetangga. Kedua, meski harus diakui bahwa di antara sesama anggota ASEAN sebenarnya masih banyak permasalahan di antara kedua negara, baik persoalan perbatasan, masalah ekonomi, ekstradisi maupun berbagai kepentingan lain. Ketiga, semangat kawasan adalah semangat membangun integrasi ASEAN untuk menjadikan kawasan ini sebuah wilayah yang nyaman dihuni.

Salah satu kata kunci dalam Grand Startegy atau Kebijakan Pertahanan Suatu Negara adalah upaya menyinergikan potensi militer dan nirmiliter pada tataran paling tinggi, khususnya memadukan serta menempatkan kekuatan militer dalam kebijakan hubungan internasionalnya (Making Strategy, Col Dennis & Dr Donald M Snow, 1988).

Indonesia dalam dinamikanya dihadapkan pada keterbatasan anggaran pertahanannya (di bawah 1 persen PDB) berupaya lebih mengedepankan kebijakan bertetangga yang baik dan penggunaan pendekatan soft power sehingga menjadi jelas serta berkeinginan untuk memanfaatkan organisasi ASEAN dalam meningkatkan semangat bertetangga yang baik.

Bagi Indonesia, ASEAN dapat berperan sebagai bagian dari pertahanan melingkar Indonesia di tingkat regional, Treaty of Amity and Cooperation (TAC), yang ditandatangani negara-negara anggota ASEAN; selain merupakan bagian dari confidence building measure (CBM) juga jadi landasan untuk memperkirakan bahwa kemungkinan terjadinya konflik terbuka di antara negara-negara di kawasan Asia Tenggara menjadi sangat kecil.

Kerja sama TNI-SAF

Kerja sama TNI-SAF adalah salah satu harapan di balik semangat mewujudkan adanya Piagam ASEAN, dan kerja sama itu sebenarnya sudah ada sejak 1980-an, sejak Latma Elang Indopura dilaksanakan di Lanud Iswahyudi, Madiun, di jantung pertahanan kekuatan AURI.

Pada Latma Indopura VI/90 RSAF mulai melibatkan E-2e Hawkeye, sesuatu yang masih baru bagi pilot AU, tetapi pada saat itu pilot Hawk-200 AU mampu dan tak mengalami kesulitan dalam mengadopsi panduan Hawkeye RSAF dalam menemukan sasaran di tengah laut.

Kerja sama latihan terus berkembang serta pembangunan sarana dan prasarana latihan lain juga terus dilakukan, seperti pembangunan AWR tahun 1989; ACMR, OFTA, Detasemen Skadron dan Joint Shelter pada tahun 1991 di medan latihan Pekanbaru.

Disepakati bahwa penggunaan area latihan itu sepenuhnya atas kontrol dan seizin Indonesia. Kesepakatan ini telah memungkinkan Lanud Pekanbaru sebagai titik pangkal kegiatan latihan dan secara tidak langsung akan memberikan pemasukan kepada negara berupa fuel charge, leaving allowance atau services and navigational charge (Kompas, 29 Juni 2007, F Djoko Poerwoko).

Sebelum adanya tempat latihan ini, pilot AU terpaksa berlatih di pangkalan udara Korat, Thailand, dan tentu dengan harga yang mahal sehingga hanya pilot paling senior sajalah yang bisa memanfaatkannya.

Dengan adanya ACMR ini, siapa pun pilot AU akan dapat memanfaatkannya. Padahal, dalam DCA ini, menurut Menteri Pertahanan, Singapura berkomitmen membiayai 90 persen pembangunan sejumlah fasilitas kawasan latihan tempur, yang setelah 20 tahun akan menjadi milik Indonesia.

Juga menjadi akses bagi TNI untuk menggunakan fasilitas maupun peralatan militer angkatan bersenjata Singapura, meliputi simulator tempur milik Singapura, Naval Guns Scoring System; TNI ikut menggunakan fasilitas kawasan latihan perang yang dibangun Singapura di Siabu. Dan, untuk semua itu, Indonesia masih tetap menjadi penentu (pemegang kedaulatan) atas kapan dan dengan siapa Singapura berlatih.

Memang ada pergeseran titik pandang generasi. Ini terlihat dari berbagai pandangan yang disampaikan para purnawirawan TNI. Termasuk komentar Pak Sayidiman Suryohadiprojo (Media, 25 Juni 2007) yang melihat bahwa pemberian fasilitas wilayah NKRI untuk latihan perang bagi Singapura jelas merupakan kecelakaan yang mengorbankan wilayahnya secara bodoh.

Terlebih lagi dengan Singapura yang meski negara tetangga, tetapi tak terikat dalam satu fakta pertahanan bersama. Lebih kacau lagi jika membayangkan Yon Kavaleri Singapura bisa diperbolehkan berlatih di Baturaja, yang menyebabkan rakyat secara psikologis terintimidasi.

Sementara cara pandang generasi kini malah sudah mengarah pada "pemberdayaan wilayah" untuk kemaslahatan bersama. Kalau bisa dilakukan dengan baik, apa salahnya wilayah area latihan TNI dijadikan semacam "outbound-nya" area latihan militer ASEAN, malah terbuka bagi negara sahabat yang mau berlatih di hutan tropis. Uang dapat, TNI puas berlatih, sekaligus membangun persahabatan.

Makna kedaulatan

Ke depan, persoalan kedaulatan sendiri sebenarnya masih banyak jumlahnya, masalah perbatasan antarnegara sesungguhnya masih sangat besar persoalannya.

Misalnya, Indonesia mempunyai masalah perbatasan dengan 10 negara tetangga di kawasan, yakni India, Thailand, Vietnam, Malaysia, Singapura, Filipina, Kepulauan Palau, Papua Niugini, Australia, dan Timor Leste. Bahkan, dengan Malaysia terdapat masalah batas negara; walau telah 32 tahun bekerja sama, belum juga terselesaikan.

Contoh, di Kalimantan kedua negara mempunyai perbatasan sepanjang 2.004 km. Di sana ada 10 masalah batas yang belum bisa disepakati, sementara muncul pula persoalan Ambalat.

Masalah ekspor batu granit ke Singapura juga sebenarnya sangat merugikan bangsa. Pertama, di sana pasir granit itu diolah dan punya nilai tambah, sedangkan di Indonesia harga sudah murah, ditambang pula dengan cara tanpa prosedur amdal.

Padahal, pasir dan semua produk ikutannya itu telah mampu mereklamasi pantai Singapura seluas 220 km>sup<2>res<>res<. Bayangkan kalau harga tanah di sana 1 m>sup<2>res<>res<>

Sementara pulau-pulau kecil kita rusak permanen, bahkan hilang sama sekali. Bertetangga memang tak perlu "rame dan cekcok", tetapi kerja sama secara setara dan saling menghargai itu perlu diwujudkan. DCA, sebenarnya, meski dengan semua kelemahan pada mekanismenya, semangatnya sudah mengarah ke sana.

Harmen Batubara Alumnus Teknik Geodesi UGM, 1980; Kini Bekerja di Direktorat Wilayah Pertahanan Dephan

No comments:

A r s i p