Demosklerosis
Budiarto Danujaya
Setiap kali kalangan DPR dikecam karena memboroskan uang negara untuk kepentingan yang tak jelas—termasuk memperkaya diri secara legal—kata demosklerosis selalu terlintas di benak.
Begitu pula saat kontroversi rencana penambahan anggaran legislasi pengesahan rancangan undang-undang (RUU) merebak belakangan ini. Inilah yang disebut Jonathan Rauch sebagai penyakit demokrasi, pembunuh diam-diam pemerintahan di AS karena mengakibatkan kemerosotan berkelanjutan kemampuan pemerintah beradaptasi. Penyebabnya adalah mentalitas "keuntungan-lebih-banyak-lagi-bagi-saya". (Rauch: 1994)
Neologi ini merupakan pelesetan dari arteriosklerosis, yakni pengerasan pembuluh nadi yang merupakan salah satu faktor rawan jantung koroner. Bak arteriosklerosis, pengerasan egoisme sosial pada demosklerosis juga bersifat menahun, perlahan-lahan, dan diam-diam. Pencegahannya hanya bisa dilakukan lewat disiplin perubahan perilaku jangka panjang menuju kehidupan lebih waras; dalam hal ini kehidupan politik.
Simtom DPR yang boros mengingatkan neologi ini karena menunjukkan sebuah gejala egoisme sosial, mau cari untung sebanyak mungkin bagi diri sendiri tanpa peduli kondisi anak negeri, yang masih ditandai dengan 30 juta warga miskin.
Serupa tetapi dina
Rencana penambahan anggaran masing-masing Rp 1 juta kepada 546 anggota DPR setiap pengesahan RUU merupakan pemutakhiran ketakpedulian sosial itu. Tidak muskilkah mereka meminta tambahan imbalan justru untuk kerja reguler sebagai pembuat undang-undang?
Sebelumnya, sudah digolkan tunjangan komunikasi intensif, listrik, telepon, honorarium alat kelengkapan DPR, dan bantuan penunjang kegiatan Dewan, yang pada tahun 2006 memboroskan uang negara Rp 188 miliar (Kompas, 3/7). Berulang kali media mencaci studi banding DPR ke luar negeri yang tak pernah jelas hasilnya. Rangkaian pemborosan ini mengakibatkan kenaikan anggaran DPR 2005-2007 sebesar 31 persen per tahun.
Demosklerosis di AS mengakibatkan pemerintah tak sanggup beradaptasi—dalam hal ini mengatasi defisit anggaran belanja—karena semua pihak berkepentingan untuk mempertahankan banyaknya tunjangan kesejahteraan sosial. Politisi tak berani mengutak-atik karena menyangkut kepentingan konstituennya, rakyat kebanyakan AS, yang menurut Rauch semakin hari semakin bermentalitas menuntut "keuntungan-lebih-banyak-lagi-bagi-saya". Mengubah, bisa berarti kehilangan suara pada pilihan mendatang.
Dalam pengertian ini, demosklerosis di AS masih bisa diterima rasa keadilan karena menyangkut peran negara dalam memberi jaminan minimal pencukupan kesejahteraan sosial masyarakat luas, yang menjadi nukleus paham negara-minimal.
Sementara itu, di Indonesia pengidapnya terbatas kalangan elite politik—termasuk di parlemen—dan yang lebih mengkhawatirkan karena hanya peduli pada penggemukan diri sendiri. Mereka tak hirau kesejahteraan anak negeri; seakan lupa ini perkara merawat keadilan distributif yang merupakan bagian tanggung jawab pengelolaan kekuasaan yang wajar.
Kontingensi historis
Demosklerosis jelas merupakan mutan tirani mayoritas. Tiwikrama partisipasi langsung menjadi kesepakatan (consent) sebagai konsekuensi perluasan konstituen membuka peluang tirani mayoritas untuk bisa bermutasi menjadi tirani minoritas elite Tocquevillean. Maksudnya, kelompok kecil elite politik mengatasnamakan rakyat bertiwikrama menjadi tirani mayoritas lewat formalisme demokrasi angka.
Sejarah kelewat panjang membuat kita lupa, demokrasi pada dasarnya lebih terpaut kedaulatan banyak orang. Seperti kata Norberto Bobbio, demokrasi bisa menjadi sekadar "sebuah metode optimum untuk membuat keputusan kolektif". (Bobbio: 1986). Inilah persisnya anatomi kesuksesan elite politik di DPR dalam menjalankan politik kantong kembungnya.
Jika makna demokrasi saat ini tak bisa dipisahkan lagi dari artikulasi kebebasan individu dan hak-hak asasi manusia, tak lain karena percumbuannya dengan idealitas liberal. (Mouffe: 1996) Kontingensi historis ini membuat demokrasi modern, misalnya, tak terpisahkan dari konsep negara hukum, konsep pembagian kekuasaan, dan konsep pemisahan ranah privat dengan ranah publik. Padahal, konsep-konsep ini sebenarnya derivasi idealitas liberal.
Idealitas ideologis
Perspektif historis ini membantu kita memahami kegelisahan banyak pihak saat menyaksikan demokrasi bak tak berdaya memperbaiki situasi. Akselerasi demokratisasi tak terbukti berkorelasi langsung dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, baik dalam mengurangi angka pengangguran maupun kemiskinan.
Demokrasi justru menjadi mekanisme pengabsahan elite politik memperkaya diri, dengan terus menaikkan imbal pendapatan dan tunjangan, tanpa risi dengan ekonomi masyarakat yang merosot dan dilanda banyak bencana. Demokrasi menjadi sarana mengelak dari tanggung jawab hukum, politik, dan ekonomi; bahkan pengabsahan impunitas atas kejahatan HAM, korupsi, dan politik uang.
Formalisasi menjadi sekadar permainan angka, membuat demokrasi menjadi tak punya hati karena sekadar menjadi mekanisme membuat keputusan kolektif. Formalisasi bahkan bisa mengakibatkan demokrasi tak menghargai rasa keadilan, kebebasan, dan kemanusiaan sehingga tak peduli, tak tahu malu, bahkan telengas.
Karena itu, belajar dari kontingensi historis demokrasi liberal, jika ada yang bisa disebut demokrasi sendiri, harus direartikulasi dengan idealitas-idealitas ideologis sendiri sebagai bangsa agar tak sekadar menjadi lokus nilai bagi diri sendiri yang cenderung hanya prosedural.
Persoalannya, sebagai bangsa kini kita sedang dilanda kesamar-samaran, tak tahu ke mana perjuangan nilai harus menuju. Padahal, seperti kita saksikan, legalisme hukum terbukti tak pernah memadai untuk mengoridori perubahan perilaku menuju tata krama dan tata kelola kekuasaan yang lebih waras.
No comments:
Post a Comment